DI masa lampau, tempat pendidikan berada jauh
dari hiruk-pikuk keramaian. Letaknya di lereng gunung dan di tengah hutan,
terpisah dari pusat pemerintahan. “Selain sebagai tempat pendidikan agama, ia
juga digunakan sebagai tempat bersemedi,” kata Agus Aris Munanadar, arkeolog
Universitas Indonesia, kepada Historia.
Area itu disebut kadewaguruan, dipimpin
seorang mah —si
atau Dewaguru. Dalam melaksanakan tugasnya, Dewaguru dibantu murid-murid senior
(ubwan dan manguyu).
Kadewaguruan merupakan kompleks pertapa
yang dirancang khusus. Tempat tinggal Dewaguru berada di tengah, sedangkan para
murid mengelilinginya, disusun berjenjang berdasarkan tingkat pengetahuan
mereka. Karena tataletak seperti ini, kompleks perumahan pertapa itu disebut
mandala (konfigurasi lingkaran).
Dalam Java in the Fourteenth Century, A Study
on Cultural History. The Nagarakrtagama by Rakawi Prapanca of Majapahit. Vol. 5,
TH Pigeaud, ahli sastra Jawa, menyebut kadewaguruan telah
dibicarakan dalam kitab Rajapatigundala di masa Singasari. Raja yang
disebut adalah raja Bhatati, yang diperkirakan sebutan bagi Krtanagara.
Di Majapahit, jumlah kadewaguruan meningkat
sejak pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389). Dalam Nagarakrtagama,
Hayam Wuruk tercatat pernah mendatangi sebuah mandala yang terletak di dalam
hutan bernama wanasrama Sagara.
Di kadewaguruan, para murid dapat
belajar secara perorangan atau berkelompok. Mereka belajar bertahap dari tata
upacara, filsafat, hingga ajaran inti tentang ›Å«nya (kehampaan) yang
terdapat dalam kitab Tutur, buku keagamaan yang bersifat Siwa.
“Melihat isi ajarannya, kemungkinan kitab Tutur
ini adalah bahan bagi mereka yang sudah mempunyai dasar pengetahuan agama
dan bukan untuk pemula,” tulis Haryati Subadio, guru besar FIB UI bidang
Sanskerta dan Jawa Kuna, dalam Jnanasiddhanta.
Fungsi lain kadewaguruan dapat ditelisik
berdasarkan penemuan sejumlah naskah di wilayah Merapi-Merbabu, yang dikenal
sebagai naskah Merpai-Merbabu. Wilayah tersebut, menurut Agus Aris Munanadar,
tak hanya menjadi pusat keagamaan tapi juga skriptorium, tempat bagi para
Brahmin menuliskan ajaran-ajarannya pada daun lontar.
“Kadewaguruan sebagai tempat pendidikan
agama pada masa Jawa Kuna masih digunakan setelah masuknya Islam di tanah
Jawa,” kata Agus. “Tempat itu kemudian dikenal sebagai pondok pesantren, wadah
pendidikan yang khas Nusantara dan masih terselenggara hingga kini.”
Referensi : Historia
Komentar