Terancam film India dan film Malaya, insan film Indonesia meminta pemerintah menerapkan kuota film impor.
HARI
Film Nasional tiba. Bioskop menggelar promo nonton film Indonesia dan
insan film nasional menyeru masyarakat agar lebih sering menonton film
Indonesia. Sepanjang sejarah perfilman nasional, film Indonesia kerap
kalah pamor dari film impor. Sebabnya tak selalu berpangkal pada soal
mutu film Indonesia lebih rendah daripada film impor. Ini misalnya
terjadi pada kasus film India.
Bioskop Indonesia sudah menayangkan film India pada 1948. Menurut Johan Tjasmadi, dalam 100 Tahun Bioskop di Indonesia, terdapat lima film India masuk ke Indonesia kala itu. Apa judul film India pertama di bioskop Indonesia? “Chandraleka,” jawab Djamaludin Malik, pengusaha film nasional, dalam Aneka, No. 27, 1955. Film itu bertutur tentang konflik antar anak raja di sebuah kerajaan dongeng.
Masyarakat menyambut hangat kehadiran film India.
Mereka terhibur dengan nyanyian dan tarian dalam film. Importir film pun
terdorong mengimpor film India lebih banyak lagi pada 1949, menjadi 34
film.
Pengusaha film nasional tak mau kalah bersaing.
Mereka menggenjot produksi dan mutu film. Strategi mereka berhasil.
“Para pengusaha bioskop berebutan untuk memutar film Indonesia,” tulis Aneka, 1 Januari 1956, mengkilas balik perkembangan film.
Film India terhantam oleh film Indonesia. Masa
putarnya jauh lebih sedikit ketimbang film Indonesia. Dari segi jumlah,
hanya ada 12 dan 8 film India pada 1950 dan 1951. Peningkatan impor film
India terjadi pada 1952, menjadi 22 film. Saat bersamaan film Indonesia
kalah pamor oleh film-film impor dari Filipina, Amerika Serikat, dan,
terutama sekali, Malaya.
Alwi Shahab, sejarawan Jakarta, kelahiran Kwitang
77 tahun lalu, punya kenangan tentang film Malaya. “Bahkan anak-anak
muda kenalnya juga dengan bintang film Malaya ketimbang Indonesia,” kata
Alwi. Tema cerita film Malaya mencakup keseharian hidup manusia dan
segala hal remeh-temeh seputar perceraian, perselingkuhan, dan roman
picisan. Film bersih dari muatan politik dan pesan-pesan berat.
Hampir semua bioskop kelas dua dan tiga di Jakarta
memutar film Malaya. “Waktu itu bioskop ada tiga: kelas satu, kelas dua,
dan kelas tiga. Tergantung dari harga tiket dan bagus atau jeleknya
gedung. Kebanyakan film AS dan Barat ada di bioksop kelas satu.
Sedangkan Malaya di bioskop kelas dua dan tiga,” ujar Alwi.
Pengusaha bioskop dan importir mendulang rupiah
dari film Malaya. Sedangkan pengusaha film nasional terpaksa gigit jari.
Film mereka tak laku sehingga mengancam keberlanjutan usaha perfilman
nasional.
Menyadari film Indonesia terancam, Usmar Ismail,
sutradara serta pengusaha film, dan Djamaludin Malik menggagas agar
pemerintah menerapkan kuota film impor. Pemerintah menyetujui gagasan
mereka pada 1954. “…Yaitu peraturan yang dinamakan 1 : 3. Artinya, tiap 3
buah film kita yang diimpor ke Malaya, Malaya boleh memasukkan 1 buah
filmnya ke Indonesia,” tulis Kentjana, 1 Februari 1955.
Kebijakan pemerintah berhasil menahan peredaran
film Malaya, tapi sama sekali tak membantu usaha perfilman nasional.
Sebab lawan tangguh berikutnya muncul: film India.
Komentar