http://www.javalaw-bmg.blogspot.com |
Secara lahir, shalat dilakukan dengan berdiri, membaca Al-Fatihah, sujud, duduk dsb. Kesemuanya melibatkan keseluruhan anggota badan. Inilah
shalat jasmani dan fisikal. Karena semua gerakan badan berlaku dalam semua
shalat, maka dalam ayat tersebut disebut shalawaati (segala shalat) yang
berarti jamak. Dan ini menjadi bagian pertama, yakni bagian lahiriah.
Bagian kedua adalah tentang shalat wustha, yaitu yang secara sufistik
adalah shalat hati. Wustha dapat diartikan pertengahan atau tengah-tengah.
Karena hati terletak di tengah, yakni di tengah diri, maka dikatakan shalat
wustha sebagai shalat hati. Tujuan shalat ini adalah untuk mendapatkan
kedamaian dan ketentraman hati. Hati terletak di tengah-tengah, antara kiri dan
kanan, antara depan dan belakang, atas dan bawah, serta antara baik dan jahat.
Hati menjadi titik tengah, poin pertimbangan. Hati juga diibaratkan berada
diantara dua jari Allah, dimana Allah membolak-balikkannya ke mana saja yang ia
kehendaki. Maksud dari dua jari Allah adalah dua sifat Allah, yaitu sifat Yang
Menghukum dan Meng-adzab dengan sifat Yang Indah, Yang Kasih Sayang, dan Yang
Lemah Lembut.
Sholat dan ibadah yang sebenarnya adalah sholat serta ibadahnya hati,
kondisi khusyu menghadapi kehidupan. Bila hati lalai dan tidak khusyuk, maka
jasmaniahnya akan berantakan. Sehingga kalau ini terjadi, kedamaian yang
didambakan akan hancur pula. Apalagi shalat jasmani hanya bisa dicapai dengan
hati yang khusyuk. Kalau hati tidak khusyuk, serta tidak dapat konsentrasi pada
arah yang dituju dari shalat, maka hal itu tidak bisa disebut shalat. Juga
tidak akan dapat dipahami apa yang diucapkan, dan tentu apa pun yang dilakukan
dengan bacaan dan gerakannya tidakakan bisa mengantarkan sampai kepada Allah.
Urgensi ke-khusyuk-an ini berhubungan dengan inti shalat sebagai doa. Doa
atau munajat, bukan sekedar permintaan hamba kepada Allah, akan tetapi berarti
juga sebagai arena pertemuan. Dan tempat pertemuan itu adalah di dalam hati.
Maka jika hati tertutup di dalam shalat, tidak peduli akan makna shalat rohani,
shalat yang dilakukan tersebut tidak akan memberikan manfaat apa pun. Sebab
semua yang dilakukan jasmaninya sangat tergantung kepada hati sebagai Dzat
untuk badan. Ingatlah bahwa dalam tubuh itu ada sekeping daging, apabila
daging itu baik, baiklah seluruh tubuh itu. Dan apabila ia rusak, rusak pulalah
semua tubuh itu. Daging itu adalah hati. (sabda Rasulullah)
Ke-khusyuk-an hati akan membawa sholat yang menghasilkan kesehatan hati.
Shalat khusyuk akan menjadi obat bagi hati yang rusak dan jahat serta
berpenyakit. Maka shalat yang baik haruslah dengan hati yang sehat dan baik
pula, bukan dengan hati yang rusak, yakni hati yang tidak dapat hadir kepada
Allah.
Jika shalat dari sisi jasmaniah-fisik memiliki keterbatasan dalam semua
hal, baik tempat, waktu, kesucian badan, pakaian, dsb, maka shalat dari segi
rohaniah tidak terbatas dan tidak dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu.
Shalat secara rohaniah tidak terikat oleh ruang dan waktu. Shalat ini selalu
dilakukan terus menerus sejak di dunia hingga akhirat. Masjid untuk shalat
rohani terletak dalam hati. Jamaahnya terdiri dari anggota-anggota batin atau
daya-daya rohaniah yang ber-dzikir dan membaca al-asma al-husna dalam bahasa
alam rohaniah. Imam dalam shalat rohani adalah kemauan atau keinginan (niat)
yang kuat. Dan kiblatnya adalah Allah. Inilah shalat tarek dan sholat daim yang
diajarkan oleh Syekh Siti Jenar.
Shalat yang demikian itu hanya dapat dilakukan oleh hati yang ikhlas, hati
yang tidak tidur, dan hati yang tidak mati. Hati dan jiwa seperti itu kekal dan
selalu beribadah atau shalat ketika jasmaninya sedang tertidur atau terjaga.
Ibadah hati dilakukan sepanjang hayat, dan sepanjang hayatnya adalah untuk
beribadah.
Inilah ibadah orang yang sudah mencapai marifatullah, tempat penyucian
tertinggi. Di tempat itu, ia ada tanpa dirinya. Karena dirinya telah fana,
telah hilang lenyap. Ingatannya yang teguh dan suci tercurah hanya kepada
Allah.
Namun tentu saja ini berlaku setelah semua shalat-shalat fardhu dan nawafil
dilaksanakan secara konsisten. Jadi, tempat suci tersebut baru bisa dijangkau
setelah semua shalat syariat itu sempurna, lalu masuk ke dalam shalat thariqat
dan marifat. Maka tidak bisa diartikan bahwa jika sudah berada di tingkatan
ini, lalu tidak lagi melakukan shalat sama sekali. Bahkan sering dalam shalat
itulah mereka mengalami fana dalam munajat-nya sehingga ibadah yang dilakukannya
itu menyita banyak waktu. Hanya saja bentuk shalat dalam arti gerakan dan
bacaan tertentu sudah tidak mengikat lagi. Shalat ditegakkan atas kemerdekaan
rohani dalam menempuh laku menuju Allah.
Pada tingkatan ini tidak ada lagi bacaan di mulut. Tidak ada lagi gerakan
berdiri, ruku, sujud, dsb. Dia telah berbincang dengan Allah sebagaimana
firman-Nya Hanya Engkau yang kami sembah, dan hanya Engkaulah kami memohon
pertolongan (QS Al-Fatihah/1: 5)
Firman tersebut menunjukkan betapa tingginya kesadaran insan kamil, yakni
mereka yang telah melalui beberapa tingkatan alam rasa dan pengalaman rohani
sehingga tenggelam dalam lautan tauhid atau Ke-Esaan Allah dan berpadu
dengan-Nya. Nikmat yang mereka rasakan saat itu tidak dapat diungkapkan dengan
kata-kata. Hanya orang yang mengalaminya yang dapat mengalaminya yang dapat
mengartikan kenikmatan tersebut. Namun mereka pun sering tidak mau
mengungkapkannya. Tidak ingin membocorkan rahasia Ketuhanan yang tersimpan di
dalam lubuk hatinya oleh Allah.
Hal tersebut sama halnya dengan hakikat takbir, yang bukan semata-mata
ucapan Allahu Akbar. Takbir merupakan pengucapan yang lahir dari firman Allah
yang memuji kebesaran Dzat-Nya. Jadi, takbir sebenarnya merupakan suara Tuhan
yang meminjam mulut hamba-Nya. Bukan hasil dari dorongan emosional. Karenanya,
takbir sejati adalah menyatakan kebesaran Allah dari afal Allah sendiri. Takbir
sejati merupakan penghayatan diri terhadap sifat Allah. Dan takbir sejati
adalah penyebutan nama-Nya yang lahir dari kehendak-Nya semata. Dengan takbir
yang demikian itu maka yang lain menjadi sangat kecil, dan menjadi tidak ada.
Yang ada hanya Allah. Ke mana pun kita menghadap yang ada hanya Wajah Allah.
Maka setelah berpadu ibadah lahir dan batin secara harmonis, sempurnalah
ibadah seseorang. Hati dan ruh seperti tergambar itu membawanya masuk ke
Hadirat Allah. Hatinya berpadu mesra dengan Allah. Dalam alam nyata ia menjadi
hamba yang wara dan alim. Dalam alam rohani ia menjadi ahli marifah yang telah
sampai pada peringkat kesempurnaan mengenal Allah. Inilah makna bahwa shalat
adalah perjalanan menuju Allah. Hasilnya adalah bahwa shalat yang dilaksanakan
mencegah perilaku yang keji dan munkar. Sebaliknya menghasilkankehalusan dan
kemuliaan budi dan perilaku.
Jika shalat telah dihilangkan makna hakikatnya, hanya menjadi sekedar
pelaksanaan hukum fikih sebagaimana tampak pada kebanyakan manusia dewasa ini,
maka shalat tersebut telah kehilangan makna fungsionalnya. Hal inilah yang
telah mendatangkan kritik tajam dari Syekh Siti Jenar.
Sadat salat pasa tan apti
Seje jakat kaji mring Mekah
Iku wes palson kabeh
Nora kena ginugu
Sadayeku durjaning bumi
Ngapusi liyan titah
Sinung swarga besuk
Wong bodho anu auliya
Tur nyatane pada bae durung uning
Seje jakat kaji mring Mekah
Iku wes palson kabeh
Nora kena ginugu
Sadayeku durjaning bumi
Ngapusi liyan titah
Sinung swarga besuk
Wong bodho anu auliya
Tur nyatane pada bae durung uning
Artinya:
Syahadat, sholat, puasa semua tanpa makna
Termasuk zakat dan haji ke Mekah
Itu semua telah menjadi palsu
Tidak bisa dijadikan anutan
Hanya menghasilkan kerusakan di bumi
Membohongi makhluk lain
Hanya ingin surga kelak
Orang bodoh mengikuti para wali
Sementara kenyataannya sama saja belum mencapai tahapan hening
Syahadat, sholat, puasa semua tanpa makna
Termasuk zakat dan haji ke Mekah
Itu semua telah menjadi palsu
Tidak bisa dijadikan anutan
Hanya menghasilkan kerusakan di bumi
Membohongi makhluk lain
Hanya ingin surga kelak
Orang bodoh mengikuti para wali
Sementara kenyataannya sama saja belum mencapai tahapan hening
Syekh Siti Jenar mengkritik pelaksanaan hukum fikih pada masa walisanga
karena ibadah-ibadah formal tersebut telah kehilangan makna dan tujuan,
kehilangan arti, dan hikmah kehidupan. Hal itu menjadikan semua ajaran agama
yang diajarkan oleh para ulama ketika itu menjadi kebohongan yang
meninabobokkan publik dengan hanya menginginkan surga kelak yang belum ada
kenyataanya.
Oleh karenanya Syekh Siti Jenar mengajarkan praktik shalat fungsional,
berbeda dengan para wali pada masanya. Shalat tarek sebagai bentuk ketaatan
syariat, dan shalat daim sebagai shalat yang tertanam dalam jiwa, dan mewarnai
seluruh pekerti kehidupan. Seseorang yang melaksanakan pekerjaan profesionalnya
secara benar, disiplin, ikhlas, dan karena melaksanakan fungsi lillahi taala,
maka orang tersebut disebut melaksanakan shalat. Itulah bagian dari shalat
daim.
Namun ternyata, ajaran shalat fungsional tersebut tidak hanya menjadi milik
Syekh Siti Jenar. Di dalam Suluk Wujil bait 12-13, sebuah naskah yang ditulis
pada awal abad ke-17, yang disebut-sebut sebagai warisan ajaran Sunan Bonang,
menyebutkan ajaran shalat sebagai berikut:
Utamaning sarira puniki
Angrawuhana jatining salat
Sembah lawan pamujine
Jatining salat iku
Dudu ngisa tuwin magerib
Sembahyang araneka
Wenange punika
Lamun aranana salat
Pun minangka kekembanging salat daim
Ingaran tata krama
Endi ingaran sembah sejati
Aja nembah yen tan katingalan
Temahe kasor kulane
Yen sira nora weruh
Kang sinembah ing donya iki
Kadi anulup kaga
Punglune den sawur
Manuke mangsa kenaa
Awekasa amangeran adan sarpin
Sembahe siya-siya.
Angrawuhana jatining salat
Sembah lawan pamujine
Jatining salat iku
Dudu ngisa tuwin magerib
Sembahyang araneka
Wenange punika
Lamun aranana salat
Pun minangka kekembanging salat daim
Ingaran tata krama
Endi ingaran sembah sejati
Aja nembah yen tan katingalan
Temahe kasor kulane
Yen sira nora weruh
Kang sinembah ing donya iki
Kadi anulup kaga
Punglune den sawur
Manuke mangsa kenaa
Awekasa amangeran adan sarpin
Sembahe siya-siya.
Artinya:
Unggulnya diri itu mengetahui hakikat shalat, sembah dan pujian. Shalat yang sebenarnya bukan mengerjakan shalat Isya dan maghrib. Itu namanya sembahyang. Apabila itu disebut shalat, maka hanyalah hiasan dari shalat daim. Hanyalah tata krama . manakah yang disebut shalat yang sesungguhnya itu? Janganlah menyembah jikalau tidak mengetahui siapa yang disembah. Akibatnya dikalahkan oleh martabat hidupmu. Jika didunia ini engkau tidak mengetahui siapa yang disembah, maka engkau seperti menyumpit burung. Pelurunya hanya disebarkan, tapi burungnya tak ada yang terkena tembakan. Akibatnya cuma menyembah ketiadaan, suatu sesembahan yang sia-sia.
Unggulnya diri itu mengetahui hakikat shalat, sembah dan pujian. Shalat yang sebenarnya bukan mengerjakan shalat Isya dan maghrib. Itu namanya sembahyang. Apabila itu disebut shalat, maka hanyalah hiasan dari shalat daim. Hanyalah tata krama . manakah yang disebut shalat yang sesungguhnya itu? Janganlah menyembah jikalau tidak mengetahui siapa yang disembah. Akibatnya dikalahkan oleh martabat hidupmu. Jika didunia ini engkau tidak mengetahui siapa yang disembah, maka engkau seperti menyumpit burung. Pelurunya hanya disebarkan, tapi burungnya tak ada yang terkena tembakan. Akibatnya cuma menyembah ketiadaan, suatu sesembahan yang sia-sia.
Maka jelaslah bahwa shalat lima waktu yang hanya dilakukan berdasarkan
ukuran formalitas, hanya sebentuk tata krama, aturan keberagamaan. Sementara
shalat daim yang merupakan shalat yang sebenarnya. Yakni, kesadaran total akan
kehadiran dan keberadaan Hyang Maha Agung di dalam dirinya, dan dia merasakan
dirinya sirna. Sehingga semua tingkah lakunya adalah shalat. Diam, bicara, dan
semua gerak tubuhnya merupakan shalat. Wudhu, membuang air besar, makan dan
sebagainya adalah tindakan sembahyang. Inilah hakikat dari niat sejati dan
pujian yang tiada putus. Ya, shalat yang mampu membawa pelakunya untuk menebar
kekejian dan ke-mungkar-an. Mampu menghadirkan rahmatan lil alamin.
Komentar