Waktu yang seragam. Mampukah menyeragamkan etos kerja orang Indonesia? 
SANDFORD
 Fleming,  perencana perjalanan kereta api dan teknisi asal Kanada, baru
 saja ketinggalan kereta ketika dia mengunjungi Irlandia dalam tahun 
1876. Dia bingung. Jadwal keberangkatan kereta ternyata tak sesuai 
dengan waktu sebenarnya. Dia mengira kereta berangkat malam, tetapi 
kereta telah berangkat pada pagi hari. Ada perbedaan meridian antara 
Fleming dengan jadwal yang disusun oleh orang Irlandia. Ini karena kala 
itu belum ada pembagian waktu secara baku. Tiap negeri, tiap kota 
memiliki aturan waktunya sendiri. Akibatnya, orang asing sering salah 
mengerti waktu jika berkunjung ke suatu negeri jauh.
Sejak peristiwa itu, Fleming berpikir tentang 
kebutuhan ukuran pembagian waktu yang baku. Sebagai perencana perjalanan
 kereta jarak jauh, dia tak mau ada kekacauan jadwal hanya karena orang 
salah membaca waktu.
Berdasarkan waktu rotasi bumi yang dibulatkan, 24 jam, dan derajat bumi, 360o, Fleming membagi bumi ke dalam 24 zona waktu. Titik nol atau toloknya berasal dari Greenwich yang berada di bujur 0o. Ini berarti, waktu di tiap garis bujur selebar 15o
 dapat berbeda satu jam lebih lambat atau lebih cepat dari Greenwich. 
Semakin ke timur, waktu berbeda satu jam lebih cepat daripada Greenwich 
(+). Sebaliknya, semakin ke barat, waktu berbeda satu jam lebih lambat 
(-). Selisih waktu paling cepat dari Greenwich adalah 12 jam, pun jua 
dengan selisih paling lambatnya. Usul ini disepakati secara 
internasional melalui sebuah Konferensi Meridian Internasional di 
Washington DC pada Oktober 1884.
Di Hindia Belanda, koloni Belanda, pembagian waktu 
belum sepenuhnya mengikuti standar Greenwich Meridian Time (GMT). 
Belanda, meskipun tercatat sebagai negara yang menyetujui konferensi 
itu, belum merumuskan pembagian waktu untuk koloninya. Belanda baru 
menetapkan pembagian waktu pada 1908.
Staats Sporwegen (jawatan kereta api) meminta 
kepada pemerintah untuk menyusun sebuah zona waktu (mintakad) demi 
kelancaran perjalanan kereta di Jawa. Ketika itu, Hindia Belanda telah 
memiliki “greenwich” sendiri sebagai titik nol derajatnya, Jawa Tengah. 
Melalui Gouvernements  besluit 6 Januari 1908, Jawa 
Tengah dan Batavia memiliki perbedaan waktu dua belas menit. Itu 
artinya, Batavia lebih lambat 12 menit dari Jawa Tengah. Peraturan ini 
diterapkan secara resmi pada 1 Mei 1908 dan hanya berlaku untuk wilayah 
Jawa dan Madura. Di luar wilayah itu, pemerintah tidak mengaturnya.
Wilayah Sumatera Barat dan Timur dan Balikpapan 
menjadi wilayah luar Jawa pertama yang mendapatkan pembagian waktu. 
Pemerintah mulai membagi waktu ketiga wilayah itu pada 22 Februari 1918.
 Padang tercatat memiliki perbedaan waktu 39 menit lebih lambat daripada
 Jawa Tengah, sedangkan Balikpapan berselisih 8 jam 20 menit lebih cepat
 dari Greenwich. Peraturan pembagian waktu selanjutnya, 1 Januari 1924, 
tidak mengubah pembagian waktu tersebut secara berarti. Peraturan itu 
hanya menetapkan selisih waktu antara Jawa Tengah dengan Greenwich 
adalah 7 jam 20 menit lebih cepat dari Greenwich. Di luar peraturan itu,
 pembagian waktu tiap daerah ditentukan oleh Hoofden van Gewestelijk Bestuur in Buitengewesen.
Memasuki 1930-an, penerbangan internasional dari 
Hindia Belanda ke Singapura dan Autralia dibuka. Peraturan mengenai 
pembagian waktu harus dirumuskan ulang. Hindia Belanda, untuk pertama 
kalinya, terbagi atas enam zona waktu sejak 11 November 1932 melalui 
peraturan Bij Gouvernment Besluit van 27 Juli 1932 no. 26, Staatsblad No .412.
 Selain pertimbangan penerbangan, kebiasaan masyarakat pemakai jam 
matahari juga menjadi alasan keluarnya peraturan ini. Pemerintah 
kolonial berharap masyarakat itu tak dirugikan dengan pembagian waktu 
ini. Dalam pembagian waktu ini, selisih waktu tiap zona adalah 30 menit.
Peraturan ini menjadi tak berlaku kala Belanda 
menyerahkan Hindia kepada Jepang pada 1942. Jepang menyesuaikan 
pembagian waktu di Hindia dengan kebutuhan militer dan propagandanya. 
Peraturan itu berlaku sejak 20 Maret 1942 sampai dengan 16 September 
1945. Akibatnya, waktu di tiap wilayah Hindia disamakan dengan waktu 
Tokyo (GMT + 9). Sejarawan Didi Kwartanada mengatakan penyesuaian waktu 
dengan Tokyo itu untuk memudahkan mengatur daerah pendudukan Jepang di 
Asia. “Namun Jawa paling terpengaruh karena waktunya harus maju satu 
setengah jam lebih dulu dari biasanya. Yang paling susah orang yang 
biasa sholat subuh jam 04:00 jadi jam 02:30 malam,” kata doktor sejarah 
alumnus National University of Singapore itu. 
Bukan hanya itu, anak sekolah pun mesti berangkat 
sekolah lebih pagi dari biasanya, pada pukul 05:30 subuh. Pemberlakuan 
itu menimbulkan banyak kekacauan di masyarakat. Didi merujuk kepada buku
 Tjamboek Berdoeri, sebuah memoar karya Kwee Thiam Tjing, yang 
mengisahkan betapa orang-orang Jawa di bawah Jepang yang harus 
menyesuaikan waktu Tokyo. “Kwee Thiam Tjing menulis kalau dia sering 
ngantuk karena harus bangun tidur lebih cepat dari biasanya,” katanya.
Bukan hanya jam, sistem penanggalan pun disesuaikan
 dengan penanggalan sumera, yang membuat orang Indonesia jauh lebih tua 
660 tahun dari orang Jepang. Didi mengatakan, “Tahun 1942 disetarakan 
dengan 2602 tahun sumera yang berarti umur orang Jawa jauh lebih tua 660
 tahun dari orang Jepang.” Bahkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pun 
menggunakan tahun sumer, yakni 2605, bukan 1945.
Ketika Belanda kembali menduduki sebagian daerah di
 Indonesia pada 1947, zona waktu di Indonesia terbagi tiga. Ini karena 
Belanda mengubah zona waktu Indonesia secara sepihak. Tiap zona 
berselisih GMT + 6, + 7, dan + 8, kecuali Papua yang berselisih GMT + 9.
 Tidak diketahui secara pasti pertimbangan apa yang melatarbelakangi 
pembagian waktu ini. Namun, pembagian ini tak berlangsung lama. Pada 
1950, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. Dengan demikian, Indonesia 
kembali ke pembagian enam zona waktu dengan selisih 30 menit tiap zona. 
Aturan ini tertuang dalam Keppres RI No. 152 Tahun 1950 yang mulai 
berlaku pada 1 Mei 1950. Hanya Irian yang masih menggunakan peraturan 
Belanda tahun 1947 karena masih diduduki Belanda.
Keppres itu bertahan selama 13 tahun. Pada 1963, 
Indonesia hanya terbagi atas tiga zona waktu: barat, tengah, dan timur. 
Irian Jaya yang telah kembali ke dalam wilayah Indonesia masuk zona 
timur bersama daerah tingkat I Maluku karena terletak pada 135 derajat 
bujur timur. Selisih waktunya dengan GMT adalah + 9. Daerah Tingkat I 
dan istimewa di Sumatera, Jawa, Madura, dan Bali masuk zona barat karena
 terletak pada 105 derajat bujur timur. Wilayah-wilayah ini berselisih +
 7 dari GMT. Zona Indonesia Tengah meliputi Daerah Tingkat I di 
Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Letak bujurnya adalah 120 
derajat bujur Timur dan berselisih + 8 dari GMT. Itu artinya, ada 
selisih satu jam di tiap zona. Pembagian ini dikukuhkan melalui Keppres 
No. 243 Tahun 1963. Beberapa pertimbangannya antara lain, segi sosial, 
agama, efisiensi ekonomi, dan penyederhanaan. Pembagian itu dimulai 
secara resmi sejak 1 Januari 1964.
Keberatan-keberatan segera muncul dari beberapa 
kalangan sejak diterapkannya pembagian tiga zona itu. Mereka menilai 
pembagian waktu itu janggal. Orang-orang di Sabang dan Pontianak harus 
bangun lebih pagi karena jam terbit matahari menjadi lebih awal. Tak 
sesuai dengan waktu terbit sebenarnya. Apalagi kota Pontianak ternyata 
justru tidak masuk zona barat walaupun terletak dalam bujur yang sama 
dengan Tegal. Sementara itu, Bali justru masuk zona barat meski terletak
 dalam bujur zona tengah.
Atas beberapa pertimbangan lain seperti pariwisata 
dan keberatan sebagian kalangan, pemerintah mengeluarkan peraturan baru 
mengenai pembagian waktu melalui Keppres RI No. 41 Tahun 1987. Tidak ada
 perubahan pembagian zona waktu dalam peraturan baru tersebut. Indonesia
 tetap terbagi atas tiga zona waktu. Hanya beberapa daerah yang ditukar 
zona waktunya. Bali, misalnya, masuk ke zona tengah karena pertimbangan 
pariwisata, sedangkan Kalimantan Barat dan Tengah ditarik masuk ke zona 
barat dari zona tengah. Pembagian waktu ini berlangsung hingga sekarang 
meski usul perubahan pembagian waktu menjadi satu zona terus berkembang 
akhir-akhir ini.
Pada 11 Maret 2013, Menko Bidang Perekonomian Hatta
 Rajasa menggulirkan wacana untuk menyatukan zona waktu di seluruh 
wilayah Republik Indonesia. Menurutnya penyatuan zona waktu dilakukan 
dengan alasan efisiensi kinerja sekaligus meningkatkan aktivitas 
ekonomi. 
Singapura pun menentukan waktu sejam lebih cepat  
karena tak mau ketinggalan dengan negara Asia Tenggara lainnya. 
Sebenarnya Singapura memiliki kesesuaian waktu dengan Indonesia bagian 
barat, khususnya Sumatera. “Lee Kuan Yew tak ingin warga Singapura 
ketinggalan. Kalau dilihat, anak sekolah di sana berangkat pagi-pagi 
sekali,” kata Didi.
Namun, apakah penggabungan zona waktu di seluruh 
wilayah Indonesia mampu pula mengubah etos kerja dan budaya orang 
Indonesia? Kita tunggu saja nanti.
referensi : historia 
Komentar