Pemikiran Confusianisme yang didasarkan atas prinsip keseimbangan yin dan yang.
Prinsip keseimbangan menjadi hal utama yang dibahas sehingga keseimbangan yang
mengatur hidup kita juga seimbang. Dengan aturan keseimbangan ini memberikan
dampak yang begitu besar khususnya bagi masyarakat Cina.
Confusius
menganjurkan agar orang belajar dan mempraktekan apa yang dipelajari sehingga
menjadi seorang intelektual yang lengkap, orang seperti ini beliau sebut
sebagai Qun Zi atau seorang intelektual-bijaksana,selain itu dia harus tatap
tenag dalam segala situasi agar dapat menyelesaikan persoalan-persoalan
penghidupan dengan rasional. Ajaran Confusianisme mengajarkan bahwa kita harus
bisa mengatur harta yang baik terutama pendidikan anak-anak. Unsur pendidikan
ini dalam Confusianisme karena para cendikiawan dihormati jauh lebih tinggi
dibandingkan kekayaan.
Itulah
sebabnya di Amerika saat ini kebanyakan mahasiswa peringkat atas diduduki oleh
orang-orang dari Hong Kong, Cina, Taiwan, Singapore, Korea, dan Jepang yang
ternyata negara-negara tersebut dipengaruhi ajaran Confusianisme.
Kemudian
ajaran Confusianisme berdampak pula pada ekonomi Cina itu sendiri. Dengan
adanya konsep kerja keras dan kekerabatan yanmg dijunjung tinggi, merupakan
jaminan link keberhasilan ekonomi masyarakat Cina secara keseluruhan. Selain
itu faktor kecintaan terhadap negara induk (RRC), menjadi sebuah motivasi besar
bagi mereka, untuk berusaha seoptimal mungkin agar mampu memberikan kontribusi
bagi negaranya tersebut, sekalipun mereka hidup di negara orang lain.
Secara
ekonomi Cina memang mempunyai kompeten yang besar, bahkan Amerika sekalipun
segai sebuah negara super power merasa riskan dengan keberadaan Cina tersebut.
Selain faktor kerja keras, kekerabatan, faktor jumlah penduduk yang besar dan
tersebar dimana-mana mempunya andil besar dalam roda perekonomian Cina.
Kemudian daripada itu, tradisi kultural yang lekat dengan kehidupan orang Cina,
merupakan faktor penetralisir, serta pendorong upaya pencerahan bagi kehidupan
yang jauh lebih baik.
Bagi orang
Cina sendiri keberadaan faktor ekonomi secara otomatis merupakan faktor
pendukung majunya pendidikan (kemajuan intelektual). Filsafat Timur dianggap
lebih magis dan bersifat irasional. Namun, ajaran Confusianisme yang termasuk
filsafat Cina ini yang sebenarnya bukan aliran agama, tetapi aliran falsafah
hidup yang tidak mengesampingkan dasar-dasar kepercayaan lama, sehingga mampu
memelihara kerukunan dan kesejahteraan dalam negeri Cina dalam waktu tak kurang
dari dua ribu tahun.
Orang Barat mengangap filsafat pemikiran Timur terutama Cina tidak selalu bersifat rasio (irasional), namun dari uraian pengaruh confusianisme di atas terlihat jelas bahwa pemikiran confusianisme ini bersifat nalar rasional karena pemikiran ini sesuai dengan kehidupan sehari-hari orang Cina.
Orang Barat mengangap filsafat pemikiran Timur terutama Cina tidak selalu bersifat rasio (irasional), namun dari uraian pengaruh confusianisme di atas terlihat jelas bahwa pemikiran confusianisme ini bersifat nalar rasional karena pemikiran ini sesuai dengan kehidupan sehari-hari orang Cina.
Namun,
pendapat tersebut bisa dibantah ternyata pada masa kejayaan Eropa 300 tahun
yang lalu, banyak sarjana dan kaum intelektual terinspirasi oleh ajaran
Khonghucu. salah satu diantara mereka adalah Gottfried Wilhelm Von Leibniz,
bahkan mengusulkan pada tahun1689 suatu program pertukaran budaya Timur-Barat,
mungkin usul pertukaran budaya ini merupakan pertukaran pertama internasional.
dari pertukaran budaya diatas terlihat bahwa sekarang ini filsafat cina tidak
lagi magis dan Irrasional, malahan filsafat Confusianisme ini bisa mempengaruhi
perkembangan pemikiran di dunia.
Taoisme
Taoisme diajarkan oleh Lao Tse (“guru tua”) yang hidup sekitar 550 S.M. Lao Tse melawan Konfusius. Menurut Lao Tse, bukan “jalan manusia” melainkan “jalan alam”lah yang merupakan Tao. Tao menurut Lao Tse adalah prinsip kenyataan objektif, substansi abadi yang bersifat tunggal, mutlak dan tak ternamai. Ajaran Lao Tse lebih-lebih metafisika, sedangkan ajaran Konfusius lebih-lebih etika. Puncak metafisika Taoisme adalah kesadaran bahwa kita tidak tahu apa-apa tentang Tao. Kesadaran ini juga dipentingkan di India (ajaran “neti”, “na-itu”: “tidak begitu”) dan dalam filsafat Barat (di mana kesadaran ini disebut “docta ignorantia”, “ketidaktahuan yang berilmu”).
Taoisme diajarkan oleh Lao Tse (“guru tua”) yang hidup sekitar 550 S.M. Lao Tse melawan Konfusius. Menurut Lao Tse, bukan “jalan manusia” melainkan “jalan alam”lah yang merupakan Tao. Tao menurut Lao Tse adalah prinsip kenyataan objektif, substansi abadi yang bersifat tunggal, mutlak dan tak ternamai. Ajaran Lao Tse lebih-lebih metafisika, sedangkan ajaran Konfusius lebih-lebih etika. Puncak metafisika Taoisme adalah kesadaran bahwa kita tidak tahu apa-apa tentang Tao. Kesadaran ini juga dipentingkan di India (ajaran “neti”, “na-itu”: “tidak begitu”) dan dalam filsafat Barat (di mana kesadaran ini disebut “docta ignorantia”, “ketidaktahuan yang berilmu”).
Taoisme di
sini adalah 道家 Daojia (=filsafat Jalan/Tao).
Mula-mula oleh Sima Tan aliran ini disebut 道德家 Daodejia
(filsafat jalan dan kebajikan), belakangan disebut Daojia. Harap dibedakan
pengertiannya dengan 道教 Daojiao (agama Tao). Umumnya
keduanya sama2 ditulis dalam bahasa Inggris sebagai Taoism. Daojia juga harus
dibedakan dengan 道學 Daoxue, yang merupakan aliran
kebangkitan Rujia baru yang muncul ketika Dinasti Song. Oleh orang Barat Daoxue
disebut Neo-Confucianism.
Sebagai suatu ajaran filosofis, Taoisme terus berkembang sampai abad kedua sebelum Masehi. Filsafat Taoisme juga terdiri dari aliran Chuang Tzu dan Huang Lao. Di dalam ajaran-ajaran awal tentang Taoisme ini, Tao dipandang sebagai “sumber yang unik dari alam semesta dan menentukan semua hal; bahwa semua hal di dunia terdiri dari bagian yang positif dan bagian yang negatif; dan bahwa semua yang berlawanan selalu mengubah satu sama lain; dan bahwa orang tidak boleh melakukan tindakan yang tidak alami tetapi mengikuti hukum kodratnya.” Sikap pasrah terhadap hukum kodrat dan hukum alam ini disebut juga sebagai wu-wei.
Di dalam masyarakat Cina kuno, filsafat dan agama belumlah dibedakan secara tegas. Sejak Taoisme mulai dikenal di dalam dunia berbahasa Inggris, pembedaan antara Taoisme sebagai filsafat dan Taoisme sebagai agama belumlah ada. Pada pertengahan 1950, para ahli sejarah dan Filsafat Cina berpendapat bahwa ada perbedaan tegas di antara keduanya, walaupun memang keduanya berdiri di atas tradisi yang sama. Marcel dan Granet dan Henri Maspero adalah orang-orang yang melakukan penelitian mendalam di bidang ini.
Memang, ada keterkaitan erat antara filsafat Taoisme dan agama Taoisme. Para filsuf Tao sendiri dianggap sebagai pendiri Taoisme, baik sebagai filsafat maupun sebagai agama. Buku paling awal yang memuat ajaran Tao ini berjudul Classic of Great Peace (T’ai-p’ing Ching) yang dianggap merupakan tulisan tangan langsung dari Lao Tzu. Dalam arti tertentu, Lao Tzu sendiri seringkali dianggap sebagai „dewa“. Ia punya beberapa julukan, seperti „Saint Ancestor Great Tao Mysterious Primary Emperor“, dan „Yang memiliki status sebagai Dewa“ (The Divine) itu sendiri.
Perbedaan dasar antara filsafat Taoisme dan agama Taoisme juga terletak pemahaman tentang tujuan dari keberadaan manusia itu sendiri. Para filsuf Taois berpendapat bahwa tujuan setiap orang adalah mencapai transendensi spiritual. Oleh sebab itu, mereka perlu menekuni ajaran Tao secara konsisten. Sementara, para pemuka agama Taoisme berpendapat bahwa tujuan setiap manusia adalah untuk mencapai keabadian, terutama keabadian tubuh fisik (physical immortality) yang dapat dicapai dengan hidup sehat, sehingga bisa berusia panjang. Pada titik ini, kedua ajaran Taoisme ini berbeda secara tajam. Para filsuf Taoisme berpendapat bahwa usia panjang itu tidaklah penting. “Hanya orang-orang yang tidak mencari kehidupan setelah mati”, demikian tulis Lao Tzu di dalam Tao Te Ching pada bagian ke-13, “yang lebih bijaksana di dalam memaknai hidup.” Di dalam beberapa tulisannya, Chuang Tzu menyatakan, “Orang-orang Benar pada masa kuno tidak mengetahui apapun tentang mencintai kehidupan, dan mereka juga tidak mengetahui apapun tentang membenci kematian.” Lao Tzu juga menambahkan, “Hidup dan mati sudah ditakdirkan – sama konstannya dengan terjadinya malam dan subuh… manusia tidak dapat berbuat apapun tentangnya.”
Jelaslah bahwa para filsuf besar Taoisme menyatakan bahwa orang tidaklah perlu untuk memilih antara kehidupan atau kematian. Alih-alih hidup di dalam keresahan di antara keduanya, orang harus melampaui perbedaan di antara keduanya. “Sikap transenden dari filsafat Taoisme terhadap hidup dan kematian”, demikian tulis Xiaogan, “…..adalah mengikuti alam dan tidak melakukan tindakan-tindakan yang tidak alamiah”. Sikap mengikuti alam disebut juga sebagai tzu-jan, dan sikap pasif dengan tidak melakukan tindakan-tindakan yang tidak alami disebut juga sebagai wu-wei. Kontras dengan itu, Taoisme sebagai agama justru menekankan pentingnya keabadian jiwa sebagai prinsip utama.
Filsafat Taoisme dan agama Taoisme juga berbeda pendapat tentang bagaimana seharusnya orang bersikap di hadapan penguasa politik. Filsafat Taoisme menolak tradisi (antitraditional) dan berupaya melampaui nilai-nilai yang diakui bersama. Lao Tzu dan Chuang Tzu bersikap kritis terhadap penguasa pada jamannya, dan juga terhadap nilai-nilai Konfusianisme tradisional. Mereka berdua berpendapat bahwa masyarakat akan jauh lebih baik, jika semua bentuk aturan, moralitas, hukum, dan penguasa dihapuskan. Di sisi lain, para pemuka agama Taoisme sangat menghormati penguasa dan aturan-aturan Konfusianisme. “Orang-orang yang hendak memiliki keabadian”, demikian tulis Ko Hung (284-343), seorang pemuka agama Taoisme, “haruslah menempatkan kesetiaan kepada penguasa dan kesalehan yang tulus kepada orang tua mereka… sebagai prinsip dasar.” K’ou Ch’ien Chih, seorang pemuka agama Toaisme lainnya, juga berpendapat bahwa setiap orang haruslah mempelajari Konfusianisme, serta secara aktif membantu kaisar di dalam mengatur dunia.
Agama Taoisme memang memberikan perhatian besar pada kepentingan-kepentingan praktis yang bersifat temporal. Jika filsafat Taoisme lebih bersifat individualistik dan kritis, maka agama Taoisme dapat dipandang sebagai ajaran yang lebih bersifat sosial dan praktis. Dalam arti ini, para filsuf Taoisme memiliki pengertian-pengertian yang agak berbeda tentang konsep-konsep dasar Taoisme, seperti wu-wei, Tao, dan te, jika dibandingkan dengan pengertian para pemuka agama Taoisme.
Sebagai suatu ajaran filosofis, Taoisme terus berkembang sampai abad kedua sebelum Masehi. Filsafat Taoisme juga terdiri dari aliran Chuang Tzu dan Huang Lao. Di dalam ajaran-ajaran awal tentang Taoisme ini, Tao dipandang sebagai “sumber yang unik dari alam semesta dan menentukan semua hal; bahwa semua hal di dunia terdiri dari bagian yang positif dan bagian yang negatif; dan bahwa semua yang berlawanan selalu mengubah satu sama lain; dan bahwa orang tidak boleh melakukan tindakan yang tidak alami tetapi mengikuti hukum kodratnya.” Sikap pasrah terhadap hukum kodrat dan hukum alam ini disebut juga sebagai wu-wei.
Di dalam masyarakat Cina kuno, filsafat dan agama belumlah dibedakan secara tegas. Sejak Taoisme mulai dikenal di dalam dunia berbahasa Inggris, pembedaan antara Taoisme sebagai filsafat dan Taoisme sebagai agama belumlah ada. Pada pertengahan 1950, para ahli sejarah dan Filsafat Cina berpendapat bahwa ada perbedaan tegas di antara keduanya, walaupun memang keduanya berdiri di atas tradisi yang sama. Marcel dan Granet dan Henri Maspero adalah orang-orang yang melakukan penelitian mendalam di bidang ini.
Memang, ada keterkaitan erat antara filsafat Taoisme dan agama Taoisme. Para filsuf Tao sendiri dianggap sebagai pendiri Taoisme, baik sebagai filsafat maupun sebagai agama. Buku paling awal yang memuat ajaran Tao ini berjudul Classic of Great Peace (T’ai-p’ing Ching) yang dianggap merupakan tulisan tangan langsung dari Lao Tzu. Dalam arti tertentu, Lao Tzu sendiri seringkali dianggap sebagai „dewa“. Ia punya beberapa julukan, seperti „Saint Ancestor Great Tao Mysterious Primary Emperor“, dan „Yang memiliki status sebagai Dewa“ (The Divine) itu sendiri.
Perbedaan dasar antara filsafat Taoisme dan agama Taoisme juga terletak pemahaman tentang tujuan dari keberadaan manusia itu sendiri. Para filsuf Taois berpendapat bahwa tujuan setiap orang adalah mencapai transendensi spiritual. Oleh sebab itu, mereka perlu menekuni ajaran Tao secara konsisten. Sementara, para pemuka agama Taoisme berpendapat bahwa tujuan setiap manusia adalah untuk mencapai keabadian, terutama keabadian tubuh fisik (physical immortality) yang dapat dicapai dengan hidup sehat, sehingga bisa berusia panjang. Pada titik ini, kedua ajaran Taoisme ini berbeda secara tajam. Para filsuf Taoisme berpendapat bahwa usia panjang itu tidaklah penting. “Hanya orang-orang yang tidak mencari kehidupan setelah mati”, demikian tulis Lao Tzu di dalam Tao Te Ching pada bagian ke-13, “yang lebih bijaksana di dalam memaknai hidup.” Di dalam beberapa tulisannya, Chuang Tzu menyatakan, “Orang-orang Benar pada masa kuno tidak mengetahui apapun tentang mencintai kehidupan, dan mereka juga tidak mengetahui apapun tentang membenci kematian.” Lao Tzu juga menambahkan, “Hidup dan mati sudah ditakdirkan – sama konstannya dengan terjadinya malam dan subuh… manusia tidak dapat berbuat apapun tentangnya.”
Jelaslah bahwa para filsuf besar Taoisme menyatakan bahwa orang tidaklah perlu untuk memilih antara kehidupan atau kematian. Alih-alih hidup di dalam keresahan di antara keduanya, orang harus melampaui perbedaan di antara keduanya. “Sikap transenden dari filsafat Taoisme terhadap hidup dan kematian”, demikian tulis Xiaogan, “…..adalah mengikuti alam dan tidak melakukan tindakan-tindakan yang tidak alamiah”. Sikap mengikuti alam disebut juga sebagai tzu-jan, dan sikap pasif dengan tidak melakukan tindakan-tindakan yang tidak alami disebut juga sebagai wu-wei. Kontras dengan itu, Taoisme sebagai agama justru menekankan pentingnya keabadian jiwa sebagai prinsip utama.
Filsafat Taoisme dan agama Taoisme juga berbeda pendapat tentang bagaimana seharusnya orang bersikap di hadapan penguasa politik. Filsafat Taoisme menolak tradisi (antitraditional) dan berupaya melampaui nilai-nilai yang diakui bersama. Lao Tzu dan Chuang Tzu bersikap kritis terhadap penguasa pada jamannya, dan juga terhadap nilai-nilai Konfusianisme tradisional. Mereka berdua berpendapat bahwa masyarakat akan jauh lebih baik, jika semua bentuk aturan, moralitas, hukum, dan penguasa dihapuskan. Di sisi lain, para pemuka agama Taoisme sangat menghormati penguasa dan aturan-aturan Konfusianisme. “Orang-orang yang hendak memiliki keabadian”, demikian tulis Ko Hung (284-343), seorang pemuka agama Taoisme, “haruslah menempatkan kesetiaan kepada penguasa dan kesalehan yang tulus kepada orang tua mereka… sebagai prinsip dasar.” K’ou Ch’ien Chih, seorang pemuka agama Toaisme lainnya, juga berpendapat bahwa setiap orang haruslah mempelajari Konfusianisme, serta secara aktif membantu kaisar di dalam mengatur dunia.
Agama Taoisme memang memberikan perhatian besar pada kepentingan-kepentingan praktis yang bersifat temporal. Jika filsafat Taoisme lebih bersifat individualistik dan kritis, maka agama Taoisme dapat dipandang sebagai ajaran yang lebih bersifat sosial dan praktis. Dalam arti ini, para filsuf Taoisme memiliki pengertian-pengertian yang agak berbeda tentang konsep-konsep dasar Taoisme, seperti wu-wei, Tao, dan te, jika dibandingkan dengan pengertian para pemuka agama Taoisme.
Yin-Yang
“Yin” dan “Yang” adalah dua prinsip induk dari seluruh kenyataan. “Yin” itu bersifat pasif, prinsip ketenangan, surga, bulan, air dan perempuan, simbol untuk kematian dan untuk yang dingin. “Yang” itu prinsip aktif, prinsip gerak, bumi, matahari, api, dan laki-laki, simbol untuk hidup dan untuk yang panas. Segala sesuatu dalam kenyataan kita merupakan sintesis harmonis dari derajat Yin tertentu dan derajat Yang tertentu.
“Yin” dan “Yang” adalah dua prinsip induk dari seluruh kenyataan. “Yin” itu bersifat pasif, prinsip ketenangan, surga, bulan, air dan perempuan, simbol untuk kematian dan untuk yang dingin. “Yang” itu prinsip aktif, prinsip gerak, bumi, matahari, api, dan laki-laki, simbol untuk hidup dan untuk yang panas. Segala sesuatu dalam kenyataan kita merupakan sintesis harmonis dari derajat Yin tertentu dan derajat Yang tertentu.
Moisme
Aliran Moisme didirikan oleh Mo Tse, antara 500-400 S.M. Mo Tse mengajarkan bahwa yang terpenting adalah “cinta universal”, kemakmuran untuk semua orang, dan perjuangan bersama-sama untuk memusnahkan kejahatan. Filsafat Moisme sangat pragmatis, langsung terarah kepada yang berguna. Segala sesuatu yang tidak berguna dianggap jahat. Bahwa perang itu jahat serta menghambat kemakmuran umum tidak sukar untuk dimengerti. Tetapi Mo Tse juga melawan musik sebagai sesuatu yang tidak berguna, dan oleh karenanya dianggap jelek. Etika Mo Tse mengenal prinsip yang antara lain dalam agama kristen disebut kaidah emas: setiap orang harus memperlakukan negara-negara asing seperti tanah air sendiri, keluaga lain seperti keluarga sendiri, orang lain seperti dirinya sendiri. Perintah ini cukup untuk mencapai kebahagiaan dan kemakmuran umum.
Aliran Moisme didirikan oleh Mo Tse, antara 500-400 S.M. Mo Tse mengajarkan bahwa yang terpenting adalah “cinta universal”, kemakmuran untuk semua orang, dan perjuangan bersama-sama untuk memusnahkan kejahatan. Filsafat Moisme sangat pragmatis, langsung terarah kepada yang berguna. Segala sesuatu yang tidak berguna dianggap jahat. Bahwa perang itu jahat serta menghambat kemakmuran umum tidak sukar untuk dimengerti. Tetapi Mo Tse juga melawan musik sebagai sesuatu yang tidak berguna, dan oleh karenanya dianggap jelek. Etika Mo Tse mengenal prinsip yang antara lain dalam agama kristen disebut kaidah emas: setiap orang harus memperlakukan negara-negara asing seperti tanah air sendiri, keluaga lain seperti keluarga sendiri, orang lain seperti dirinya sendiri. Perintah ini cukup untuk mencapai kebahagiaan dan kemakmuran umum.
Sekolah Mo
berakar dari para pendekar yang kehilangan posisi/jabatannya di kerajaan dan
kemudian menjadi pengembara (游侠/ yóuxiá). Adapun perbedaan pendapat
anatara konfusianis dan mohis adalah sebagai berikut: Para Konfusianis
mementingkan relasi yang tepat (Lǐ, tanpa memikirkan keberuntungan. Dari segi
moral atau pendirian, para Konfusianis mengutamakan kebenaran dan kemurnian,
tanpa menghitung keberhasilannya. Penganut Mo Tzŭ lebih pragmatis. Mereka
mengutamakan secara khusus keberuntungan (Lì) dan pencapaian (Kung). Dari bab
ke-35 Mo Tzŭ mengatakan:
“penilaian standar harus dilakukan… Tanpa standar ini, pembedaan antara betul salah, keberuntungan (li) dan keburukan, tidak bisa dilakukan. Maka setiap penilaian harus diverifikasi… tentang dasarnya (adakah ia berdasarkan pola tindakan raja-raja kuno yang bijaksana), pembuktiannya (adakah ia terbukti penting lewat keberuntungan bagi rakyat jelata), dan aplikasinya (apakah memberi keberuntungan pada negara dan rakyat…”
“penilaian standar harus dilakukan… Tanpa standar ini, pembedaan antara betul salah, keberuntungan (li) dan keburukan, tidak bisa dilakukan. Maka setiap penilaian harus diverifikasi… tentang dasarnya (adakah ia berdasarkan pola tindakan raja-raja kuno yang bijaksana), pembuktiannya (adakah ia terbukti penting lewat keberuntungan bagi rakyat jelata), dan aplikasinya (apakah memberi keberuntungan pada negara dan rakyat…”
Dengan demikian,
tolok ukur kebenaran sebuah prinsip menurut Mo Tzŭ adalah seberapa besar
keberuntungan yang diberikan kepada negara dan rakyat jelata. Segala sesuatu
harus berguna, dan semua prinsip harus bisa diaplikasikan supaya menyumbang
sesuatu nilai secara mandiri. Maka sesuatu prinsip yang tidak bisa
diejawantahkan nilainya, ataupun tidak bisa diajarkan secara efektif kepada
manusia lain untuk mengejawantahkan nilainya, hanya rasio belaka. Tetapi
pendirian Mo Tzŭ ini bertabrakan dengan idealisme Konfusianis, yang
mengutamakan pembentukan moralitas yang mendukung tindakan seseorang, supaya
bertindak mengikut apa yang benar, dan bukan mengikut apa yang lebih
bermanfaat.
Ming Chia
Ming Chia atau “sekolah nama-nama”, menyibukkan diri dengan analisis istilah-istilah dan perkataan-perkataan. Ming Chia, yang juga disebut “sekolah dialektik”, dapat dibandingkan dengan aliran sofisme dalam filsafat Yunani. Ajaran mereka penting sebagai analisis dan kritik yang mempertajam perhatian untuk pemakaian bahasa yang tepat, dan yang memperkembangkan logika dan tatabahasa. Selain itu dalam Ming Chia juga terdapat khayalan tentang hal-hal seperti “eksistensi”, “relativitas”, “kausalitas”, “ruang” dan “waktu”.
Ming Chia atau “sekolah nama-nama”, menyibukkan diri dengan analisis istilah-istilah dan perkataan-perkataan. Ming Chia, yang juga disebut “sekolah dialektik”, dapat dibandingkan dengan aliran sofisme dalam filsafat Yunani. Ajaran mereka penting sebagai analisis dan kritik yang mempertajam perhatian untuk pemakaian bahasa yang tepat, dan yang memperkembangkan logika dan tatabahasa. Selain itu dalam Ming Chia juga terdapat khayalan tentang hal-hal seperti “eksistensi”, “relativitas”, “kausalitas”, “ruang” dan “waktu”.
Fa Chia
Fa Chia atau “sekolah hukum”, cukup berbeda dari semua aliran klasik lain. Sekolah hukum tidak berpikir tentang manusia, surga atau dunia, melainkan tentang soal-soal praktis dan politik. Fa Chia mengajarkan bahwa kekuasaan politik tidak harus mulai dari contoh baik yang diberikan oleh kaisar atau pembesar-pembesar lain, melainkan dari suatu sistem undang-undang yang keras sekali.
Fa Chia atau “sekolah hukum”, cukup berbeda dari semua aliran klasik lain. Sekolah hukum tidak berpikir tentang manusia, surga atau dunia, melainkan tentang soal-soal praktis dan politik. Fa Chia mengajarkan bahwa kekuasaan politik tidak harus mulai dari contoh baik yang diberikan oleh kaisar atau pembesar-pembesar lain, melainkan dari suatu sistem undang-undang yang keras sekali.
Mencius
dan Xunzi
Konfusianisme bermula dari ajaran Konfusius, tetapi kemudian dibangun dan dikembangkan oleh Mencius dan Xunzi. Seperti Konfusius, Mencius mendasarkan ajarannya pada Ren, tapi ia menyatakan bahwa untuk membina Ren harus dikembangkan yi atau kebaikan. “Yang disimpan dalam hati adalah ren, yang dipakai dalam tindakan adalah yi.” Jadi, ren adalah prinsip tepat untuk mengawasi gerak internal, sedangkan yi adalah cara tepat untuk membimbing tindak eksternal.
Konfusianisme bermula dari ajaran Konfusius, tetapi kemudian dibangun dan dikembangkan oleh Mencius dan Xunzi. Seperti Konfusius, Mencius mendasarkan ajarannya pada Ren, tapi ia menyatakan bahwa untuk membina Ren harus dikembangkan yi atau kebaikan. “Yang disimpan dalam hati adalah ren, yang dipakai dalam tindakan adalah yi.” Jadi, ren adalah prinsip tepat untuk mengawasi gerak internal, sedangkan yi adalah cara tepat untuk membimbing tindak eksternal.
Mencius
mengritik Mohisme mengenai tata hubungan relasi. Mo Tzu mengabaikan hierarki
ini dengan menekankan kesamaan kedudukan dalam relasi. Yang Tzu lebih
menekankan diri sendiri. Ia menunjukkan bahwa karna tidak adanya hierarki ini
dan menekankan diri sendiri, Yang Tzu telah menentang rasa kemanusiaan dan
keadilan yang arah nyatanya peduli pada orang lain. Pada Mo Tzu tidak ada
gradasi cinta (no gradations of greater or lesser love). Lebih lanjut lagi, Ia
menekankan Sistem Keluarga yang diungkap Confusius; yaitu sistim masyarakat
Tionghoa, ada 5 jenis hubungan yaitu Raja-Menteri, Ayah-Anak, Suami-Istri,
Kakak-Adik, teman-teman.
Penggalang
Konfusianis lainnya adalah Xunzi. Dia adalah eksponen prinsip prinsip
Konfusius, tapi pengkritik Mencius. Bila Mencius dapat dikatakan sebagai wakil
dari sayap idealistic, maka Xunzi merupakan wakil dari sayap realistic, karena
ia menekankan control social dan kodrat manusia itu buruk.
Daoisme
Lao Zi dan pengikutnya menduga bahwa ada yang salah dalam hakekat masyarakat
dan peradabannya. Mereka menganjurkan rakyat Cina untuk membuang semua pranata
dan konvensi yang ada. Mereka percaya bahwa manusia yang dulu mempunyai suatu
sorga kemudian hilang karena kekeliruannya sendiri, yaitu karna ia
mengembangkan peradaban. Menurut Lao Zi dan pengikut pengikutnya, cara terbaik
untuk hidup adalah menarik diri dari peradaban dan kembali kepada alam, dari
keadaan beradab ke keadaan alami. Inilah jalur pemikiran naturalistic yang
dikenal sebagai Daoisme yang menjunjung tinggi Dao dan alam.
Para
penganut Daois memandang alam sebagai tempat mereka menarik diri, mencita
citakan hidup sederhana, dengan wu wei sebagai inti ajaran mereka. Tetapi
karena diantara mereka ada perbedaan dalam hal menafsirkan konsep Dao,
muncullah dua anak aliran. Yang satu dipelopori oleh Zhuang Zi, yang lainnya
dipelopori oleh Yang Zhu.
Sementara
itu, Chuang Tzu memandang Dao sebagai totalitas dari spontanitas segala sesuatu
di alam semesta ini. Semua hal harus dibiarkan berkembang sendiri, secara alami
dan spontan, Akan tetapi Yang Tzu berpendapat bahwa Dao adalah suatu kekuatan
fisis yang buta. Dao menghasilkan dunia tidak atas dasar perencanaan atau
kehendak, tetapi atas dasar keniscayaan atau kebetulan. Pendapat ini merupakan
pendapat yang mewakili kaum materialistic Daoisme. Apapun perbedaannya, ajaran
ajaran mereka menekankan bahwa manusia harus cocok dan serasi dengan kodratnya
dan puas dengan apa adanya.
Han Fei
Zi
Dalam Kitab han Fei Zi kita temukan suatu sintesa bulat dari gagasan kaum Legalis berasal dari ajaran shi menurut Shen Dao, ajaran shu menurut Shen Buhai, dan fa menurut Shang Yang. Han Fei memakai teori Xunzi tentang kodrat manusia dalam upayanya mempertahankan bahwa hukum dan peraturan itu esensial dalam menjaga tatanan social dan perdamaian .Han Fei juga memakai doktrin wu wei dari Laozi bagi prinsip politiknya bahwa roda pemerintahan yang memakai hukum yang terperinci harus berfungsi sendiri, tidak perlu ada campur tangan penguasa. Dengan demikian menandakan bahwa mereka bertentangan langsung dengan kaum konfusianis, yang menekankan nilai nilai etis dan pengaruh manusia.
Dalam Kitab han Fei Zi kita temukan suatu sintesa bulat dari gagasan kaum Legalis berasal dari ajaran shi menurut Shen Dao, ajaran shu menurut Shen Buhai, dan fa menurut Shang Yang. Han Fei memakai teori Xunzi tentang kodrat manusia dalam upayanya mempertahankan bahwa hukum dan peraturan itu esensial dalam menjaga tatanan social dan perdamaian .Han Fei juga memakai doktrin wu wei dari Laozi bagi prinsip politiknya bahwa roda pemerintahan yang memakai hukum yang terperinci harus berfungsi sendiri, tidak perlu ada campur tangan penguasa. Dengan demikian menandakan bahwa mereka bertentangan langsung dengan kaum konfusianis, yang menekankan nilai nilai etis dan pengaruh manusia.
Menurut Sima
Tan (meninggal tahun 110 SM), keenam sekolah klasik tersebut kadang dikatakan
mereka berasal dari keenam golongan dalam masyarakat Cina, yang terdiri dari:
a. Rujia: kaum ilmuwan
b. Daojia: kaum pertapa
c. Yinyangjia: para ahli ilmu gaib
d. Mojia: kaum ksatria
e. Mingjia: para pendebat
f. Fajia: ahli-ahli politik
a. Rujia: kaum ilmuwan
b. Daojia: kaum pertapa
c. Yinyangjia: para ahli ilmu gaib
d. Mojia: kaum ksatria
e. Mingjia: para pendebat
f. Fajia: ahli-ahli politik
Zaman
Neo-Taoisme dan Buddhisme (200 S.M.-1000 M.)
Bersama dengan perkembangan Buddhisme di Cina, konsep Tao mendapat arti baru. Tao sekarang dibandingkan dengan “Nirwana” dari ajaran Buddha, yaitu “transendensi di seberang segala nama dan konsep”, “di seberang adanya”. Transendensi merupakan dasar dari dua unsurnya yang lain. Transendensi hendak menjadikan nilai-nilai transendental (keimanan) sebagai bagian penting dari proses membangun peradaban. Transendensi menempatkan agama pada kedudukan yang sangat sentral.
Bersama dengan perkembangan Buddhisme di Cina, konsep Tao mendapat arti baru. Tao sekarang dibandingkan dengan “Nirwana” dari ajaran Buddha, yaitu “transendensi di seberang segala nama dan konsep”, “di seberang adanya”. Transendensi merupakan dasar dari dua unsurnya yang lain. Transendensi hendak menjadikan nilai-nilai transendental (keimanan) sebagai bagian penting dari proses membangun peradaban. Transendensi menempatkan agama pada kedudukan yang sangat sentral.
Zaman
Neo-Konfusianisme (1000-1900)
Dari tahun 1000 M. Konfusianisme klasik kembali menjadi ajaran filsafat terpenting. Buddhisme ternyata memuat unsur-unsur yang bertentangan dengan corak berpikir Cina. Kepentingan dunia ini, kepentingan hidup berkeluarga dan kemakmuran material, yang merupakan nilai-nilai tradisional di Cina, sema sekali dilalaikan, bahkan disangkal dalam Buddhisme, sehingga ajaran ini oleh orang dianggap sebagai sesuatu yang sama sekali asing.
Dari tahun 1000 M. Konfusianisme klasik kembali menjadi ajaran filsafat terpenting. Buddhisme ternyata memuat unsur-unsur yang bertentangan dengan corak berpikir Cina. Kepentingan dunia ini, kepentingan hidup berkeluarga dan kemakmuran material, yang merupakan nilai-nilai tradisional di Cina, sema sekali dilalaikan, bahkan disangkal dalam Buddhisme, sehingga ajaran ini oleh orang dianggap sebagai sesuatu yang sama sekali asing.
Neo-Konfusianisme
adalah bentuk Konfusianisme yang terutama dikembangkan selama Dinasti Song, tetapi
aliran ini mulai nampak ke permukaan sudah sejak zaman dinasti Tang lewat Han
Yu dan Li ao. Mereka membuka cakrawala baru Neo-Konfusianisme, yaitu dimensi
kosmologis dalam refleksi mereka. Zhou Dunyi merupakan tokoh yang tak boleh
dilupakan. Kosmologi Zhou Dunyi merupakan pengembangan butir-butir ajaran
Apendiks dari Kitab Yi Jing dan dia memakai diagram daois untuk ilustrasi dan
membentuk ‘Tai Ji Tu dan Tai JI Shuo-nya. Selain Zhou Dunyi masih ada Shao Yong
(kosmologis lain yang mengembangkan ajarannya berdasar juga Apendiks dari Kitab
Yi Jing. Bedanya dengan Zhuo dia memakai 64 hexagram Yi Jing). Sementara Zhang
Zhai (kosmologis lain yang juga mengembangkan ajarannya berdasar juga Apendiks
dari Kitab Yi Jing. Namun dia menekankankan dan mengolah lebih jaug gagasan
Qi). Mewarisi ‘ke-satu-an’ dari segala dari Zhang Cai, itu yang dikembangkan
Cheng Hao menjadi filsafatnya. Ren = rangkuman dari: Yi, Li, Zhi dan Xin,
pahami itu dan tempa-tumbuhkan dengan ketulusan dan kecermatan, itulah
segalanya. Secara metafisis ada kesatuan antara semua yang ada. Gagasan
tersebut kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Lu Jiuyuan dan Wang Yangming
yang pada akhirnya membentuk sekolah Lu wang.
Zaman
Modern (setelah 1900)
Sejarah modern mulai di Cina sekitar tahun 1900. Pada permulaaan abad kedua puluh pengaruh filsafat Barat cukup besar. Banyak tulisan pemikir-pemikir Barat diterjemahkan ke dalam bahasa Cina. Aliran filsafat yang terpopuler adalah pragmatisme, jenis filsafat yang lahir di Amerika Serikat. Setelah pengaruh Barat ini mulailah suatu reaksi, kecenderungan kembali ke tradisi pribumi. Terutama sejak 1950, filsafat Cina dikuasai pemikiran Marx, Lenin dan Mao Tse Tung.
Sejarah modern mulai di Cina sekitar tahun 1900. Pada permulaaan abad kedua puluh pengaruh filsafat Barat cukup besar. Banyak tulisan pemikir-pemikir Barat diterjemahkan ke dalam bahasa Cina. Aliran filsafat yang terpopuler adalah pragmatisme, jenis filsafat yang lahir di Amerika Serikat. Setelah pengaruh Barat ini mulailah suatu reaksi, kecenderungan kembali ke tradisi pribumi. Terutama sejak 1950, filsafat Cina dikuasai pemikiran Marx, Lenin dan Mao Tse Tung.
Inilah
sejarah perkembangan filsafat China, yang merupakan filsafat Timur. Yang
termasuk kepada filsafat Barat misalnya filsafat Yunani, filsafat Helenisme,
“filsafat Kristiani”, filsafat Islam, filsafat jaman renaissance, jaman modern
dan masa kini.
referensi:
Creel, H. G. Chinese Thought from Confusius to Mao Tse tung. 1953. Chicago: The University of Chicago Press.
Yu-Lan, Fung. A History of Chinese Philosophy, vol. I & II. 1952. Princeton: Princeton University Press.
Liu, JeeLoo. An Introduction to Chinese Philosophy – From Ancient Philosophy to Chinese Buddhism. 2006. Blackwell Publishing.
Liu, JeeLoo. An Introduction to Chinese Philosophy – From Ancient Philosophy to Chinese Buddhism. 2006. Blackwell Publishing.
Komentar