Revolusi dapat terjadi melalui dua cara: oleh sebuah bangsa yang bersatu seperti seekor singa yang siap menerkam, atau¸ oleh sebuah bangsa yang di dalam proses perjuangannya menjadi terpecah-pecah guna membebaskan elemen terbaiknya yang akan melaksanakan tugas-tugas yang tidak mampu dipenuhi oleh seluruh bangsa. Ini adalah dua set kondisi-kondisi sejarah yang bertentangan, yang di dalam bentuknya yang murni tentu saja hanya mungkin di dalam kontraposisi yang logis.
Dalam kebanyakan kasus, jalan tengah dari kedua cara ini adalah jalan yang paling parah. Jalan tengah inilah yang terjadi pada 1848 (baca kegagalan Revolusi Austria dan Prusia – Ed.)
Di dalam periode sejarah Prancis yang heroik, kita melihat sebuah kelas borjuasi, yang tercerahkan, yang aktif, yang belum sadar akan kontradiksi-kontradiksi di dalam posisinya, yang oleh sejarah dibebankan tugas kepemimpinan perjuangan demi sebuah orde yang baru, bukan hanya melawan institusi-institusi tua di Prancis tetapi juga melawan kekuatan-kekuatan reaksioner seluruh Eropa. Dengan konsisten dan di dalam semua faksinya, kaum borjuasi ini menganggap diri mereka sendiri sebagai pemimpin bangsa, menyatukan massa ke dalam perjuangan, memberikan mereka slogan-slogan dan mendikte taktik-taktik perjuangan mereka. Demokrasi mengikat seluruh bangsa dengan sebuah ideologi politik. Rakyat – yakni kaum borjuasi kota, kaum tani, dan kaum buruh – memilih kaum borjuasi sebagai perwakilan mereka, dan instruksi-instruksi yang mereka berikan kepada perwakilan mereka ini ditulis dengan bahasa kaum borjuasi yang menjadi sadar akan misinya sebagai pembebas. Selama revolusi ini sendiri, walaupun antagonisme-antagonisme kelas terkuak, namun inersia perjuangan revolusioner yang besar ini melempar keluar elemen-elemen borjuasi yang lebih konservatif. Tidak ada strata yang akan terguling sebelum ia mentransfer enerjinya ke strata yang ada di belakangnya. Seluruh bangsa lalu melanjutkan perjuangannya dengan metode-metode yang lebih tajam dan lebih tegas. Ketika lapisan-lapisan atas dari kaum borjuasi kaya pecah dari gerakan nasional ini dan membentuk aliansi dengan Louis XVI, tuntutan-tuntutan demokratik bangsa ini ditujukan melawan kaum borjuasi tersebut, dan ini menghasilkan pemilu universal dan republik sebagai bentuk demokrasi yang logis dan tidak terelakkan.
Revolusi Prancis 1789 memang adalah sebuah revolusi nasional. Dan terlebih lagi, di dalam kerangka nasional, perjuangan mendunia dari kaum borjuasi untuk meraih dominasi, kekuasaan, dan kemenangan mutlak menemukan ekspresi klasiknya.
Jacobinisme sekarang adalah sebuah istilah kotor di mulut semua kaum liberal yang sok tahu. Kebencian kaum borjuasi terhadap revolusi, kebenciannya terhadap rakyat, kebenciannya terhadap kekuatan dan kemegahan sejarah yang tercipta di jalan-jalan, kebencian ini terpusatkan di dalam satu pekik kebencian dan rasa takut – Jacobinisme! Kita, pasukan komunis sedunia, sudah sejak lama menyelesaikan pertentangan historis kita dengan Jacobinisme. Seluruh gerakan proletar internasional sekarang ini dibentuk dan tumbuh kuat di dalam perjuangannya melawan tradisi Jacobinisme. Kita mengkritik teori-teorinya, kita ekspos limit-limit historisnya, kontradiksi-kontradiksi sosialnya, utopismenya, kita ekspos retorika-retorikanya, dan hancurkan tradisi-tradisi ini, yang selama puluhan tahun telah dianggap sebagai warisan suci revolusi.
Tetapi kita membela Jacobinisme dari serangan-serangan, fitnah-fitnah dan maki-makian yang dilakukan oleh liberalisme yang impoten. Dengan sangat memalukan, kaum borjuasi telah mengkhianati semua tradisi sejarah di saat ia masih muda, dan saat ini agen-agen bayarannya menginjak-injak kuburan leluhurnya dan mentertawakan nilai-nilai idealisme leluhurnya. Kaum proletar telah melindungi kehormatan dari masa-lalu revolusioner kaum borjuasi. Akan tetapi, seradikal apapun kaum proletar telah putus dari tradisi-tradisi revolusioner kaum borjuasi, mereka tetap melindungi tradisi-tradisi ini sebagai sebuah warisan suci semangat perjuangan, kepahlawanan, dan kreatifitas yang agung, dan hatinya berdentum dengan penuh simpati terhadap pidato-pidato dan aksi-aksi kaum Jacobin.
Bukankah liberalisme mendapatkan pesonanya dari tradisi-tradisi Revolusi Prancis? Bukankah demokrasi borjuis naik ke tempat yang begitu tinggi dan menebarkan api yang begitu menggelora di hati rakyat hanya pada saat periode Jacobin, sans-culotte, teroris, dan demokrasi Robespierrian tahun 1793?
Siapa lagi kalau bukan Jacobinisme yang memungkinkan kaum borjuasi dari segala aliran untuk memimpin mayoritas rakyat dan bahkan kaum proletar di bawah pengaruhnya, ketika radikalisme borjuis di Jerman dan Austria telah menutup sejarahnya yang pendek dengan aksi-aksi yang memalukan dan mengecewakan?
Siapa lagi kalau bukan Jacobinisme dengan pesonanya, dengan ideologi politiknya yang abstrak, dengan pemujaannya terhadap Republik yang Suci, dengan deklarasi-deklarasinya yang megah, yang bahkan sampai sekarang memberi enerji kepada kaum Radikal Prancis dan kaum sosialis-radikal seperti Clemenceau, Millerand, Briand dan Bourgeois, dan semua politisi-politisi yang tahu bagaimana mempertahankan sistem borjuis seperti halnya kaum Junkernya Wilhem II? Mereka dicemburui oleh kaum borjuasi demokrat dari negeri-negeri lain, akan tetapi mereka masih saja menebar fitnah kepada Jacobinisme, sumber kemasyuran politik mereka.
Bahkan setelah banyak harapan sudah dihancurkan, Jacobinisme tetap tinggal di dalam ingatan rakyat sebagai sebuah tradisi. Puluhan tahun lamanya, kaum proletar masih berbicara mengenai masa depannya dengan bahasa masa lalu. Pada 1840, hampir setengah abad setelah pemerintahan ‘La Montagne’, 8 tahun sebelum Hari-Hari Juni 1848, Heine mengunjungi beberapa seminar di faubourg (sub-urban) Saint-Marceau dan menyaksikan para buruh, ‘seksi kelas bawah yang paling bersuara’, sedang membaca. Dalam artikelnya di sebuah suratkabar Jerman, Heine menulis, “Saya menemukan di sana beberapa pidato Robespierre dan juga pamflet-pamflet karangan Marat dalam dua edisi; “History of the Revolution”oleh Cabet; tulisan-tulisan Cormenin yang tajam; karya-karya Buonarroti; “The Teachings and Conspiracy of Babeuf”; semua karya-karya yang berbau darah …”, lalu penyair ini meramalkan, “ … sebagai salah satu buah dari benih ini, cepat atau lambat sebuah republik akan lahir di Prancis.”
Pada 1848, kaum borjuasi sudah tidak mampu lagi memainkan peran yang sama. Mereka tidak ingin dan tidak mampu melaksanakan likuidasi revolusioner terhadap sistem sosial yang menghadang jalan mereka ke kekuasaan. Kita tahu mengapa. Tujuan kaum borjuasi adalah – dan mereka sepenuhnya sadar akan tujuan ini – untuk memasukkan ke dalam rejim lama ini kebijakan-kebijakan penjamin yang diperlukan bukan untuk dominasi politik mereka tetapi hanya untuk berbagi kekuasaan dengan kekuatan-kekuatan rejim lama. Mereka menjadi bijak karena pengalaman kaum borjuasi Prancis, yang menjadi korup karena pengkhianatan mereka dan menjadi takut akan kegagalan mereka. Mereka bukan hanya gagal memimpin massa menghancurkan orde yang lama, tetapi mendukung orde lama ini guna mendorong ke belakang massa yang maju ke depan.
Kaum borjuasi Prancis berhasil menyelesaikan Revolusi Prancis 1789. Saat itu, kesadarannya adalah kesadaran masyarakat, dan tidak ada institusi yang bisa terbentuk tanpa pertama kali melewati kesadarannya sebagai tujuannya, sebagai masalah pembentukan politik. Sering kali mereka menggunakan pose-pose teatrikal guna menyembunyikan diri mereka dari batasan-batasan dunia borjuis mereka – tetapi mereka tetap melangkah maju.
Akan tetapi, kaum borjuasi Jerman, dari awalnya, tidak ‘menciptakan’ revolusi, tetapi memisahkan diri mereka dari revolusi. Kesadaran mereka bertentangan dengan kondisi-kondisi objektif untuk dominasi mereka. Revolusi hanya bisa dilaksanakan bukan oleh mereka tetapi untuk melawan mereka. Di dalam pikirannya, institusi-institusi demokrasi bukanlah tujuan untuk diperjuangkan, tetapi merupakan halangan bagi kemakmuran mereka.
Pada 1848, sebuah kelas dibutuhkan, sebuah kelas yang mampu mengambil tampuk kepemimpinan gerakan tanpa keberadaan kaum borjuasi, sebuah kelas yang bukan hanya mampu mendorong maju kaum borjuasi tetapi juga mampu menyingkirkan mayat politik kaum borjuasi pada saat-saat yang menentukan. Kaum borjuasi kecil kota dan kaum tani tidak mampu melakukan hal ini.
Kaum borjuasi kecil perkotaan membenci rejim masa lalu dan juga rejim masa depan. Masih terikat oleh relasi Zaman Pertengahan, tetapi sudah tidak mampu berdiri melawan industri ‘bebas’; masih berpengaruh di kota-kota, tetapi sudah tidak mampu melawan kaum borjuasi menengah dan besar; penuh dengan prasangka, tuli karena gemuruh peristiwa, tertindas dan menindas, serakah tetapi tidak mampu memenuhi keserakahannya; kaum borjuasi kecil tidak mampu mengendalikan jalannya peristiwa-peristiwa besar bila ditinggal sendirian.
Kaum tani bahkan lebih tidak memiliki inisiatif politik yang mandiri. Dirantai selama berabad-abad, miskin, penuh kemarahan, menyatukan semua bentuk penindasan yang lama dan baru di dalamnya, kaum tani pada suatu saat tertentu dapat menjadi sumber kekuatan revolusioner yang besar. Akan tetapi, tidak terorganisir, tercerai-berai, terisolasi dari kota yang merupakan nadi utama dari politik dan kebudayaan, bodoh, wawasannya terbatas pada desa-desa mereka sendiri, tidak peduli pada apa yang sedang dipikirkan oleh orang-orang kota, kaum tani tidak bisa menjadi kekuatan pemimpin. Kaum tani segera menjadi jinak setelah punggungnya telah dibebaskan dari beban feodalisme, dan menunjukkan rasa tidak berterimakasih kepada kota-kota yang telah berjuang demi hak-hak mereka. Kaum tani yang terbebaskan menjadi fanatik ‘orde lama’.
Kaum intelektual demokrat tidak memiliki kekuatan kelas. Pada satu waktu kelompok ini mengekori saudara tuanya, kaum borjuasi liberal, pada waktu yang lain mereka meninggalkan kaum borjuasi liberal di saat yang kritikal guna mengekspos kelemahan mereka. Mereka membingungkan diri mereka sendiri dengan kontradiksi-kontradiksi yang tidak bisa diselesaikan, dan membawa kebingungan ini kemana saja mereka pergi.
Kaum proletar terlalu lemah, tidak memiliki organisasi, pengalaman, dan pengetahuan. Kapitalisme telah cukup berkembang sehingga membuat penghapusan relasi-relasi feodal sebagai suatu hal yang harus dilakukan, tetapi pada pihak yang lain kapitalisme belumlah cukup berkembang untuk membuat kelas buruh – yang merupakan produk dari relasi-relasi industri yang baru – sebagai sebuah kekuatan politik yang menentukan. Antagonisme antara proletar dan borjuasi, bahkan di dalam kerangka nasional Jerman, sudah menjadi terlalu besar sehingga kaum borjuasi tidak berani mengambil peran hegemoni nasional, tetapi tidak cukup bagi kaum proletar untuk mengambil peran tersebut. Benar kalau friksi internal revolusi mempersiapkan kaum proletar untuk kemandirian politik, tetapi pada saat yang sama friksi internal ini menghabiskan enerji dan melemahkan persatuan, menyebabkan penghabisan enerji yang sia-sia, dan memaksa revolusi – setelah keberhasilan awalnya – untuk tertunda lama dan kemudian mundur di bawah pukulan-pukulan reaksioner.
Revolusi Austria merupakan satu contoh yang jelas dan tragis dari karakter relasi-relasi politik yang tidak-matang dan tidak-selesai di dalam periode revolusi.
Kaum proletar Vienna pada 1848 menunjukkan kepahlawanan yang hebat dan enerji yang besar. Lagi dan lagi mereka terjun ke medan perang, hanya didorong oleh naluri kelas yang buram, tidak memiliki sebuah gambaran umum akan tujuan-tujuan perjuangan mereka, dan mengubah satu slogan ke slogan yang lain dengan meraba-raba di dalam kegelapan. Cukup luar biasa, kepemimpinan proletar jatuh di tangan kaum pelajar, satu-satunya kelompok demokratik aktif, yang memiliki pengaruh yang besar terhadap massa karena aktivitas mereka, dan oleh karena itu mereka juga memiliki pengaruh yang besar terhadap jalannya peristiwa-peristiwa. Tidak diragukan kalau para pelajar mampu berjuang dengan berani di barikade-barikade dan bergaul dengan para buruh, tetapi mereka sama sekali tidak mampu memberikan arah kepada jalannya revolusi yang telah memberikan mereka ‘kediktatoran’ di jalanan.
Kaum proletar, tidak terorganisir, tanpa pengalaman politik dan kepemimpinan yang mandiri, mengikuti para pelajar. Pada setiap momen yang kritikal, para buruh menawarkan ‘tuan-tuan yang bekerja dengan kepala mereka’ bantuan dari ‘mereka yang bekerja dengan tangan mereka’. Pada satu saat para pelajar memanggil para buruh untuk berjuang, dan pada saat yang lain para pelajar menghalangi para buruh dari sub-urban untuk pergi ke kota. Kadang-kadang, dengan menggunakan otoritas politik mereka dan mengandalkan senjatanya Academic Legion, para pelajar melarang para buruh untuk memajukan tuntutan-tuntutan mandiri mereka sendiri. Ini jelas-jelas adalah bentuk klasik kediktatoran revolusioner yang baik-hati terhadap kaum proletar. Apakah hasil dari relasi-relasi sosial ini? Nah ini: ketika pada 26 Mei, semua kaum buruh Vienna, yang dipanggil oleh para pelajar, bergerak untuk menentang pelucutan senjata para pelajar (Academic Legion); ketika seluruh populasi ibukota yang membangun barikade-barikade di seluruh penjuru kota menunjukkan kekuatan yang besar dan mengambil alih kota Vienna; ketika seluruh Austria mendukung mempersenjatai rakyat Vienna; ketika monarki sudah kabur dan tidak punya pengaruh lagi; ketika semua tentara telah ditarik keluar dari ibukota karena tekanan dari rakyat; ketika pemerintahan Austria mengundurkan diri tanpa menunjuk penggantinya – tidak ada kekuatan politik yang dapat mengambil tampuk kepemimpinan.
Kaum borjuasi liberal sengaja menolak mengambil kekuasaan yang telah ditundukkan dengan cara yang liar; mereka hanya memimpikan kembalinya sang Raja yang telah lari ke Tyrol.
Kaum buruh memiliki cukup keberanian untuk mengalahkan kekuatan reaksioner,tetapi tidak cukup terorganisir dan sadar untuk menggantikan mereka. Sebuah gerakan buruh yang kuat eksis, tetapi perjuangan kelas proletar dengan sebuah tujuan politik yang tegas belumlah cukup berkembang. Kaum proletar, yang tidak mampu mengambil kepemimpinan, tidak mampu menyelesaikan tugas historis ini. Dan kaum demokrat borjuis, seperti yang sering terjadi, diam-diam kabur pada saat yang sangat menentukan.
Untuk memaksa para desertir (pembelot) ini supaya mereka memenuhi kewajiban-kewajibannya mengharuskan kaum proletar untuk memiliki enerji dan kedewasaan seperti yang dibutuhkan untuk membentuk pemerintahan buruh sementara.
Sebagai konsekuensinya, kita menyaksikan sebuah situasi yang dapat dijelaskan sebagai berikut: “Republik telah terbentuk di Vienna, tetapi sayangnya tidak ada seorangpun yang sadar akan hal ini.” Republik yang tidak disadari oleh siapapun ini telah lama hilang dari arena, digantikan oleh Habsburg… Sebuah kesempatan yang sekali hilang tidak akan kembali lagi.
Dari pengalaman revolusi Hungaria dan Jerman, Lassalle menyimpulkan bahwa mulai dari sekarang revolusi hanya dapat mengandalkan perjuangan kelas kaum proletar. Di dalam suratnya kepada Marx tertanggal 24 Oktober 1849, Lassalle menulis: “Hungaria memiliki lebih banyak kesempatan daripada negeri-negeri lainnya untuk berhasil di dalam perjuangannya. Salah satu penyebabnya adalah karena partai-partai di negeri ini tidaklah terpecah-berai dan bertengkar seperti halnya di Eropa Barat; karena revolusi ini mengambil bentuk perjuangan pembebasan nasional. Akan tetapi, Revolusi Hungaria kalah, dan justru karena pengkhianatan partai nasional.”
“Ini, dan sejarah Jerman selama 1848-1849,” lanjut Lassalle, “membawa saya ke kesimpulan bahwa tidak ada revolusi yang akan berhasil di Eropa kecuali bila revolusi tersebut dari awalnya diproklamirkan sebagai sungguh-sungguh sosialis. Tidak ada perjuangan yang akan berhasil bila masalah-masalah sosial masuk ke dalamnya hanya sebagai semacam elemen yang buram dan hanya menjadi latarbelakang, dan bila perjuangan tersebut dilaksanakan di bawah panji regenerasi nasional atau republikanisme borjuis.”
Kita tidak akan berhenti untuk mengkritik kesimpulan-kesimpulan di atas yang sangat tegas. Akan tetapi, sungguh benar kalau pada pertengahan abad ke-19 masalah emansipasi politik sudah tidak bisa diselesaikan oleh perjuangan seluruh bangsa. Hanya taktik-taktik independen kelas proletar, yang dari posisi kelasnya menghimpun kekuatan untuk berjuang, dan hanya dari posisi kelasnya, dapat memastikan kemenangan mutlak bagi revolusi.
Kelas buruh Rusia tahun 1906 tidaklah serupa sama sekali dengan kelas buruh Vienna tahun 1848. Bukti terbaik untuk hal ini adalah lahirnya Soviet Deputi Buruh di seluruh Rusia. Ini bukanlah organisasi konspirasi yang terbentuk-sebelumnya guna merebut kekuasaan pada saat pemberontakan. Bukan. Ini adalah organ-organ yang diciptakan oleh massa secara terencana untuk mengkoordinasi perjuangan revolusioner mereka. Dan Soviet-Soviet ini, dipilih oleh rakyat dan bertanggungjawab kepada rakyat, adalah institusi yang benar-benar demokratis, yang melaksanakan kebijakan kelas proletar dalam semangat sosialisme revolusioner.
Keunikan-keunikan sosial Revolusi Rusia sangatlah nyata dalam masalah mempersenjatai bangsa. Sebuah milisi, Tentara Nasional, adalah tuntutan pertama dan pencapaian pertama dari setiap revolusi, 1789 dan 1848, di Paris, di setiap negara bagian Italia, di Vienna, dan di Berlin. Pada 1848, Tentara Nasional – yakni penyenjataan kelas-kelas pemilik dan ‘terdidik’ – adalah tuntutan seluruh kaum oposisi borjuis, bahkan elemen yang paling moderat. Dan tujuannya adalah bukan hanya untuk melindungi kebebasan-kebebasan yang telah mereka capai dan melawan restorasi dari atas, tetapi juga untuk melindungi hak kepemilikan kaum borjuasi dari serangan kaum proletar. Oleh karena itu, tuntutan pembentukan milisi adalah tuntutan kelas kaum borjuasi. Seorang ahli sejarah Italia dari Inggris menulis, “Orang Italia sangatlah mengerti bahwa milisi sipil yang bersenjata akan membuat keberlangsungan despotisme mustahil. Selain itu, ini adalah jaminan bagi kelas-kelas pemilik-properti untuk mencegah kemungkinan anarki dan gangguan apapun dari bawah.” Dan kaum penguasa yang reaksioner, karena tidak memiliki tentara yang cukup untuk mengatasi ‘anarki’ dari massa revolusioner, lalu mempersenjatai kaum borjuasi. Absolutisme pertama-tama mengijinkan para pedagang untuk menindas dan menghancurkan kaum buruh, lalu ia melucuti dan menghancurkan para pedagang ini.
Di Rusia, tuntutan pembentukan milisi tidak mendapatkan dukungan dari partai-partai borjuis. Kaum liberal tidak mampu memahami pentingnya mempersenjatai diri; absolutisme telah memberikan mereka sedikit pelajaran-langsung mengenai ini. Tetapi kaum liberal Rusia juga mengerti bahwa adalah tidak mungkin untuk membentuk sebuah milisi tanpa kelas proletar atau untuk melawan kelas proletar. Buruh Rusia sama sekali tidak serupa dengan buruh Prancis tahun 1848 yang memenuhi kantong mereka dengan batu-batu dan mempersenjatai diri mereka dengan cangkul, sedangkan para penjaga toko, para pelajar, dan para pengacara memanggul senapan di pundaknya dan pedang di pinggangnya.
Mempersenjatai revolusi di Rusia berarti mempersenjatai buruh. Memahami dan takut akan hal tersebut, kaum liberal menolak mentah-mentah gagasan pembentukan milisi. Mereka bahkan menyerah kepada absolutisme tanpa perlawanan seperti halnya kaum borjuasi Thiers menyerahkan Paris dan Prancis kepada Bismarck guna menghindari memberikan senjata kepada para buruh.
Di dalam manifesto koalisi liberal-demokrat, sebuah simposium yang menamakan dirinya “The Constitutional State”, Tuan Dzhivelegov, dalam mendiskusikan kemungkinan revolusi, cukup tepat dalam mengatakan bahwa “masyarakat, dalam momen yang menentukan, harus siap untuk berdiri membela Konstitusinya.” Tetapi karena kesimpulan logis dari ujaran ini adalah tuntutan untuk mempersenjatai rakyat, filsuf liberal ini merasa “perlu untuk menambahkan” bahwa “tidaklah perlu bagi semua orang untuk memanggul senjata” guna membela konstitusi. Masyarakat hanya perlu menyiapkan diri untuk melawan – bagaimana caranya tidak diusulkan sama sekali. Hanya ada satu kesimpulan yang bisa ditarik dari ini, yakni bahwa di dalam hati kaum demokrat kita terdapat sebuah rasa takut terhadap kaum proletar yang tersenjatai yang lebih besar daripada rasa takut terhadap tentara otokrasi.
Oleh karena itu, tugas mempersenjatai revolusi sepenuhnya jatuh di pundak kaum proletar. Di Rusia, tuntutan pembentukan milisi sipil – yang merupakan tuntutan kelas kaum borjuasi pada 1848 – sejak awal merupakan tuntutan untuk mempersenjatai rakyat dan yang terutama untuk mempersenjatai kaum proletar. Nasib Revolusi Rusia tergantung pada permasalahan ini.
Komentar