PENDAHULUAN
Di era globalisasi dan modernisasi seperti sekarang ini, kehidupan
manusia semakin beragam. Seiring dengan itu, budaya terus-menerus mempengaruhi
dan dipengaruhi oleh perkembangan pola pikir dan cara bertindak manusia dalam
kehidupannya. Perkembangan budaya ada yang berlangsung cepat (revolusi
kebudayaan) dan ada pula yang berkembang perlahan (evolusi kebudayaan).
Perkembangan budaya jenis yang kedua ini atau yang bersifat evolutif hampir
tidak bisa dirasakan gerak pertumbuhannya sebab berlangsung lama. Ia
seakan-akan hadir dan membekas dalam diri manusia tanpa dirasakan oleh yang
bersangkutan, baik secara individu (person) maupun kelompok (kolektif). Meski
demikian, satu kenyataan yang pasti adalah kebudayaan terus dan akan menggiring
atau digiring oleh manusia menuju tingkat peradaban yang lebih maju.
Di Indonesia mayoritas penduduknya beragama Islam, dengan demikian, di
negeri ini dihuni komunitas muslim terbesar bila dibandingkan dengan
Negara-negara lainnya. Sebelum Islam masuk ke Indonesia khususnya pulau Jawa
ada kepercayaan lama yang telah berkembang lebih dulu, yaitu agama Hindu Budha
yang pada masa itu banyak dipeluk oleh kalangan kerajaan, sedangkan kepercayaan
asli yang bertumpu pada animisme dipeluk oleh kaum awam. Walaupun ketiga
kepercayan lama itu berbeda namun bertumpu pada satu titik yang sama
yaitukental dengan nuansa mistiknya dan berusaha mencari sangkan paraning dumadi dan mendambakan manunggaling kawula gusti. Banyak sekali ritual adat atau
kebudayaan lama yang masih berjalan sampai sekarang. Salah satunya nyadran,
sampai sekarang masih menjadi rutinitas sebagian besar masyarakat Jawa setiap
tahun pada bulan dan hari yang telah ditentukan.
PEMBAHASAN
A.Hubungan Agama dan Kebudayaan
Agama identik dengan dengan kebudayaan.
Karena keduanya merupakan pedoman petunjuk dalam kehidupan. Bedanya petunjuk
agama dari tuhan dan petunjuk budaya dari kesepakatan manusia. Ketika agama
islam datang pada masyarakat sebenarnya masyarakat sudah memiliki petunjuk yang
menjadi pedoman yang sifatnya masih lokal. Ada atau tidak ada agama, masyarakat
akan terus hidup dengan pedoman yang mereka miliki itu. Jadi datangnya agama
besar tersebut identik dengan datangnya kebudayaan baru yang akan berinteraksi
dengan kebudayaan lama dan mengubah unsur-unsur kebudayaan lama.
Hubungan agama dengan
kebudayaan dapat digambarkan sebagai hubungan yang berlangsung secara timbal
balik. Agama secara praksis merupakan produk dari pemahaman dan pengalaman
masyarakat berdasarkan kebudayaan yang telah dimilikinya. Sedang kebudayaan
selalu berubah mengikuti agama yang diyakini oleh masyarakat. Jadi hubungan
agama dan kebudayaan bersifat dialogis.
Masyarakat memahami agama
menggunakan kerangka atau alat kebudayaan yang dimilikinya. Perbedaan kerangka
dan alat yang digunakan itulah yang membawa implikasi perbedaan pemahaman dan
praktek keagamaan. Islam memiliki satu Tuhan Allah SWT, satu kitab suci
Al-Qur’an, dan satu Nabi Muhammad SAW, dalam prakteknya tidak pernah
menunjukkan wajah yang tunggal. Banyak aliran, banyak kelompok dan banyak
model, sebanyak variasi kebudayaan tempat islam itu sendiri berkembang.
Demikian pula, kebudayaan
satu masyarakat akan sangat dipengaruhi oleh agama yang mereka peluk. Ketika
agama telah diterima oleh masyarakat, maka dengan sendirinya agama tersebut
akan mengubah struktur kebudayaan masyarakat tersebut, bisa perubahannya sangat
mendasar (asimilatif), bisa juga hanya mengubah unsur-unsurnya saja
(akulturatif). Atau pada awalnya bersifat akulturatif namun lambat laun
bersifat asimilatif.
B.Kebudayaan
Jawa
Kebudayaan merupakan elemen yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan
manusia. Menurut Koentjaraningrat (1981), kebudayaan merupakan keseluruhan
kegiatan yang meliputi tindakan, perbuatan, tingkah laku manusia, dan hasil
karyanya yang didapat dari belajar. Di satu sisi, manusia mencipta budaya,
namun di sisi lain, manusia merupakan produk dari budaya tempat dia hidup.
Hubungan saling pengaruh ini merupakan salah satu bukti bahwa manusia tidak
mungkin hidup tanpa budaya, betapapun primitifnya. Kehidupan berbudaya
merupakan ciri khas manusia dan akan terus hidup melintasi alur zaman. Sebagai
warisan nenek moyang, kebudayaan membentuk kebiasaan hidup sehari-hari yang
diwariskan turun-temurun. Ia tumbuh dan berkembang dalam kehidupan manusia dan
hampir selalu mengalami proses penciptaan kembali.
Masyarakat Jawa merupakan suatu kesatuan masyarakat yang diikuat oleh
norma-norma hidup karena sejarah tradisi maupun agama. Hal ini dapat dilihat
dari cirri masyarakat jawa secara kekerabatan. Sistem hidup kekeluargaan di
Jawa tergambar dari kekerabatan masyarakat Jawa. Jika memperhatikan kosakata
dari kekerabatan tampaklah istilah yang sama dipakai menyebut moyang, baik
ditingkat ketiga atau keturunan ketika, dengan aku sebagai acuan. Jadi buyut
bisa berarti ayahnya kakek, maupun anaknya cucu, dan seterusnya (wareng, udeg-udeg, gantung siwur, gropak
sente, debog bosok). Hukum adat menuntut setiap orang lelaki
bertanggungjawab terhadap keluarganya dan masih dituntut untuk bekerja membantu
kerabat lain dalam hal-hal tertentu seperti mengerjakan tanah pertanian,
membuat rumah, memperbaiki jalan desa, membersihkan tanah pekuburan, dan
lainnya. Semboyan saiyeg saeka praya atau gotong royong merupakan rangkaian
hidup tolong menolong sesame warga. Kebudayaan yang mereka bangun adalah hasil
adaptasi dari alam sehingga dapat meletakkan pondasi patembayatan yang kuat dan
mendasar.
Kebudayaan Jawa sampai sekarang masih kental akan budaya Hindu-Budha
animism dinamisme. Dimana pada saat Hindu-Budha masuk di Jawa menjadi
manifestasi kepercayaan Hindu-Budha, kegiatan yang mereka lakukan berupa
upacara, tradisi yang masih dilihat keberadaannya sampai saat ini. Salahsatu
dari kebudayaan Jawa yang masih kental akan kepercayaan animisme dan dinamisme
adalah tradisi nyadran. Yang sampai sekarang masih dilakukan di sebagian
masyarakat Jawa. Upacara nyadran ini merupakan penghormatan kepada leluhur dan
bisa juga menjadi bentuk syukuran massal. Di wilayah Jawa pedalaman, nyadran
lazim digelar di pemakaman menjelang bulan puasa (Syaban), sedangkan di Jawa
pesisiran dilakukan di pantai pada Jumadil Awal (tahun 2009 jatuh pada April).
Acara ini menciptakan ciri khas kebudayaan pesisir pantai dan mempunyai daya
tarik tertentu yang masyur di masyarakat.
C. Akulturasi
dan Hubungan Budaya Jawa dan Islam
Dalam proses penyebaran Islam di Jawa ada dua
pendekatan yang digunakan agar nilai Islam diserap menjadi bagian dari budaya
Jawa pendekatan yang pertama yaitu Islamisasi Kultur Jawa. Upaya ini ditandai
dengan penggunaan istilah-istilah Islam, nama-nama Islam dan pengambilan peran
tokoh Islam pada berbagai cerita lama, sampai kepada penerapan hokum-hukum,
norma-norma Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Adapun pendekatan yang kedua
yaitu Jawanisasi Islam, yang diartikan sebagai upaya penginternalisasian
nilai-nilai Islam melalui cara pertama, asimilasi dimulai dari aspek formal
terlebih dahulu sehingga symbol-simbol keislaman Nampak secara nyata dalam
budaya Jawa, sedangkan pada cara kedua, meskipun istilah-istilah dan nama-nama
Jawa tetap dipakai, tetapi nilai-nilai yang dikandungnya adalah nila-nilai
Islam sehingga Islam menjadi men-Jawa. Berbagai kenyataan menunjukkan bahwa
produk-produk budaya orang Jawa yang beragama Islam cenderung mengarah kepada
polarisasi Islam kejawaab atau Jawa yang keislaman sehingga timbul istilah
Islam Jawa atau Islam Kejawen. Sebagai contoh sebutan jawa narimo ing pandum yang pada hakekatnya adalah penerjemahan dari tawakkal sebagai konsep sufistik. Dalam
fiqih terdapat konsep sepikul-segendongan sebagai bentuk pembagian harta waris
dari konsep Islam, perbandingan 2:1 bagi anak laki-laki dengan perempuan, dan
masih banyak contoh lainnya.
a.
Hubungan Budaya Jawa dengan Islam dalam Aspek Kepercayaan
Setiap agama dalam Arti seluas-luasnya tentu
memiliki aspek fundamental, yakni aspek kepercayaan atau keyakinan, terutama
kepercayaan terhadap sesuatu yang sacral, yang suci atau yang gaib. Dalam agama
Islam aspek fundamental itu terumuskan dalam istilah aqidah atau keimanan sehingga
terdapat rukun iman, yang di dalamnya terangkum hal-hal yang harus dipercayai
atau diimani oleh muslim. Sementara itu dalam budaya Jawa pra Islam yang
bersumber dari ajaran agama Hindu terdapat kepercayaan tentang adanya para
dewata.
Kepercayaan-kepercayaan dari agama Hindu, Budha,
maupun kepercayaan dinamisme dan animisme itulah yang menjadi proses
perkembangan Islam berinterelasi dengan kepercayaan-kepercayaan dalam Islam.
Pada aspek ketuhanan, prinsip ajaran tauhid Islam telah berkelindan dengan berbagai
unsure Hindu-Budha maupun kepercayaan primitive. Sebutan Allah dengan berbagai
nama yang terhimpun dalam asma’ul husna
telah berubah menjadi Gusti Allah, Gusti
Kang Murbeng Dumadi (al-Khaliq), Ingkang
Maha Kuwaos (al- Qodir), dan lain-lain.
Kaitannya dengan ketentuan takdir baik ataupun
buruk dari Tuhan, dalam budaya Jawa tampaknya telah terpengaruh oleh teologi
Jabariyah sehingga terdapat kecenderungan orang lebih bersikap pasrah, sumarah,
dan narimo ing pandum terhadap ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh
Allah. Meskipun demikian manusia juga berpeluang untuk berikhtiar dengan
kemampuan yang dimiliki, setidak-tidaknya dengan berdo’a, memohon pertolongan
kepada-Nyam ada juga ikhtiar yang lebih diwarnai oleh nilai-nilai yang
bersumber dari kepercayaan primitive atau bersumber dari agama Hindu.
b.
Hubungan Budaya Jawa dengan Islam dalam Aspek Ritual
Agama Islam mengajarkan agar para pemeluknya melakukan kegiatan-kegiatan
ritualistik tertentu. Yang dimaksud kegiatan ritualistik tersebut adalah meliputi berbagai bentuk ibadah
sebagaimana yang tertulis dalam rukun Islam, yakni syahadat, shalat, puasa,
zakat, dan haji. Dalam aspek do’a dan puasa tampak mempunyai pengaruh yang
sangat luas, mewarnai berbagai bentuk upacara tradisional orang Jawa.
Bagi orang Jawa, hidup ini penuh dengan upacara, baik upacara-upacara
yang berkaitan dengan lingkungan hidup manusia sejak dari keberadaannya dalam
perut ibu, lahir, kanak-kanak, remaja, dewasa sampai dengan saat kematiannya,
atau juga upacara-upacara yang berkaitan dengan aktivitas kehidupan
sehari-hari. Upacara-upacara itun semula dilakukan dalam rangka untuk menangkal
pengaruh buruk dari daya kekuatan gaib yang tidak dikehendaki yang akan
membayakan bagi kelangsungan kehidupan manusia. Dalam kepercayaan lama, upacara
dilakukan dengan menggunakan sesaji atau semacam korban yang disajikan kepada
daya-daya kekuatan gaib (roh-roh, mahluk-mahluk halus, dewa-dewa) tertentu.
Tentu dengan upacara itu harapan pelaku upacara adalah agar hidup senantiasa
dalam keadaan selamat.
D. Budaya
Islam-Jawa dalam Tradisi Nyadran
Bagi masyarakat Jawa, bulan Sya’ban ini dinamakan dengan bulan Ruwah.
Para tokoh mengatakan bahwa kata ruwah berasal dari kata ngluru dan arwah.
Dalam pandangan falsafah jawa, bulan Ruwah kemudian dipercaya sebagai saat yang
tepat untuk ngluru arwah atau mengunjungi arwah leluhur.
Selama bulan Ruwah itu masyarakat Jawa mengadakan upacara Nyadran
(berasal dari kata Sraddha, bahasa sansekerta), mengunjungi makam leluhur untuk
membersihkan makam dan menabur bunga. Upacara Sraddha ini sudah dilakukan sejak
jaman Majapahit. Setelah agama Islam masuk ke tanah Jawa, upacara Sraddha tetap
dilaksanakan, namun oleh Sunan Kalijaga dikemas dalam nuansa islami dan suasana
penuh silaturrahmi yang diadakan tiap bulan Ruwah.
Ritual slametan Nyadran pada tiap-tiap daerah di Jawa dilaksanakan dengan
berbagai cara yang berbeda. Masyarakat pedesaan Jawa umumnya menyelenggaran
upacara Nyadran secara umum (komunal) yang diselenggarakan pada siang hari
hingga sore. Masing-masing warga membuat tumpeng kecil yang kemudian dibawa ke
rumah kepala dusun untuk sama-sama mengadakan do’a dan makan bersama (kenduri).
Ada juga yang langsung dibawa ke makam dan mengadakan do’a bersama di makam.
Menu makanan yang dipersiapkan biasanya berupa nasi gurih dan lauknya.
Sebagai sesaji, terdapat makanan khas yaitu ketan, kolak, dan apem. Ketiga
jenis makanan ini dipercaya memiliki makna khusus. Ketan merupakan lambang
kesalahan (khotho’an), kolak adalah lambang kebenaran (kolado), dan apem
sebagai simbol permintaan maaf. Bagi masyarakat Jawa yang tinggal di Yogyakarta
dan sekitarnya, makanan ketan, kolak, dan apem memang selalu hadir dalam setiap
upacara/slametan yang terkait dengan kematian. Makna yang terkandung dalam
sesaji ini adalah agar arwah mendapatkan tempat yang damai di sisi-Nya.
Sementara itu di masyarakat yang lain ada yang mengemas makanan itu ke
dalam takir, yaitu tempat makanan terbuat dari daun pisang, di kanan kiri
ditusuki lidi. Selain dipakai untuk munjung (dibagi-bagikan) kepada sanak
saudara yang lebih tua, makanan itu juga menjadi ubarampe (pelengkap) kenduri.
Tetangga dekat juga mendapatkan bagian dari makanan tadi.
Selanjutnya, acara puncak sadranan itu dimulai dengan membersihkan makam.
Selesai melakukan pembersihan makam, masyarakat kampung menggelar kenduri yang
berlokasi di sepanjang jalan menuju makam atau lahan kosong yang ada di sekitar
makam leluhur (keluarga). Kenduri dimulai setelah ada bunyi kentongan yang
ditabuh dengan kode dara muluk (berkepanjangan). Lalu seluruh keluarga dan
anak-anak kecil serta remaja hadir dalam acara kenduri itu.
Tiap keluarga biasanya akan membawa makanan sekadarnya, beragam jenis,
lalu duduk bersama dalam keadaan bersila. Kemudian, tokoh desa membuka acara,
isinya bermaksud untuk mengucapkan rasa syukur dan terima kasih kepada warga
yang sudah bersedia menyediakan makanan, ambengan, dan lain-lain termasuk
waktunya. Setelah itu, Mbah Kaum (ulama lokal) yang sudah dipilih menjadi rois,
maju untuk memimpin doa yang isinya memohon maaf dan ampunan atau dosa para
leluhur atau pribadi mereka kepada Tuhan Yang Mahakuasa.
Dengan menilik sejarah munculnya sadranan atau nyadran itu, secara
meyakinkan bahwa sebenarnya ritual ini bukanlah ritual Islam. Islam hanyalah
menumpang dalam bentuk do’a. Konon perubahan do’a inilah hasil dari dakwah yang
dilakukan oleh Sunan Kalijogo, agar masyarakat jawa tertarik kepada Islam.
Tentunya dengan perubahan do’a memang mengubah, dari berdo’a kepada selain
Allah menjadi berdo’a kepada Allah. Namun perubahan do’a tidaklah mengubah
substansi ritual. Dan secara substansial, ritual ini tidak diajarkan oleh
Islam. Memang, ziarahnya adalah sebuah sunnah rasulullah, tetapi dengan ritual
tetek bengek itu bukanlah ritual islam. Karena itulah di beberapa wilayah,
tradisi ini sudah diperbaiki sedemikian rupa. Acara makan-makan sudah
ditiadakan, dan do’a bersama sudah tidak dilakukan lagi. Yang dilakukan saat
ini tinggal ziarah dan tabur bunga (nyekar) saja. Dalam kegiatan itu yang
dilakukan adalah membersihkan makam, dan mendo’akan jenazah keluarga yang
dimakamkan di sana. Tidak membawa makanan tertentu, juga tidak ada acara
makan-makan apa-apa.
a. Ziarah Islam
Memang di dalam Islam disyari’atkan pula melakukan ziarah kubur.
Disyari’atkan ziarah kubur itu dengan maksud untuk mengambil pelajaran (‘ibrah)
dan ingat akan kehidupan akhirat, dengan syarat tidak mengucapkan kata-kata
yang mendatangkan murka Allah swt. Sebagai misal, meminta sesuatu kepada
penghuni kubur (orang mati) dan memohon pertolongan kepada selain Allah dan
semisalnya.
Dasar pensyari’atan ziarah kubur adalah hadis;
عَنْ بُرَيْدَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم نَهَيْتُكُمْ
عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا
Dari Buraidah, ia berkata; Rasulullah saw bersabda, “Dulu aku pernah
melarang kalian menziarahi kuburan, maka sekarang ziarahlah”. (Shahih Muslim)
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا
فَإِنَّ فِيهَا عِبْرَةً وَلاَ تَقُوْلُوْا مَا يَسْخَطُ اللهُ عز و جل
Dari Abu Sa’id al-Khudri r.a. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya aku
pernah mencegah kalian dari ziarah kubur, maka (sekarang) ziaralah kuburan;
karena padanya mengandung ‘ibrah (pelajaran), namun janganlah kalian
mengucapkan kata-kata yang menyebabkan Allah murka (kepada kalian).” (HR
al-Hakim dan Baihaqi tetapi penggalan kalimat terakhir dari riwayat,
al-Bazzar).
Yang diajarkan oleh Rasulullah ketika berziarah adalah mendo’akan ahli
kubur, seperti dengan ucapan
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
وَالْمُسْلِمِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ لَلاَحِقُونَ أَسْأَلُ اللَّهَ
لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ
Salam sejahtera atas kalian wahai penduduk penduduk dari Mukminin dan
Muslimin, Semoga kasih sayang Allah atas yg terdahulu dan yang akan datang, dan
Sungguh Kami Insya Allah akan menyusul kalian (HR Muslim).
b. Hari raya di Kuburan
Kegiatan nyadran bisa dianggap sebagai hari raya di kuburan. Menjadikan
kuburan sebagai lokasi perayaan dan mendatanginya pada waktu-waktu tertentu
atau musim-musim tertentu untuk beribadah di sisi kuburan atau semisal termasuk
hal yang dilarang berdasarkan hadits
عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : قَالَ
رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : لاَ تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيدًا ، وَلاَ
بُيُوتَكُمْ قُبُورًا ، وَصَلُّوا عَلَيَّ ، وَسَلِّمُوا فَإِنَّ صَلاتَكُمْ
تَبْلُغُنِي
Dari Ali bin Abi Thalib ra. Berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Janganlah kamu menjadikan kuburankan sebagai arena perayaan dan jangan (pula)
kamu menjadikan rumah-rumah kamu sebagai kuburan (yang bebas dari kegiatan
ibadah); bershalawatlah kepadaku, karena sesungguhnya shalawatmu akan sampai kepadaku.”
(HR al-Bazzar, dengan sanad jayyid).
Bisa jadi penjelasan di atas menimbulkan kekhawatiran bagi sebagian kaum
muslimin, jangan-jangan berziarah kubur di bulan Sya’ban itu terlarang.
Melakukan ziarah di bulan Sya’ban tentu bukan sesuatu yang terlarang. Yang
terpenting, jika hendak melakukan ziarah adalah tidak tersirat di dalam hati
keinginan berziarah karena sudah memasuki bulan sya’ban.
PENUTUP
Sebelum masyarakat mengenal agama kepercayaan mereka mempunyai batasan
dalam bertindak. Hubungan agama dengan kebudayaan bersifat dialogis, kebudayaan
selalu berubah mengikuti agama yang diyakini oleh masyarakat. Kebudayan juga
dapat membentuk kebiasaan hidup sehari-hari yang dapat berlangsung turun
temurun.
Indonesia memang sangat kental akan keberagaman. Seperti budaya jawa yang
sangat banyak dipengaruhi dari agama Islam. Seperti dijelaskan di bab
sebelumnya bahwa hubungan antara budaya jawa dan Islam dalam aspek kepercayaan
dan ritual menunjukkan bahwa kehidupan keberagaman orang Jawa suatu upaya untuk
mengakomodasikan antara nilai-nilai Islam dengan budaya Jawa pra-Islam. Salah
satu tradisi yang masih kental dengan budaya pra-Islam (Hindu-Budha) dan
animisme adalah tradisi Nyadran, tradisi ini telah di akulturasikan dengan
nilai Islam oleh Walisongo sehingga mudah diterima oleh masyarakat Jawa.
Tradisi nyadran ini merupakan simbol adanya hubungan dengan para leluhur,
sesama, dan Yang Mahakuasa atas segalanya. Nyadran merupakan sebuah pola ritual
yang mencampurkan budaya lokal Jawa dan nilai-nilai Islam, sehingga sangat
tampak adanya lokalitas yang masih kental islami. Budaya masyarakat yang sudah
melekat erat menjadikan masyarakat Jawa sangat menjunjung tinggi nilai-nilai
luhur dari kebudayaan itu. Tata cara setiap rangkaian Nyadran ini menyiratkan
nilai-nilai sosial budaya, seperti budaya gotongroyong, guyub, pengorbanan,
ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Darori. 2000 . Islam dan
Kebudayaan Jawa. Semarang: Gama Media
Yusuf, Mundzirin dkk. 2005. Islam
Budaya Lokal. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga
http://tanbihun.com/kajian/analisis/upacara-nyadran-antara-pro-dan-kontra/
http://de-kill.blogspot.com
http://bud1prasety0.wordpress.com
Komentar