Langsung ke konten utama

PERDA PROVINSI RIAU TENTANG RENCANA PENGEMBANGAN PARIWISATA



Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI RIAU
MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU TENTANG RENCANA INDUK PENGEMBANGAN PARIWISATA DAERAH RIAU.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1.         Pemerintah Pusat selanjutnya disebut Pemerintah adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari Presiden beserta para Menteri;
2.         Daerah adalah Provinsi Riau sebagai Daerah Otonom;
3.         Pemerintah Provinsi adalah Pemerintah Provinsi Riau;
4.         Gubernur adalah Gubernur Riau;
5.         Daerah Kabupaten/Kota adalah Daeah Kabupaten/Kota yang berada di Riau;
6.         Pemerintah Kabupaten/Kota adalah Pemerintah Kabupaten/Kota yang berada di Provinsi Riau
7.         Bupati adalah Bupati yang berada di Provinsi Riau;
8.         Walikota adalahWalikota yang berada di Provinsi Riau;
9.         Dewan Perwakilan Rakyat Daerah selanjutnya disebut DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Riau dan/atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Riau;
10.       Pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusaha objek dan daya tarik wisata sertausaha-usaha yang terkait di bidang tersebut;
11.       Wisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati Objek dan Daya Tarik Wisata;
12.       Wisatawan adalah oang yang melakukan wisata;
13.       Kepariwisataan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan penyelenggaaan pariwisata;
14.       Objek dan Daya Tarik wisata adalah segala sesuatu yang menjadi sasaran wisata;
15.       Kawasan Pariwisata adalah kawasan dengan luas tertentu yang dibangun atau disediakan untuk memenuhi kebutuhan pariwisata;.
16.       Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah yang selanjutnya disingkat RIPPDA adalah pokok-pokok kebijaksanaan dan pengembangan yang merupakan perwujudan, pemanfaatan dan perencanaan pembangunan pariwisata yang di dalamnya meliputi masalah Tata Ruang, Tata Guna Tanah dan Rencana Fisik serta penetapan wilayah yang mendapat prioritas untuk dikembangkan sesuai dengan karakteristiknya sebagai arah dan pedoman pelaksanaan pembangunan, pengendalian dan pengawasan pengembangan kepariwisataan Daerah;
17.       Rencana pengembangan Kawasan Wisata yang selanjutnya disingkat RPKW adalah rencana pemanfaatan potensi pariwisata di kawasan pariwisata, rencana struktur tingkat pelayanan dan sistem jaringan transportasi, serta rencana distribusi unit kawasan wisata dalam kawasan wisata;
18.       Rencana Detail Pengembangan Unit Kawasan yang sebelumnya disingkat RDPUKW adalah rencana-rencana pokok arahan distribusi dan penentuan fasilitas pelayanan pariwisata pada objek dan daya tarik wisata;
19.       Rencana Induk Pembangunan Objek dan Daya Tarik Wisata selanjutnya disingkat RIPOW adalah rencana struktur tata ruang serta distribusi bangunan fasilitas pelayanan wisata, mencakup arahan skala pelayanan dan daya tampung bangunan fasilitas pariwisata yang terdiri dari sarana pariwisata serta pelestarian lingkungan hidup di objek wisata;





BAB II
AZAS, TUJUAN, SASARAN DAN FUNGSI
Bagian Pertama
Azas
Pasal 2
Rencana Induk Pengembangan Pariwisaa Daerah merupakan bagian intergral dari pengembangan pariwisata nasional yang berazaskan:
a.         Azas Manfaat yaitu setiap perencanaan dan pengembangan pariwisata daerah haruslah ditujukan untuk memberi manfaat yang maksimal bagi masyarakat secara keseluruhan, baik manfaat yang bernilai ekonomi maupun sosial budaya serta sedapat mungkin menghindari dampak negatif.
b.         Azas berwawasan lingkungan yaitu setiap perencanaan dan pengembangan kepariwisataan harus memperhatikan lingkungan hidup, baik yang mempunyai dampak pada kehidupan sosial budaya maupun lingkungan alam. Kegiatan kepariwisataan dalam banyak hal dibangun di atas areal yang luas sehingga perlu direncanakan secara cermat dengan memperhatikan semua aspek dan tidak terbatas pada aspek ekonomi belaka.
c.         Azas Pelestarian yaitu setiap perencanaan dan pengembangan kepariwisataan harus meletakkan kebijakan agar budaya, tradisi, adat istiadat, nilai-nilai agama, nilai-nilai luhu lainnya dari masyarakat Riau terbuka peluang untuk terus menerus hidup dan tetap mengakar dalam kehidupan masyarakat modern.
d.         Azas Keterpaduan yaitu setiap perencanaan dan pengembangan kepariwisataan harus merupakan kebijakan yang terpadu dengan memperhatikan semua kepentingan masyarakat Riau, baik masyarakat umum, masyarakat pengusaha (produsen), masyarakat.pengguna jasa (konsumen) maupun para penyelenggara negara. Asas keterpaduan juga harus diperhatikan antara sektor domestik dan sektor international (lintas negara)
e.         Azas Keseinambungan yaitu penyusunan perencanaan dan pembangunan kepariwisataan dimaksudkan sebagai suatu rangkaian yang sambung menyambung, dari satu periode ke periode selanjutnya.
f.          Azas adil dan merata yaitu hasil-hasil materiil dan spritull yang dicapai dalam perencanaan dan pengembangan kepariwisataan haruslah dapat dinikmati secara adil dan merata oleh seluruh lapisan masyarakat, dan setiap anggota masyarakat berhak ikut menikmati hasil-hasil pembangunan sesuai dengan nilai amal bakti pengabdiannya.
g.         Azas Kerakyatan yaitu perencanaan dan pengambangan kepariwisataan harus  mengambil kebijakan untuk seluas mungkin membuka peluang agar lapisan rakyatbanyak mengambil peran serta dan mendorong bangkitnya usaha rakyat banyak yang masuk di sektor pariwisata.

Bagian Kedua
Tujuan RIPPDA
Pasal 3
Rencana Induk Pembangunan Pariwisata Daerah bertujuan :
a.         Tujuang Khusus adalah memberikan arahan agar upaya pengembangan kepariwisataan dapat menjadi sektor andalah bagi Daerah Riau, sehingga seluruh lapisan masyarakat memperoleh manfaat baik ekonomi maupun sosial budaya.
b.         Tujuan Umum adalah memberikan arahan bagi pengembangan ekonomi dan social budaya Daerah Riau, dalam menjawab tantangan zaman sehingga dapat mengantarkan Provinsi Riau menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dan kebudayaan melayu sesuai dengan Visi Riau 2020.

Bagian Ketiga
Sasaran RIPPDA
Pasal 4
Sasaran RIPPDA adalah terwujudnya pengembangan kegiatan kepariwisataan di daerah secara terarah, terpadu dan terkendai dengan memanfaatkan potensi daerah, baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam, sehingga mampu menjadi Daerah Riau sebagia daerah tujuan wisata terdepan.

Bagian Keempat
Fungsi RIPPDA
Pasal 5
RIPPDA berfungsi sebagai pedoman dan pegangan bagi pembangunan pengambangan dan penyelenggaraan pariwisata di daerah, baik yang dilakukan oleh Pemerintah/Pemerintah Provinsi/Pemerintah Kabupaten/Kota maunpun pihak swasta..

Bagian Kelima
Kedudukan RIPPDA
Pasal 6
Kedudukan RIPPDA adalah :
a.         Sebagai dasar hukum dan dasar pertimbangan didalam menyusun Program Pembangunan Daerah (Propeda) Sektor Pariwisata
b.         Sebagai dasar penyusunan Rencana Detail Pembangunan Pariwisata Daerah Kabupaten/Kota

BAB III
STRATEGI PENGEMBANGAN
Bagian Pertama
Arah Pengembangan
Pasal 7
Pengembangan Pariwisata Daerah Riau diarahkan untuk :
a.         Menjadikan s ektor kepariwisataan sebagai andalan, disamping sektor lainnya yang telah lebih dahulu menjadi andalah daerah.
b.         Pemanfaatan potensi wisata budaya dengan dukungan wisata alam, wisata agro dan wisata minat khusus.
c.         Membina kekuatan sendiri dan memperjelas jati diri daerah dalam rangka terciptanya konservasi budaya daerah.
d.         Membina pertumbuhan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat, baik dalam aspek materiil maupun spiritual, terutama pemberdayaan ekonomi kerakyatan.

Bagian Kedua
Kebijakan
Pasal 8
Kebijakan yang ditempuh dalam pengembangan kepariwisataan adalah :
a.         Diarahkan pada pengembangan sektor kepariwisataan yang secara ekonomis membawa manfaat dan kemakmuran dengan tetap menghindari dampak negatif bagi masyarakat dan lingkungan hidup.
b.         Memberikan motivasi bagi perkembangan kehidupan dan kreativitas masyarakat mempertebal keyakinan akan kebenaran dan keutamaan jati diri dari suatu masyarkat yang bermarwah.
c.         Memperhatikan keamanan dan keselamatan umum sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
d.         Keterpaduan program pengembangan antar Instansi baik pusat maupun Provinsi, Kabupaten/Kota, masyarakat dan swasta.
e.         Tersediaanya sarana dan prasarana pariwisata yang didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas

Bagian Ketiga
Kegiatan
Pasal 9
(1)        Kegiatan usaha pariwisata merupakan usaha jasa pariwisata yang dapat dipasarkan secara ekonomi, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
(2)        Usaha Pariwisata digolongkan kedalam :
a.         Usaha Jasa Pariwisata
b.         Pengusahaan Objek dan Daya Tarik Wisata
c.         Usaha Sarana Pariwisata

Pasal 10
Usaha Jasa Pariwisata dapat berupa jenis-jenis usaha :
a.         Jasa biro perjalanan wisata
b.         Jasa agen perjalanan wisata
c.         Jasa pamuwisata
d.         Jasa konvensi, perjalanan insentif dan pameran
e.         Jasa impresariat
f.          Jasa konsultasn pariwisata
g.         Jasa informasi pariwisata

Pasal 11
Pengusaha Objek dan daya tarik wisata dikelompokkan ke dalam :
a.         Pengusahaan objek dan daya tarik wisata alam
b.         Pengusahaan objek dan daya tarik wisata budaya
c.         Pengusahaan objek dan daya tarik wisata minat khusus

Pasal 12
Usaha sarana pariwisata dapat berupa jenis-jenis usaha :
a.         Penyediaan akomodasi
b.         Penyediaan makan dan minimum
c.         Penyediaan angkutan wisata
d.         Penyediaan sarana wisata tirta
e.         Kawasan pariwisata

Bagian Keempat
Pendekatan Pengembangan
Pasal 13
Pendekatan pengembangan kepariwisataan Daerah Riau meliputi pendekatan ekonomis, sparsial infrastruktur, Holistik intersktoral dan berkelanjutan.

Pasal 14
Dalam rangka pengembangan dan promosi pariwisata Provinsi Riau, Gubernur dapat membentuk lembaga koordinasi yang tugasnya memfasilitasi dan koordinasi.

BAB IV
KERJASAMA ANTAR DAERAH PENYERAHAN KEWENANGAN
Bagian Pertama
Kerjasama Antar Pemerintah Daerah
Pasal 15
(1)        Dalam rangka pengembagan kepariwisataan Daeah Riau, dapat dilakukan kerjasama sesasma Pemerintah Kabupaten/Kota, antar beberapa Pemerintah Kabupaten/Kota dengan Pemerintah Provinsi.
(2)        Kerjasama pengembangan kepariwisataan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), diwujudkan dengan tetap berpegang pada ruang lingkup kewenangan yangdipunyai oleh masing-masing Pemerintah.
(3)        Insiatif kerjasama dalam mengembangankan kepariwisataan dapat dimulai oleh Pemerintah Provinsi Riau atau Pemerintah Kabupaten/Kota.
(4)        Jangka waktu kerjasama dilaksanakan sekurang-kurangnya untuk masa 5 (lima) tahun dan selanjutnya dapat diperpanjang untuk sautu masa waktu tertentu yang di tentukan dalam perjanjian kerjsama.
(5)        Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota untuk melakukan kerjasama yang membawa dampak memberikan beban pada masyarakat dan daerah hanya dapat dilaksanakan setelah mendapat persetujuan DPRD.

Bagian Kedua
Penyerahan Kewenangan
Pasal 16
(1)        Bagi Pemerintah Kabupaten/Kota yang belum mampu dalam menangani bidang kepariwisataan, maka Pemerintah Kabupaten/Kota dapat menyerahkan kewenangan kepada Pemerintah Provinsi.
(2)        Penyerahan kewenangan bidang kepariwisataan dari Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Pemerintah Provinsi yang harus mebyebutkan bidang kepariwisataan yang diserahkan secara jelas.
(3)        Penyerahan kewenangan bidang kepariwisataan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2), dapat ditentukan untuk jangka waktu tertentu yaitu sekurang-kurnagnya untuk jangka waktu 10 (sepuluh) Tahun.
(4)        Keputusan Bupati/Walikota untuk menyerahkan kewenangan bidang kepariwisataan kepada Gubernur, harus dengan persetujuan DPRD..(5) Bupati/Walikota menyammpaikan keputusan tentang penyerahan kewenangan bidang kepariwisataan kepada Gubernur dan Presiden Ri dengan tembusan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah.
(6)        Pemerintah Provinsi hanya dapat menerima penyerahan kewenangan bidang kepariwisataan dari Pemerintah Kabupaten/Kota, bilamana Presiden Ri telah menyetujui penyerahan itu atau dalam jangka waktu 1 (satu) bulan Presiden tidak memberi tanggapan, maka penyerahan kewenangan tersebut dianggap disetujui.

Pasal 17
Dalam hal Pemerintah Provinsi tidak mempunyai kemampuan untuk melaksanakan kewenangan bidang kepariwisataan yang diserahkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, maka pemerintah Provinsi harus segera menyatakan tentang hal itu dan menyerahkan kepada pemerintah, dengan mekanisme yang sama sebagaimana tercantum dalam pasal 16.

Pasal 18
Dalam hal Pemerintah Kabupaten/Kota telah mampu untuk melaksanakan kewenangan di bidang kepariwisataan, maka hal itu harus dinyatakan secara tegas melalui Keputusan Bupati/Walikota dengan persetujuan DPRD kepada Gubernur dan Presiden dengan tembusan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah.

Pasal 19
Pemerintah/Pemerintah Provinsi setalah menerima Keputusan Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 mempunyai kewajiban untuk menyerahkan kembali kewenangan bidang kepariwisataan kepada Pemerintah Kabupaten/Walikota tanpa persetujuan Presiden RI.

Pasal 20
Masa Peralihan penyerahan kembali kewenangan bidang kepariwisataan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana diatur dalam pasal 19 paling lama 2 (dua) tahun.

Pasal 21
Pelaksanaan dari penyerahan kembali kewenangan bidang kepariwisataan ini, tetap berpedoman pada pasal 16 ayat (3) yang mengatur masalah jangka waktu penyerahan kewenangan, kecuali bilamana Pemerintah Provinsi berpendapat lain.

BAB V
KAWASAN WISATA
Bagian Pertama
Pengembangan Wilayah Pariwisata
Pasal 22
(1)        Daerah Riau dibagi menjadi 3 (tiga) Unit Pengembangan Wilayah Pariwisata (UPWP) meliputi :.
a.         UPWP A
b.         UPWP B
c.         UPWP C
(2)        Tiap Unit Pengembangan Wilayah Pariwisata (UPWP) tidak terikat oleh wilayah administrasi yaitu :
a.         UPWP A meliputi daerah-daerah Kabupaten/Kota : Pekanbaru, Kampar, Rokan Hulu, Pelalawan.
b.         UPWP B meliputi daerah-daerah Kabupaten/Kota : Bengkalis, Siak, Dumai, dan Rokan Hilir.
c.         UPWP C meliputi daerah-daerah Kabupaten/Kota : Kuantan Singinggi, Indragiri Hulu dan Indragiri Hilir.
(3)        Perwilayahan ini digambarkan dalam peta-peta terlampir.

Pasal 23
Tiap Unit Pengembangan Wilayah Pariwisata memilik beberapa objek dan daya tarik  wisata, yang terikat oleh jaringan transportasi, hubungan sejarah maupun ragam daya tarik.

Bagian Kedua
Unit Kawasan Wisata
Pasal 24
(1)        Tiap Unit Kawasan Wisata (UKW) perlu disusun Rencana Pengembangan Kawasan Wisata (RPKW) dan Rencana Detail Pengembangan Kawasan Wisata (RDPKW).
(2)        Tiap Objek dan Daya Tarik Wisata perlu disusun Rencana Pembangunan Objek dan Daya Tarik Wisata (RPOW).
(3)        Rencana Pengembangan Kawasan Wisata (RPKW) dan Rencana Pengembangan. Objek dan Daya Tarik Wisata (RPOW) sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dan (2) ditetapkan dengan keputusan Gubernur.

Bagian Ketiga
Potensi Objek dan daya Tarik Wisata
Pasal 25
(1)        Potensi objek dan daya tarik wisata budaya terdiri dari peningggalan budaya, adat istiadat daerah, musik tradisional hasil karya seni suara, seni lukis, pahat yang dapat memberikan daya tarik wisatawan.
(2)        Potensi objek dan daya tarik wisata alam terdiri dari segala keindahan alam meliputi gunung, hutan, pantai, gua, dan panorama yang lain.
(3)        Potensi Objek dan daya tarik wisata minat khusus terdiri dari segala sesuatu yang dapat menarik wisatawan berkunjung ke suatu tempat.

Bagian Keempat
Pengembangan dan Pemanfaatan Objek
Pasal 26
Pengembangan objek dan daya tarik wisata dilakukan berdasarkan unit-unit kawasan wisata.

Pasal 27
Tiap Unit Pengembangan Wilayah Pariwisata (UPWP), sebagaimana dimaksud Pasal 22, diarahkan pengembangannya sebagai berikut :
a.         Unit Pengembangan Wilayah Pariwisata A pengembangannya diarahkan untuk:
1.         Pekanbaru diarahkan untuk, Pengembangan wisata budaya, sejarah, alam buatan dan rekreasi kota.
2.         Kampar diarahkan untuk pengembangan wisata budaya, sejarah dan alam buatan.
3.         Rokan Hula diarahkan untuk pengembangan wisata budaya, sejarah dan alam.
4.         Kabupaten Pelalawan, diarahkan untuk pengembangan wisata budaya. sejarah, perairan, alam dan bahari.
b.         Unit Pengembangan Wilayah Pariwisata B, pengembangannya diarahkan pada:
1.         Bengkalis diarahkan untuk pengembangan wisata rekreasi kota, alam, buatan, bahari dan budaya.
2.         Siak diarahkan untuk Pengembangan wisata sejarah, budaya, alam dan perairan.
3.         Dumai diarahkan untuk Pengembangan wisata budaya, alam, rekreasi kota, bahari dan alam buatan.
4.         Rokan Hilir diarahkan untuk pengembangan wisata budaya, alam dan bahari.
c.         Unit Pengembangan Wilayah Pariwisata C, pengembangannya diarahkan pada:
1.         Kuantan Singingi diarahkan untuk Pengembangan Wisata sejarah, Budaya, alam.
2.         Indragiri Hulu diarahkan untuk Pengembangan wisata cagar alam, budaya, alam, sejarah, petualangan.
3.         Indragiri Hilir diarahkan untuk Pengembangan wisata budaya, alam, sejarah dan bahari.

Pasal 28
Potensi Objek dan daya tarik wisata dimanfaatkan sebaiknya-baiknya untuk pembangunan daerah sesuai dengan karakteristik Objek wisata.

BAB VI
STRUKTUR PELAYANAN WISATA
Bagian Pertama
Fasilitas Pelayanan Umum Pariwisata
Pasal 29
Fasilitas pelayanan umum pariwisata meliputi Hotel, Mandala Wisata, Penginapan, Pondok Wisata, Restoran, Rumah makan, gerai cenderamata, Tempat penukaran uang serta tempat Rekreasi dan hiburan.

Pasal 30
(1)        Pihak Swasta diberikan kesempatan untuk menyelenggarakan fasilitas pelayanan umum pariwisata.
(2)        Persyaratan penyelenggaraan fasilitas pelayanan umum pariwisata diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Kedua
Fasilitas Angkutan dan Perjalanan Wisata
Pasal 31
Fasilitas angkutan pariwisata berupa kendaraan wisata antara lain pesawat udara, bus, taksi, kapal laut, ferry, speedboat, dan angkutan tradisional yang mendukung pariwisata di daerah.

Pasal 32
Pengaturan perjalanan dan paket wisata dilaksanakan oleh usaha perjalanan wisata.

Pasal 33
(1)        Pihak swasta diberikan kesempatan untuk menyelenggarakan usaha perjalanan wisata.
(2)        Pemerintah Provinsi mempunyai kewenangan dalam bidang kepariwisataan, termasuk di dalamnya pengaturan di bidang perizinan usaha perjalanan wisata yang bersifat lintas kabupaten dan kota
(3)        Persyaratan penyelenggaraan usaha perjalanan wisata diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Ketiga
Fasilitas Informasi Pariwisata
Pasal 34
Pusat Informasi Pariwisata (PIP) merupakan pusat pelayanan informasi di bidang
kepariwisataan.

Pasal 35
(1)        Pihak swasta diberikan kesempatan untuk menyelenggaraka PIP.
(2)        Persyaratan penyelenggaraan PIP ditentukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3)        Di setiap Kabupaten/ Kota sekurang-kurangya harus diadakan satu buah PIP.

Bagian Keempat
Jasa Pramuwisata dan pengatur Pariwisata
Pasal 36
(1)        Pramuwisata dan pengatur panwisata memberikan pelayanan kepariwisataan menurut profesinya.
(2)        Persyaratan sebagai Pramuwisata dan pengatur Pariwisata ditentukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Kelima
Fasilitas Umum
Pasal 37
Untuk meninakatkan kualitas daya tarik dan sistem pelayanan wisata, di setiap Objek wisata dilengkapi berbagai fasilitas yang memadai antara lain Mushollah, jalan, listrik, telepon, air bersih, pos keamanan dan lain-lain.

BAB VII
SISTEM TRANSPORTASI
Bagian Pertama
Sistem Transportasi Wisata
Pasal 38
Sistem transportasi wisata meliputi transportasi internal dan eksternal:
a.         Transportasi internal merupakan sistem transportasi di daerah yang mengatur distribusi wisatawan/paket wisata dari penginapan sampai ke objek wisata dan sebaliknya.
b.         Transportasi eksternal merupakan sistem transportasi yang mengatur arus wisatawan dari tempat asal baik dari luar provinsi maupun dari luar negeri.

Bagian Kedua
Pengembangan Transportasi
Pasal 39
(1)        Pengembangan transportasi internal merupakari peningkatan jalur dan kualitas keamanan,
kenyamaan dan keselamatan angkutan umum maupun angkutan tradisional dan penetapan
jalur pengangkutan orang untuk keperluan pariwisata ditetapkan oleh Gubernur/
Bupati/ Walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing.
(2)        Pengembangan transportasi eksternal dengan peningkatan kualitas dan kuantitas sarana,
prasarana dan jalur transportasi udara, transportasi bahan, transportasi sungai dan darat..

Bagian Ketiga
Jalur Transportasi
Pasal 40
Arah dan jalur transportasi wisata, merupakan kewenangan dari Pemerintah Provinsi dan ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.

Pasal 41
Untuk meningkatkan kelancaran transportasi wisata perlu dilengkapi dengan rambu-rambu dan papan petunjuk wisata.

Bagian Keempat
Pengelolaan Kepariwisataan
Pasal 42
Pembangunan kepariwisataan di daerah dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi/Pemerintah Kabupaten/ Kota, swasta dan masyarakat.

Pasal 43
(1)        Pemerintah, Pemerintah Provinsi/ Pemerintah Kabupaten/Kota berperan dalam pembinaan, pengawasan dari pengamanan dalam kegiatan kepariwisataan.
(2)        Pihak swasta berperan membuka dan menyelenggarakan usaha Objek dan daya tarik wisata serta fasilitas pelayanan wisata.
(3)        Masyarakat berperan serta di dalam menciptakan sadar wisata yang berlandaskan Sapta Pesona.

BAB VIII
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA DAN LINGKUNGAN HIDUP
Bagian Pertama
Pengembangan Sumber Daya Manusia
Pasal 44
Pengembangan kepariwisataan diikuti dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia dan kondisi lingkungan hidup.

Pasal 45
(1)        Tenaga kerja yang bergerak di bidang kepariwisataan dituntut memiliki profesionalisme.
(2)        Syarat-syarat tentang standar profesionalisme di bidang kepariwisataan diatur dan ditentukan oleh Pemerintah Provinsi dan ditetapkan dengan keputusan Gubernur.

Bagian. Kedua
Pengembangan Lingkungan Hidup
Pasal 46
Usaha sarana wisata diwajibkan memelihara lingkungan hidup dan atau analisis dampak lingkungan.

Pasal 47
Setiap bangunan sarana dan prasarana wisata diwajibkan untuk dilengkapi dengan lahan pertamanan dan lahan penghijauan.

BAB IX
PELAKSANAAN, PENGENDALIAN DAN PENERTIBAN
Bagian Pertama
Pelaksanaan
Pasal 48
(1)        Pelaksanaan RIPPDA merupakan perwujudan program pembangunan pariwisata baik berupa program Pemerintah, Pemerintah Provinsi/ Pemerintah Kabupaten/ Kota, swasta, maupun masyarakat.
(2)        RIPPDA ditinjau kembali setiap lima tahun dengan maksud untuk mengevaluasi dan penyempurnaan pelaksanaan RIPPDA.

Bagian Kedua
Pengendalian dan Penertiban
Pasal 49
(1)        Pengendalian pelaksanaan RIPPDA diselenggarakan dalam bentuk izin, pemantauan, evaluasi dan pelaporan.
(2)        Pengendalian sebagaimana dimaksud ayat (1) dilaksanakan oleh Gubernur/ Bupati/Walikota sesuai kewenangan masing-masing dan dalam hal ini dilaksanakan oleh Dinas Kebudayaan Kesenian dan Pariwisata Provinsi/ Kabupaten/ Kota.

Pasal 50
(1)        Penertiban pelaksanaan RIPPDA diselenggarakan dalam bentuk pengenaan sanksi, baik sanksi administrasi, pidana maupun sanksi lainnya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)        Penertiban sebagaimana dimaksud Ayat (1) dilaksanakan oleh instansi yang berwenang baik dalam tingkatan daerah provinsi maupun daerah Kabupaten/Kota.

BAB X
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 51
Apabila terjadi pemekaran wilayah Provinsi Riau, Peraturan Daerah ini tetap berlaku dan Unit Pengembangan Wilayah Pariwisata (UPWP) disesuaikan dengan pemekaran wilayah tersebut.

BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 52
Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka Peraturan Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Riau Nomor 8 Tahun 1996 tentang RIPPDA Provinsi Daerah Tingkat I Riau dan ketentuan lainnya yang bertentangan dinyatakan tidak berlaku lagi

Pasal 53
Hal-hal yang diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Gubernur.

Pasal 54
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Propinsi Riau.




Ditetapkan di Pekanbaru
Pada Tanggal 6 September 2004
        GUBERNUR RIAU

        H. M. RUSLI ZAINAL
Diundangkan di Pekanbaru
Pada Tanggal 7 September 2004
SEKRETARIS DAERAH PROVINSI RIAU

             H. R. MAMBANG MIT
             Pembina Utama Madya
                    NIP. 070004045









LEMBARAN DAERAH PROVINSI RIAU TAHUN 2004 NOMOR 18 SERI E.

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH PROVINSI Riau
NOMOR 4 TAHUN 2004
TENTANG
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN PARIWISATA DAERAH RIAU



I.          PENJELASAN UMUM
1.         Pembangunan kepariwisataan di Provinsi Riau merupakan bagian integral dengan pembangunan daerah serta merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan pembangunan kepariwisataan Nasional. Sumber-sumber potensi kepariwisataan baik berupa Objek dan daya tarik wisata, kekayaan budaya, alam dan lainnya, sumber daya manusia, serta usaha jasa pariwisata merupakan modal dasar bagi pembangunaan kepariwisataan daerah. Modal tersebut perlu dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan pendapatan daerah, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, memperluas kesempatan usaha dan lapangan kerja, mendorong pembangunan daerah serta memupuk rasa cinta budaya, bangsa dan tanah air.
2.         Guna mewujudkan hasil pembangunan yang optimal, diperlukan koordinasi dan kerja sama antar instansi pemerintah, pihak swasta dan masyarakat secara terpadu. Didalam pembangunan kepariwisataan di daerah perlu tetap melestarikan nilai-nilai budaya dan mendorong upaya peningkatan kualitas lingkungan hidup, memperkukuh jati diri, serta tetap memperhatikan derajat kemanusiaan dan kesusilaan. Peran serta masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya memmiliki peranan penting dalam terciptanya peningkatan jumlah dan lama tinggal wisatawan di daerah.
Untuk pembangunan kepariwisataan di Provinsi Riau perlu disusun pedoman dalam bentuk pengaturan, pembinaan dan pengawasan yakni Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah yang disingkat RIPPDA Provinsi Riau.
3.         Lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentanq Pemerintahan Daerah, menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, sebagai jawaban atas tuntutan reformasi di segala bidang, khususnya di bidang hukum ketatanegaraan, dan lebih khusus lagi di bidang hukum Pemerintahan daerah, telah membuka lembaran baru dalam menata kembali pola hubungan antara Pemerintahan Nasional (pusat) dengan daerah-daerah (daerah otonom).
Dalam paradigma baru yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, telah menempatkan daerah kabupaten/ kota sebagai daerah yang mempunyai kewenangan di semua bidang pemerintahan kecuali yang menjadi kewenangan pemerintahan pusat.
Daerah Provinsi menempati posisi yang khas, mempunyai kewenangan yang mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota, kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, serta kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya.
Walaupun demikian, dalam rumusan undang-undang itu dinyatakan bahwa daerah provinsi bukanlah merupakan aatasan dari daerah kabupaten dan kota, antara keduanya.tidaklah berada dalam posisi yang hirarkis. Hal ini hanya  menyatakan bahwa letak otonomi menurut undang-undang ini terletak di daerah Kabupaten/ Kota.
Bidang kepariwisataan, merupakan bidang pemerintahan yang mempunyai sifat lintas Daerah Kabupaten/ Kota.
Dalam membangun Provinsi Riau, khususnya dalam mewujudkan Visi Riau 2020, menjadikan Riau sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dan kebudayaan Melayu, memerlukan keterpaduan di semua sektor pembangunan, tidak terkecuali di sector kepariwisataan.
Sektor kepariwisataan membutuhkan kerjasama diantara semua pelaku pembangunan, baik aparatur pemerintah, masyarakat, swasta, baik pernerintah pusat, pemerintah daerah Provinsi maupun pemerintah daerah Kabupaten/ Kota.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 memberikan peluang diadakannya kerjasama antar daerah provinsi dengan daerah kabupaten/ kota, antara sesama daerah kabupaten/kota, serta juga membuka peluang untuk menyerahkan suatu bidang pemerintahan yang tidak atau belum mampu dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota untuk diserahkan kepada daerah provinsi untuk sementara waktu.
Termasuk didalam pengertian bidang pemerintahan itu adalah bidang kepariwisataan.
Masalah kerjasama antar daerah ini, perlu dirumuskan dalam RIPPDA, karena
karakteristik yang dipunyai bidang kepariwitataan yang lintas kabupaten/kota dengan tetap menjaga sedemikian rupa kewenangan yang memang dipunyai oleh masing-masing Kabupaten/Kota.



II.        PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Pasai 1 s/d 7 : Cukup Jelas
Pasal 8 huruf a :          Dampak negatif yang dimaksud adalah hal-hal yang merusak nilai-nilai luhur yang ada dan tumbuh berkembang dalam masyarakat serta mengganggu kualitas lingkungan hidup antara lain seperti prostitusi, perjudian, penebangan kayu liar, pembuangan limbah yang mengakibatkan pencemaran lingkungan dan lain-lain.
Pasai 8 huruf b s/d d :             Cukup jelas
Pasal 8 huruf c :          Sumber Daya manusia yang berkualitas adalah yang mempunyai Kualitas sehingga sanggup menjawab permasalahan/ tantangan masa kini. Kualitas disini juga mencakup pengertian professional, keahlian, terdidik, berkarakter dan berbudaya.
Pasal 9 Ayat 1 :           Cukup jelas
Ayat 2 :           Penggolongan usaha pariwisata ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan.
Pasal 10 :                     Yang dimaksud dengan usaha jasa pariwisata serta jenis-jenisnya adalah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan
Pasal 11 :                     Yang dimaksud dengan pengusahaan Objek dan Daya tarik wisata serta kelompoknya adalah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan.
Pasal 12 :                     Yang dimaksud dengan usaha sarana Pariwisata serta jenis-jenisnya adalah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nornor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan
Pasal 13 :                     Sparsial Infrastruktural adalah sifat kegiatan ke pariwisataan yang menyangkut prasarana dan kewilayahan. Holistik. Intersektoral adalah sifat kegiatan kepariwisataan yang menyeluruh dan merupakan kegiatan yang berkaitan antar sektor.
Pasal 14 :                     Untuk membantu Pemerintah Provinsi Riau dalam pengembangan dan promosi pariwisata maka Gubernur dapat membentuk Lembaga Koordinasi seperti Riau Tourism Board dan lain-lain yang tugasnya memfasilitasi dan koordinasi antara sesama pelaku usaha bidang pariwisata dan memfasilitasi antara Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota dengan pelaku usaha bidang pariwisata.
Pasal 15 :                     Cukup jelas
Pasal 16 s/d 17 :          Penyerahan Kewenangan sesuai dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom.
Pasal 18 :                     Cukup Jelas
Pasal 19 :                     Penyerahan Kembali kewenangan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tertang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom.
Pasal 20 s/d 27 :          Cukup jelas
Pasai 28 :                     Karakteristik Objek adalah situasi dan kondisi Objek wisata. Tiap Objek dan daya tarik memiliki karakteristik yang tertentu dan berbeda-beda satu sama lainnya.
Pasal 29 :                     Yang dimaksud dengan Mandala Wisata adalah rurnah tinggal (Home Stay).
Pasal 30 :                     Cukup jelas
Pasal 31 :                     Yang dimaksud angkutan tradisional berupa becak, andong, perahu dan alat angkutan sungai lain.
Pasal 32 s/d 54 :          Cukup jelas


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tembang Macapat Pangkur dan Maknanya

Tembang macapat pangkur banyak digunakan pada tembang-tembang yang bernuansa Pitutur (nasihat), pertemanan, dan cinta. Baik rasa cinta kepada anak, pendamping hidup, Tuhan dan alam semesta. Banyak yang memaknai tembang macapat pangkur sebagai salah satu tembang yang berbicara tentang seseorang yang telah menginjak usia senja, dimana orang tersebut mulai mungkur atau mengundurkan diri dari hal-hal keduniawian. Oleh karena itu sangat banyak tembang-tembang macapat pangkur yang berisi nasihat-nasihat pada generasi muda. (baca juga : Macapat Pangkur, Meninggalkan Urusan Duniawi) Salah satu contoh tembang macapat pangkur yang populer di masyarakat adalah karya KGPAA Mangkunegoro IV yang tertuang dalam Serat Wedatama, pupuh I, yakni : Mingkar-mingkuring ukara (Membolak-balikkan kata) Akarana karenan mardi siwi (Karena hendak mendidik anak) Sinawung resmining kidung (Tersirat dalam indahnya tembang) Sinuba sinukarta (Dihias penuh warna ) Mrih kretarta pakartining ilmu luhun

Bedanya Skripsi, Tesis, Disertasi, Karya Ilmiah , Makalah, Dan Paper

Karya ilmiah merupakan hasil paduan berpikir ilmiah melalui penelitian. Karya ilmiah disusun secara sistematis berdasarkan kaidah berpikir ilmiah, yang karena itu, sangat sulit dihasilkan oleh mereka yang tidak mempelajari dan memahami aturan dan prosedur keilmiahan. Karya ilmiah bertumpu pada berpikir ilmiah, yaitu: berpikir deduktif dan induktif. Adapun karya ilmiah dapat dipilah menjadi:  1. Makalah Lazimnya, makalah dibuat melalui kedua cara berpikir tersebut. Tetapi, tidak menjadi soal manakala disajikan berbasis berpikir deduktif (saja) atau induktif (saja). Yang penting, tidak berdasar opini belaka. Makalah, dalam tradisi akademik, adalah karya ilmuwan atau mahasiswa yang sifatnya paling ‘soft’ dari jenis karya ilmiah lainnya. Sekalipun, bobot akademik atau bahasan keilmuannya, adakalanya lebih tinggi. Misalnya, makalah yang dibuat oleh ilmuwan dibanding skripsi mahasiswa. Makalah mahasiswa lebih kepada memenuhi tugas-tugas pekuliahan. Karena itu, aturannya ti

HAKIKAT SHOLAT MENURUT SYEKH SITI JENAR

http://www.javalaw-bmg.blogspot.com Peliharalah shalatmu dan shalat wustha. Berdirilah untuk Allah (dalam shalat) yang khusyuk (QS Al. Baqarah / 2:238). Ini adalah penegasan dari Allah tentang kewajiban dan keharusan memelihara shalat, baik segi dzahir maupun batin dengan titik tekan khusyuk, kondisi batin yang mantap. Secara lahir, shalat dilakukan dengan berdiri, membaca Al-Fatihah , sujud, duduk dsb. Kesemuanya melibatkan keseluruhan anggota badan. Inilah shalat jasmani dan fisikal. Karena semua gerakan badan berlaku dalam semua shalat, maka dalam ayat tersebut disebut shalawaati (segala shalat) yang berarti jamak. Dan ini menjadi bagian pertama, yakni bagian lahiriah. Bagian kedua adalah tentang shalat wustha, yaitu yang secara sufistik adalah shalat hati. Wustha dapat diartikan pertengahan atau tengah-tengah. Karena hati terletak di tengah, yakni di tengah diri, maka dikatakan shalat wustha sebagai shalat hati. Tujuan shalat ini adalah untuk mendapatkan kedamaian dan