Dalam khasanah Bahasa Jawa, istilah parikan lebih dikenal daripada
pantun meskipun cara penyampaian serta fungsinya sama. Yang membedakan
dari dua istilah tersebut hanyalah bahasa yang di gunakan. Pantun
menggunakan Bahasa Indonesia, sementara parikan menggunakan Basa
Jawa. Pada dasarnya, kaidah pantun dan parikan tidak jauh berbeda. Baris
pertama adalah sampiran sementara baris kedua adalah isi. Parikan
sendiri juga ada yang terdiri dari dua dan empat baris. Rima parikan pun
juga sama a-b-a-b.
Parikan atau kidungan adalah salah satu bagian dalam kesenian tradisional ludruk. Di dalam ludruk, ada tiga jenis parikan saat bedayan (bagian awal permainan ludruk). Yaitu, lamba (parikan panjang yang berisi pesan), kecrehan (parikan pendek yang kadang-kadang berfungsi menggojlok orang) dan dangdutan (pantun yang bisa berisi kisah-kisah kocak). Dalam ludruk yang benar-benar murni, seorang seniman ludruk paling tidak harus bisa parikan selama dua jam tanpa putus. Selain itu, parikan tersebut harus dituntut kontemporer. Artinya, parikan tersebut harus sesuai kondisi-situasi sosial yang ada. Jadi, parikan tidak boleh sesuatu yang monoton. Spontanitas menempati porsi terbesar dalam hal ini. Prosesnya selalu dimulai dengan parikan yang sudah dihafalkan. Baru setelah tiga hingga empat parikan karya-karya spontanitas dimunculkan.
Seorang pemain ludruk yang hendak parikan biasanya mengamati kondisi masyarakat sekitar tempat pertunjukan agar bisa membawakan parikan yang mengena dan bisa diterima oleh para penontonnya.
Berikut merupakan contoh parikan :
Parikan atau kidungan adalah salah satu bagian dalam kesenian tradisional ludruk. Di dalam ludruk, ada tiga jenis parikan saat bedayan (bagian awal permainan ludruk). Yaitu, lamba (parikan panjang yang berisi pesan), kecrehan (parikan pendek yang kadang-kadang berfungsi menggojlok orang) dan dangdutan (pantun yang bisa berisi kisah-kisah kocak). Dalam ludruk yang benar-benar murni, seorang seniman ludruk paling tidak harus bisa parikan selama dua jam tanpa putus. Selain itu, parikan tersebut harus dituntut kontemporer. Artinya, parikan tersebut harus sesuai kondisi-situasi sosial yang ada. Jadi, parikan tidak boleh sesuatu yang monoton. Spontanitas menempati porsi terbesar dalam hal ini. Prosesnya selalu dimulai dengan parikan yang sudah dihafalkan. Baru setelah tiga hingga empat parikan karya-karya spontanitas dimunculkan.
Seorang pemain ludruk yang hendak parikan biasanya mengamati kondisi masyarakat sekitar tempat pertunjukan agar bisa membawakan parikan yang mengena dan bisa diterima oleh para penontonnya.
Berikut merupakan contoh parikan :
Wajik klethik, gula Jawa
luwih becik wong prasaja
Manuk emprit nggawa kawat ing wit waru
Dadi murid, kudu hormat marang guru
Ono Teklek kejegur kalen…
Tinimbang nggolek mendingan balen..
Pit Abang
Pite mas Mantri
Nek ngesun Kembang
aku ya Tri..
Bude teko nggowo bolu…
Ngakune joko anake telu
mangan jadah, enteke telu
najan simbah, adhi kelasmu
Nang medan ana terminal Amplas
yen udan kebanjiran nggo susuh kodok
lha mosok ora nduwe ide babar blas
apa ide kuwi di monopoli kaum ortodoks
Siji loro telu
astane sedheku
mirengake simbah mu
menawa di dangu
Ndelok Monas seko Tugu
Ben ra panas jejer aku
Wit Gedang Awoh Pakel
Omong Gampang Nglakoni Angel
Nyangking Ember Kiwo-Tengen
Lungguh Jejer Tombo Kangen
Esuk Nyuling Sore Nyuling, Sulinge Arek Surabaya
Esuk eling Sore eling, sing dieling ra rumangsa
Pithik walik mangan peyek
isih cilik betah melek
Komentar