Penangkapan aktivis Kongres Indonesia pada tanggal 10 Maret 1998 tidak menurunkan gelombang protes menentang Soeharto, bahkan sebaliknya massa mahasiswa yang terlibat malah makin besar, hingga mencapai puluhan ribu orang. Pengangkatan Tutut Suharto sebagai mensos dan Bob Hasan sebagai menperin/perdag justru meman-cing kemarahan mahasiswa dan rakyat. Di kampus UGM Yogyakarta, contohnya, Kamis 12 Maret 1998, sekitar 50 ribu mahasiswa memadati jalan-jalan kampus. Sambil berteriak, "Hidup Reformasi, Ganti Soeharto," mereka memajang ratusan poster bertuliskan tuntutan reformasi politik dan ekonomi. Yang menarik, aksi keprihatinan itu diikuti pula oleh sejumlah dosen senior UGM, seperti: Amien Rais, Mochtar Mas'oed, Prof. Koento Wibisono (Ketua Kagama), Prof. Teuku Jacob (mantan Rektor UGM). Dalam aksi keprihatinan itu, Ketua Senat Mahasiswa UGM, Ridaya La Ode Ngkowe, mem-bacakan deklarasi keprihatinan Keluarga Mahasiswa UGM. Inti deklarasi: tanpa reformasi ekonomi dan politik secara menyeluruh, maka pembangunan nasional akan segera berakhir. Di akhir deklarasi, disampaikan enam butir tuntutan, diantaranya: turunkan harga kebutuhan bahan pokok dan kembalikan sistem ekonomi yang berpihak kepada rakyat. Amien Rais saat berpidato di depan sekitar 15 ribu mahasiswa UI pada tanggal 13 Maret 1998 menuntut presiden Suharto untuk memberantas nepotisme, korupsi, dan kolusi; melakukan reformasi politik, agar reformasi ekonomi berjalan lancar; memeriksa kekayaan pribadi pejabat negara, mulai bupati sampai presiden; membentuk kabinet baru yang terdiri dari orang jujur, profesional, dan mengabdi pada kepentingan rakyat. Untuk itu Amien Rais memberi waktu 6 bulan, jika pemerintah gagal menjalankan tuntutannya, maka mereka harus mengembalikan mandat yang diberikan rakyat. Sementara itu setelah SU MPR sekitar 500 mahasiswa Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta juga menggalang aksi reformasi di kampusnya. Begitu pula di kampus Institut Sains dan Teknologi, Akademi Pimpinan Perusahaan, Universitas Atmadjaya, dan Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP). Bentrokan serius juga terjadi di Kampus Institut Teknologi Surabaya (ITS), dan mahasiswa UNS Solo. Ratusan mahasiswa sempat melawan dengan melempar bongkahan batu, ember, dan botol air mineral ke arah petugas. Tapi, aparat malah bertambah beringas menggebuki mahasiswa. Di Bandung, ribuan mahasiswa Universitas Pasundan dan Universitas Islam Bandung berhasil membobol barikade aparat keamanan, lalu melaku-kan demonstrasi di Jalan Tamansari Bandung. Aksi reformasi tidak hanya berlangsung di Jawa, tapi juga menyebar ke kampus-kampus di Medan, Ujung-pandang, Padang, Lampung, dan Denpasar. Rabu tanggal 8 April 1998 aksi keprihatinan yang digelar secara damai oleh mahasiswa Unair Surabaya dijawab dengan brutal oleh aparat keamanan sehingga 16 mahasiswa harus dilarikan ke rumah sakit. Sepuluh diantaranya mengalami cedera berat, dan terpaksa harus dirawat di rumah sakit. Cederanya 16 mahasiswa itu memperpanjang daftar korban "pembantaian" aparat keamanan di kampus-kampus. sebelumnya, bentrokan yang lebih berdarah terjadi Beberapa hari sebelum itu, aksi damai mahasiswa di kampus UGM, Bulaksumur, Yogyakarta diserang oleh aparat keamanan. Kebrutalan aparat keamanan itu berlangsung tanggal 2, 3, dan 4 April 1998 dan mengakibatkan seratus lebih mahasiswa dan pemuda cidera. Kebrutalan pihak militer dialami Timur Angin, 19 tahun, mahasiswa semeter dua Akademi Komunikasi Indonesia, Putera Seno Gumira Ajidarma (Pemimpin Redaksi Majalah Jakarta-Jakarta). Timur dihajar habis-habisan oleh segerombolan polisi dan setelah tak berdaya, Timur diseret di sepanjang aspal dari depan Gedung Kagama ke UGD RS Panti Rapih yang berjarak 300 meter. Aksi-aksi terus berlangsung di Jakarta, Bandarlampung, Bandung, Solo, Ujungpandang, Surabaya dan Yogyakarta dan teriakan "Ganti Soeharto" terdengar di kampus-kampus itu. Di Kampus Universitas Indonesia (UI), Salemba, Jakarta, Rabu pekan lalu digelar aksi gabungan berbagai universitas di Jabotabek dan perwakilan mahasiswa dari kota-kota di Indonesia lain. Pada saat yang sama, aksi juga digelar ribuan mahasiswa di Kampus UI di Depok. Di Salemba, aksi ribuan mahasiswa diwarnai ketegangan antara ratusan mahasiswa Universtas Kristen Indonesia (UKI) dengan aparat keamanan. Ratusan mahasiswa UKI yang kampusnya hanya dipisahkan Jl. Diponegoro dengan kampus UI Salemba, turun ke jalan untuk bergabung dengan rekan-rekan mereka di kampus UI. Pada hari yang sama di Surabaya, hampir 20 ribu mahasiswa gabungan 16 Perguruan Tinggi di Surabaya menggelar aksi serupa di Universitas 17 Agustus (Untag), Surabaya. Korban2 aksi damai pro-Reformasi mahasiswa di berbagai tempat di Indonesia di lawan oleh arogansi kekuasaan militer yang mengakibatkan dirawatnya ratusan orang dan menewaskan pemuda/mahasiswa pada tanggal 8 Mei di Solo dan Jogya; pahlawan2 yang tewas antara lain: 1.Rachmat Iqbal, mahasiswa UMS, tewas ditembak pada bagian kepala dan punggung 2.Agus Ariyono, Jln Nusa Indah, Karangnangka, Solo, ditembak. 3.Beni (20), Manahan, Solo, tewas ditembak. 4.Yudi, mahasiswa ISI Yogyakarta, tewas ditembak. 5.Tidak diketahui identasnya, tewas ditembak. 6. Iswanto, mahasiswa ATW, tewas. 7.Tidak diketahui namanya, diperki-rakan mahasiswa Fakultas Teknik UNS, tewas ditembak di dada. Selain itu aksi damai di Usakti 12 Mei 1998 menewaskan 1. Elang Mulia Lesmana (Fakultas Arsitektur, angkatan 1996), 2. Alan Mulyadi (Fakultas Ekonomi, angkatan 96), 3. Heri Heriyanto (Fakultas Teknik Industri Jurusan Mesin, angkatan 95) luka tembak di punggung, 4. Hendriawan (Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen, angkatan 96) luka tembak di pinggang, 5. Vero (Fakultas Ekonomi, angkatan 96), dan 6. Hafidi Alifidin (Fakultas Teknik Sipil, angkatan 95) luka tembak di kepala.
13, 14 da 15 Mei 1998 terjadi peristiwa2: kerusuhan, penjarahan dan pemerkosaan yang terorganisir dimana korban peristiwa keji tersebut adalah golongan minoritas Tionghoa yang hingga kini belum ada tindakan kongkrit dan tegas dari pihak pemerintah untuk mengungkapkan dan menghukum segenap pelaku tindakan2 biadab itu. Menhankam/Pangab Jendral Wiranto mengatakan bahwa pelaku kerusuhan, penjarahan serta pemerkosaan itu terorganisir dan pelakunya harus ditindak dengan tegas. Hingga kini masyarakat masih dicekam oleh rasa takut, karena pelaku dan organisator pelaku teror masih berkeliaran. Bagian terbesar dari masyarakat Indonesia dan dunia internasional hanya bisa menunggu dan bersabar sampai tindakan kongkrit dari pemerintah sungguh2 dilaksanakan. Tindakan2 keji yang direncanakan dan dilakukan oleh sekelompok orang yang terorganisir tidak saja melanggar prinsip2 kemanusiaan tetapi juga memperparah krisis ekonomi dan menodai citra bangsa Indonesia didunia internasional.
Jumat, 15 Mei Presiden pulang dari Konferensi dan kunjungan kenegaraan ke Mesir. Jakarta dalam keadaan kacau balau sehingga memperburuk krisis ekonomi . Presiden Suharto memerintahkan agar diambil tindakan tegas terhadap para penjarah dan perusuh. Presiden mulai kehilangan kepercayaan dari pimpinan ABRI yang telah bersikap terbuka terhadap reformasi usulan mahasiswa. Sejumlah intelektual sudah memberikan masukan-masukan yang bermanfaat kepada pimpinan ABRI. Di antaranya tentang pencabutan aturan pengangkatan anggota MPR oleh Presiden, bahwa parpol harus diberikan kebebasan lebih luas, bahwa Presiden sebaiknya mengatakan secara jelas keinginannya untuk mundur setelah reformasi dinyatakan usai.
Sabtu/Minggu, 16-17 Mei Presiden sewaktu di Mesir mengatakan tentang rencananya menjadi pandito setelah lengser keprabon. Pernyataan ini dibantah sejumlah menteri, termasuk Menlu Ali Alatas. Akibat bantahan inilah yang justru membuka peluang bagi kalangan masyarakat untuk mengritik Presiden. Ketua Umum Golkar merangkap Ketua DPR/MPR Harmoko dikenal sebagai orang yang loyal kepada Presiden. Tapi tanggal 16 Mei itu Kosgoro -salah satu kino Golkar- telah meminta Presiden mundur. Harmoko ber-sama pimpinan DPR/MPR lain menemui Presiden di Jl Cendana dan memintanya mundur dengan perlahan sesuai dengan adat istiadat Jawa kuno.
18 Mei 1998: Ribuan mahasiswa mulai menduduki Gedung MPR mereka menuntut diadakan Sidang Istimewa MPR; dan akan bertahan di gedung itu, sampai Sidang Istimewa digelar. Sore harinya, Harmoko mengumumkan pimpinan DPR meminta Suharto mundur. Ia mengirim surat, agar Soeharto menjawab tuntutan mundur itu, paling lambat Jum'at 22 Mei 1998. Nurcholish Madjid juga bertemu Presiden dan menyarankan untuk mundur. Pernyataan Harmoko dimentahkan Pangab Wiranto, empat jam kemudian. 19 Mei 1998: Mahasiswa berbagai kampus terus berdatangan ke DPR. Jumlahnya mencapai sekitar 30.000 orang. Pimpinan DPR memperluas dukungan dengan mengajak Ketua Fraksi-fraksi. Mereka tetap meminta Soeharto mundur. Suharto coba membeli waktu, dengan menawarkan Komitee Reformasi dan berjanji meresufle kabinet. Ia mengundang beberapa tokoh ke Istana tapi Amien Rais tak diundang. 20 Mei 1998: Mahasiswa makin membanjiri DPR. Lebih dari 50.000 orang berkumpul di sana mendesak Soeharto mundur. Amien Rais, Emil Salim berpidato di depan mahasiswa, menolak resep Suharto. Mahasiswa membentuk Front Nasional untuk memperjuangkan reformasi. 21 Mei 1998: Suharto mundur dari jabatanya. Habibie dilantik jadi presiden. Semuanya berlangsung di Istana, bukan di MPR. Seolah-olah kedaulatan memang di tangan Suharto. Front Nasional menolak Habibie sebagai presiden. Mereka tetap bertahan di MPR. Sidang Istimewa perlu untuk meminta pertanggungjawaban Suharto. Ada banyak suara agar Soeharto diadili; dan hartanya dikembalikan kepada rakyat.
22 Mei 1998: Habibie mengumumkan susunan kabinet. Mayoritas anggotanya dari ICMI, tokoh HMI dan orang dekat Habibie. Nepotisme masih berlangsung, reformasi masih belum tuntas dan perjuangan belum selesai.
Sumber: Revolusi mei 1998
Komentar