Keberagamaan yang hanya 
mengandalkan bentuk tidak menjadi satu-satunya sarana penyelamat. Ia 
masih diterima kebenarannya sebatas merupakan deviasi spiritual dari 
subtansi yang absolute. Setiap bentuk adalah terbatas dan setiap agama 
pada dimensi eksoteriknya adalah suatu bentuk sedangkan sifat kemutlakan
 yang dimilikinya hanya dalam esensi hakiki dan supraformalnya saja. 
Itulah sebabnya bahasa dan pelaku keberagamaan sangat kaya dengan 
ungkapan simbolik, metaforis, analogi dan semacamnya.
Yang kesemuanya itu menuntut penyingkapan
 yang dalam akan makna dan pesan hakiki yang ada dibaliknya. Contoh yang
 amat nyata adalah jika orang ibadah haji untuk menyembah bangunan 
Ka’bah, maka ia telah terjatuh menjadi musyrik. Namun demikian nyatanya 
dalam shalat dan tawaf kita dianjurkan menundukkan kepala di hadapan 
ka’bah. Di sinilah kita jumpai berbagai “kesan paradoksal” dalam bahasa 
agama ini perlu ditegaskan karena fenomena agama yang muncul ke 
permukaan biasanya melupakan makna hakikinya. Memang betul bahwa bentuk 
(eksoterisme) memberikan identitas secara spesifik terhadap sebuah agama
 dan lebih dari itu ketika subtasi telah terlembagakan ia menuntut 
penolakan secara tegas dan keras terhadap bentuk yang lain.
Sebagai akibatnya, agama pada tataran ini
 cenderung menjadi eksklusif dan mengeras serta memandang agama yang 
lain sebagai salah dan sesat yang karenanya para penganutnya harus 
ditobatkan dari kesesatannya. Padahal, menurut pandangan perennial,
 di balik bentuk kegamaan lahiriah yang berbeda itu, sebenarnya terdapat
 kesamaan subtasnisial sehingga agama yang satu memperkuat yang lain, 
bukannya malah ingin menghapuskan.
Dalam koteks masyarakat Barat, terdapat 
tren yang mengesankan bagaimana para teolog Kristen mengambil banyak 
manfaat dari agama Timur, terutama Budhisme, tanpa harus berpindah 
agama. Bahkan di antara mereka mengatakan bahwa mereka semakin bisa 
menghayati Kekristenannya setelah mendalami Zen Budhisme. Yang terjadi 
kemudian adalah bahwa keberagamaan seseorang bersifat ekslusif. 
Disinilah terjadi proses individualisasi keberagamaan.
Individualisasi keberagamaan dan dialog 
konstruktif dan apresiatif antara tokoh-tokoh agama sesungguhnya 
bukanlah sesuatu yang aneh dalam sejarah. Dalam sejarah diceritakan 
bawah Ibrahim Ibn Adham, seorang sufi pernah mempunyai guru seorang 
pertapa Kristen, dan masing-masing berpegang pada agamanya 
sendiri-sendiri.
Kisah serupa dialami juga oleh Sayyid Ali
 Hamadani yang telah memainkan menentukan dalam mengubah Kashmir menjadi
 Islam, ketika mengenal Lalla Yogiswari, seorang Yogi wanita cantik dari
 kalangan Hindu. Kedua orang suci itu saling menghormati satu sama lain,
 meskipun berbeda agama, dan pada tingkat tertentu dapat saling berguru 
dan mempengaruhi satu sama lain.
Semua kisah itu menunjukkan jika 
seseorang telah mampu melewati dataran bentuk dan kemudian naik ke 
jenjang subtansi maka jarak, konflik dan ekslusivisme keberagamaan 
menjadi hilang. Ibarat sekelompok yang memusatkan pandangannya pada satu
 titik (Yang Maha Benar) maka konflik pandangannya kearah horizontal, 
terjadilah tukar-menukar obyek ataupun benturan pandangan dengan sesama,
 di saat itulah kemudian konflik dan sikap-sikap keras merasa benar 
sendiri segera muncul. Jadi, identitas, perbedaan, konflik dan dinamika 
yang muncul dari eksoterisme agama adalah keniscayaan, meskipun pada 
dasarnya semua itu secara ontologism dan epistemologis hanyalah bersifat
 relatif belaka.

Komentar