Sebelum Panambahan Senopati dinobatkan menjadi raja, beliau melakukan tapabrata di Dlepih dan tapa ngeli. Dalam laku tapabratanya, beliau selalu memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar dapat membimbing dan mengayomi rakyatnya sehingga terwujud masyarakat yang adil dan makmur.
Dalam
cerita, pada waktu Panembahan Senopati melakukan tapa ngeli, sampai di tempuran
atau tempat bertemunya aliran sungai Opak dan sungai Gajah Wong di dekat desa
Plered dan sudah dekat dengan Parang Kusumo, Laut Selatan tiba-tiba terjadilah
badai dilaut yang dasyat sehingga pohon-pohon dipesisir pantai tercabut beserta
akarnya, ikan-ikan terlempar di darat dan menjadikan air laut menjadi panas
seolah-olah mendidih. Bencana alam ini menarik perhatian Kangjeng Ratu Kidul
yang kemudian muncul dipermukaan laut mencari penyebab terjadinya bencana alam
tersebut.
Dalam
pencariannya, Kangjeng Ratu Kidul menemukan seorang satria sedang bertapa di
tempuran sungai Opak dan sungai Gajah Wong, yang tidak lain adalah Sang
Panembahan Senopati. Pada waktu Kangjeng Ratu Kidul melihat ketampanan
Senopati, kemudian jatuh cinta. Selanjutnya Kangjeng Ratu Kidul menanyakan apa
yang menjadi keinginan Panembahan Senopati sehingga melakukan tapabrata yang
sangat berat dan menimbulkan bencana alam di laut selatan, kemudian Panembahan
menjelaskan keinginannya
Kangjeng
Ratu Kidul memperkenalkan diri sebagai raja di Laut Selatan dengan segala
kekuasaan dan kesaktiannya. Kangjeng Ratu Kidul menyanggupi untuk membantu
Panembahan Senopati mencapai cita-cita yang diinginkan dengan syarat, bila
terkabul keinginannya maka Panembahan Senopati beserta raja-raja keturunannya
bersedia menjadi suami Kangjeng Ratu Kidul. Panembahan Senopati menyanggupi
persyaratan Kangjeng Ratu Kidul namun dengan ketentuan bahwa perkawinan antara
Panembahan Senopati dan keturunannya tidak menghasilkan anak. Setelah terjadi
kesepakatan itu maka alam kembali tenang dan ikan-ikan yang setengah mati hidup
kembali.
Adanya
perkawinan itu konon mengandung makna simbolis bersatunya air (laut) dengan
bumi (daratan/tanah). Ratu Kidul dilambangkan dengan air sedangkan raja Mataram
dilambangkan dengan bumi. Makna simbolisnya adalah dengan bersatunya air dan
bumi maka akan membawa kesuburan bagi kehidupan kerajaan Mataram yang akan
datang.
Menurut
sejarah bahwa Panembahan Senopati sebagai raja Mataram yang beristrikan
Kangjeng Ratu Kidul tersebut merupakan cikal bakal atau leluhur para raja
Mataram ,termasuk Karaton Surakarta Hadiningrat. Oleh karena itu maka raja-raja
karaton Surakarta sesuai dengan janji Panembahan Senopati yaitu menjadi suami
dari Kangjeng Ratu Kidul. Dalam perkembangannya, raja Paku Buwana III selaku
suami Kangjeng Ratu Kidul telah mendirikan Panggung Sangga Buawana sebagai
tempat pertemuannya. Selanjutnya tradisi raja-raja Surakarta sebagai suami
Kangjeng Ratu Kidul berlangsung terus sampai dengan raja Paku Buwana X. Alkisah
Paku Buwana X yang merupakan suami Ratu Kidul sedang bermain asmara di Panggung
Sangga Buwana. Pada saat mereka berdua menuruni tangga Panggung yang curam
tiba-tiba Paku Buwana X terpeleset dan hampir jatuh dari tangga tetapi berhasil
diselamatkan oleh Kangjeng Ratu Kidul. Dalam kekagetannya itu Ratu Kidul
berseru : “Anakku ngGer…………..” (Oh……….Anakku). Apa yang diucapkan oleh Kangjeng
Ratu Kidul itu sebagai Sabda Pandito Ratu artinya sabda Raja harus ditaati.
Sejak saat itu hubungan kedudukan mereka berdua berubah bukanlah lagi sebagai
suami istri , tetapi hubungannya sebagai ibu dan anak, begitu pula terhadap
raja-raja keturunan Paku Buwana X selanjutnya.
Komentar