Pembicaraan mengenai subtansi dan bentuk
agama sudah dikenal sejak zaman Yunani kuno, terutama pada Plato dan
dikembangkan kemudian oleh Aristoteles. Meskipun subtansi keberadaannya
bersifat primer sementara bentuk adalah sekunder, namun tanpa bentuk
atau suatu atribut sebuah subtansi tidak bisa dikenal. Demikian juga
halanya dengan keberadaan agama. Subtansi dan misi agama akan menjadi
aktual ketika agama tampil dalam bentuk yang nyata, bisa dikenali
manusia dan lebih jauh lagi adalah dengan bentuk itu subtansi agama
menjadi fungsional dan operasional.
Apapun nama agama itu selalu
menghubungkan dengan subtansinya, yaitu inti ajaran agama yang
keberadaannya dibalik bentuk formalnya. Subtansi ini bersifat transenden tetapi sekaligus juga imanen.
Ia transenden karena subtansi agama sulit didefinisikan dan tidak
terjangkau kecuali melalui perdikatnya. Namun begitu agama juga imanen karena sesungguhnya hubungan antara predikat dan subtansi tidak mungkin terpisahkan. Kalau saja subtansi agama bisa dibuat hirarki, maka subtansi agama yang paling primordial hanyalah satu. Ia bersifat perennial,
tak terbatas karena ia merupakan pancaran dari Yang Mutlak. Ibarat air,
subtansinya adalah satu tetapi bisa saja kehadirannya mengambil bentuk
berupa lautan, uap mendung, hujan, sungai, kolam, embun dan lain
sebagainya.
Ketika subtansi agama hadir dalam bentuk
yang terbatas, maka seungguhnya agama pada waktu yang sama bersifat
universal dan sekaligus juga partikular. Dalam konteks inilah barangkali
Schoun mengutarakan bahwa “setiap agama memiliki satu bentuk dan satu
subtansi” bentuk agama adalah relatif, namun di dalamnya terkandung
muatan subtansial yang mutlak. Karena agama merupakan gabungan antara
“subtansi” dan “bentuk” maka agama kemudian menjadi sesuatu yang
absolute tetapi relatif. Inilah yang seperti telah disebut bahwa agama
sebagai sesuatu yang “relative-absolute”. Kepicikan dan kesempitan sebuah agama akan terjadi jika kebenarannya diidentikkan hanya dengan bentuknya. “Islam
spread through the world like lightning by vurtue of its subtane, and
is expansion was brought to a halt by reason of its form, (Schoun)
Walaupun subtansi semua agama itu sama,
tapi karena kehadiran subtansi selalu dibatasi oleh dan fungsinya yang
berkaitan dengan bentuknya, tapi secara eksoterik dan
operasional sekaligus berbeda dari agama yang lain. Oleh karenanya
setiap agama selalu otentik untuk zamanya, meskipun secara subtansial
kebenaran-nya bersifat perennial, tidak dibatasi oleh ruang dan
waktu. Semua agama yang pernah hadir, entah itu Yahudi, Kristen maupun
Islam adalah otentik dan benar adanya, yang satu tidak menghapus dan
menggantikan yang lain. Jikapun dikatakan bahwa Islam adalah agama
mutakhir yang mencakup ataupun meliputi ajaran agama sebelumnya, maka
pengertiannya adalah kebenaran Islam pada level subtansinya.
Membicarakan kehadiran agama dalam
sekuens waktu, sehingga ada agama klasik dan agama mutakhir, memang
sulit dihindari karena baik agama maupun para pemeluknya hidup dalam
rentang waktu sejarah. Jadi kalaupun keberadaan Tuhan Yang Absolut
berada diluar waktu empiris, begitupun subtansi agama bersifat trans-historis,
namun manusia yang meresponi seruan Tuhan berada dalam ruang dan waktu
yang empiris. Oleh karena itu dunia manusia mengenal kategori masa lalu,
sekarang dan esok, sedangkan bagi Yang Maha Absolut kategori waktu
seperti itu tidak berlaku.
Mengenai subtansi agama-agama yang tidak bisa dibatalkan itu, karena sifatnya yang perennial
dan otentik, bisa dijelaskan dengan beberapa cara, antara lain ialah,
kalau saja Tuhan hanya menyelamatkan orang-orang yang menganut agama
Kristen saja, misalnya, maka menurut nalar sehat mustahil beberapa abad
kemudian lahir agama Islam yang dengan cepat menyebar ke seluruh dunia.
Sebaliknya, jika kedatangan Islam dengan kebenarannya yang dibawa
meniscayakan seluruh manusia memeluk agama ini, maka sulit dijelaskan
mengapa Tuhan menutup hati umat pemeluk agama diluar Islam yang
jumlahnya lebih besar ketimbang pemeluk Islam, sehingga tidak tertembus
oleh pesan yang dibawa oleh Muhammad saw.
Dalam wacana filsafat, persoalan ini lalu
menimbulkan pertanyaan, adakah iman yang benar? Iman yang menyelamatkan
itu harus ditempuh melalui pemahaman wahyu tertulis (kitab suci) yang
berbahasa Arab, Ibrani atau Latin misalnya? Ataukah bisa juga ditempuh
dengan mengandalkan akal budi yang sehat tanpa harus membaca kitab suci?
Kalau harus melalui kitab suci, bukankah pintu iman itu lalu kelihatan
sempit dan eksklusif? Dan bukankah ayat-ayat tuhan itu sesungguhnya juga
tertulis dalam diri manusia, dalam jagad raya?
Melihat kenyataan diatas maka kesadaran
adanya aspek subtansi dan bentuk, adanya wahyu tertulis, tercipta dan
terpateri dalam kalbu akan membuka banyak jalan alternatif menuju jalan
lurus, tanpa kita mengingatkan adanya orang yang memang mengingkari
agama ataupun yang menyimpang dari jalan yang benar. Meminjam ungkapan
Schuon
“inwardly, or in terms of substance,
the claims that a religion makes are absolute, but outwardly, or in
terms of form, and so on the level of human contingency, they are
necessarily relative”.
Secara teoritis, atau dalam pengertian
subtansi, klaim ataupun pernyataan-pernyataan yang dibuat oleh suatu
agama berfikir mutlak. Tetapi, secara eksoterik atau dalam
pengertian bentuk atau pada tingkat keberagamaan manusiawi,
pernyataan-pernyataan tersebut mau tidak mau menjadi relatif”.
Komentar