Kemanakah
Raden Said sesudah diusir dari kadipaten tuban, ternyata ia mengembara
tanpa tujuan pasti. Pada akhirnya dia menetap dihutan Jatiwangi. Selama
bertahun-tahun ia menjadi perampok budiman. Mengapa disebut perampok
budiman? Karena hasil rampokkannya itu tak pernah dimakannya. Seperti
dahulu, selalu diberikan kepada fakir miskin. Yang dirampoknya hanya para hartawan atau orang kaya kikir, tidak menyantuni rakyat jelata. Dan tidak mau membayar zakat.
Di hutan Jatiwangi dia membuang nama aslinya. Orang menyebutnya dengan Brandal Lokajaya.
Pada
suatu hari, ada seorang berjubah putih lewat hutan Jatiwangi. Dari jauh
Brandal lokajaya sudah mengincarnya. Orang itu membawa tongkat yang
gagangnya berkilauan.
Terus
diawasinya orang tua berjubang putih itu. Setelah dekat dia hadang
langkahnya. Tanpa banyak bicara lagi direbutnya tongkat itu dari tangan
lelaki berjubah putih. Karena tongkat itu dicabut dengan paksa maka
orang berjubah putih itu jatuh tersungkur.
Dengan
susah payah orang itu bangun, sepasang matanya mengeluarkan air walau
tak ada suara tangis dari mulutnya. Raden Said pada saat itu sedang
mengamati gagang tongkat yang dipegangnya. Ternyata tongkat itu bukan
terbuat dari emas, hanya gagangnya saja terbuat dari kuningan sehingga
berkilauan tertimpa cahaya matahari, seperti emas. Raden Said heran
melihat orang tua itu menangis. Segera diulurkannya kembali tongkat itu.
Jangan menangis, ini tongkatmu kukembalikan.
Bukan
tongkat ini yang kutangisi ujar lelaki itu sembari memperlihatkan
beberapa batang rumput ditangannya. Lihatlah ! aku telah berbuat dosa,
berbuat kesia-siaan. Rumput ini tercabut ketika aku jatuh tersungkur
tadi.
Hanyam beberapa lembar rumput. Kau merasa berdosa? Tanya Raden Said heran.
Ya,
memang berdosa! Karena kau mencabutnya tanpa sesuatu keperluan.
Andaikata kucabut guna makanan ternak itu tidak mengapa. Tapi untuk
sesuatu kesia-siaan benar-benar suatu dosa jawab lelaki itu.
Hari Raden Said bergetar atas jawaban yang mengandung nilai iman itu.
Anak muda sesungguhnya apa yang kau cari dihutan ini?
Saya menginginkan harta?
Untuk apa?
Saya
berikan kepada fakir miskin dan penduduk yang menderita,.. hem…sungguh
mulia hatimu, sayang…caramu mendapatkannya yang keliru.
Orang tua….apa maksudmu?
Boleh
aku bertanya anak muda? Desah orang tua itu. Jika kau mencuci pakaianmu
yang kotor dengan air kencing, apakah tindakanmu itu benar?
Sungguh perbuatan bodoh sahut Raden Said. Hanya menambah kotor dan bau pakaian saja.
Lelaki
itu tersenyum, demikianlah amal yang kau lakukan. Kau bersedekah dengan
barang yang didapat secara haram atau mencuri itu sama halnya dengan
mencuci pakaian dengan air kencing.
Raden
Said tercekat. Lelaki itu melanjutkan ucapannya. Allah itu adalah zat
yang baik, hanya menerima amal dari barang yang baik atau halal.
Raden
Said makin tercengang mendengar keterangan itu. Rasa malu mulai
menghujam lubuk hatinya. Betapa keliru perbuatannya selama ini.
Dipandangnya sekali lagi wajah lelaki tua itu. Agung dan berwibawa namun
mencerminkan pribadi yang welas asih. Dia mulai suka dan tertarik
dengan lelaki tua berjubah putih tersebut.
Banyak
hal yang terkait dengan usaha mengentaskan kemiskinan dan penderitaan
rakyat pada saat ini. Kau tidak bisa merubahnya hanya dengan memberi
bantuan makan dan uang kepada para penduduk miskin. Kau harus
memperingatkan pada penguasa yang zalim agar mau mengubah caranya
memerintah yang sewenang-wenang, kau juga harus dapat membimbing rakyat
agar dapat meningkatkan taraf kehidupannya.
Raden
Said semakin terpana, ucapan seperti itulah yang didambakannya selama
ini. Kalau kau tak mau kerja keras dan hanya ingin beramal dengan cara
yang mudah maka ambillah itu. Itu barang halal. Ambillah sesukamu!
Berkata demikian lelaki itu menunjuk pada sebatang pohon aren. Seketika itu pohon berubah menjadi emas.
Sepasang mata Raden Said terbelalak. Dia adalah seorang pemuda sakti
dan banyak ragam pengalaman yang telah dikecapnya. Berbagai ilmu yang
aneh-aneh telah dipelajarinya. Dia mengira orang itu mempergunakan ilmu
sihir. Kalau benar orang itu mengeluarkan ilmu sihir ia pasti dapat
mengatasinya.
Tapi
setelah mengerahkan ilmunya, pohon aren itu tetap berubah menjadi emas.
Berarti orang tua itu tidak menggunakan sihir. Ia benar-benar merasa
heran dan penasaran, ilmu apakah yang telah dipergunakan orang tua itu
sehingga mampu merubah pohon menjadi emas.
Raden
Said terdiam beberapa saat ditempatnya berdiri. Dia mencoba memanjat
pohon aren itu. Benar-benar berubah jadi emas seluruhnya. Ia ingin
mengambil buah aren yang telah berubah menjadi emas berkilauan itu.
Mendadak buah aren itu rontok, berjatuhan mengenai kepala Raden Said.
Pemuda itu jatuh terjerembab ke tanah roboh dan pingsan.
Ketika
sadar, buah aren yang rontok itu telah berubah menjadi hijau seperti
aren-aren yang lainnya. Raden Said bangkit berdiri, mencari orang tua
berjubah putih tadi. Tapi yang dicari nya sudah tidak ada ditempat.
Ucapan
orang tua tadi masih terngiang ditelinganya. Tentang beramal dengan
barang haram yang disamakan dengan mencuci pakaian dengan air kencing.
Tentang berbagai hal yang terkait dengan upaya memberantas kemiskinan.
Raden
Said mengejar oarang itu. Segenap kemampuan dikerahkannya untuk berlari
cepat akhirnya dia dapat melihat bayangan orang tua itu dari kejauhan.
Sepertinya
santai saja orang itu melangkahkan kakinya tapi Raden Said tak pernah
bisa menyusulnya. Jatuh bangun terseok-seok dan berlari lagi,
demikianlah setelah tenaganya habis terkuras dia baru bisa sampai
dibelakang lelaki berjubah putih itu.
Lelaki
berjubah putih itu berhenti, bukan karena kehadiran Raden Said
melainkan didepannya terbentang sungai cukup lebar. Tak ada jembatan dan
sungai itu tampaknya sangat dalam dengan apa dia harus menyeberang.
Tunggu……, ucap Raden Said ketika melihat orang tua itu hendak melangkahkan kakinya lagi.
Sudilah kiranya tuan menerima saya sebagai murid…..pintanya.
Menjadi muridku? Tanya orang tua itu sembari menoleh. Mau belajar apa?
Apa saja, asal tuan manerima saya sebagai murid….
Berat, berat sekali anak muda, bersediakah engkau menerima syarat-syaratnya?
Saya bersedia….
Lelaki
itu kemudian menancapkan tongkatnya ditepi sungai. Raden Said
diperintah menunggui tongkat itu. Tak boleh beranjak dari tempat itu
sebelum orang tua itu kembali menemuinya.
Raden Said bersedia menerima syarat ujian itu.
Selanjutnya
lelaki itu menyeberangi sungai. Sepasang mata Raden Said terbelalak
heran, lelaki itu berjalan diatas air bagaikan berjalan di daratan saja.
Kakinya tidak basah terkena air, ia semakin yakin calon gurunya itu
adalah seorang lelaki berilmu tinggi, waskita dan mungkin saja golongan
para wali.
Setelah
lelaki tuan itu hilang dari pandangan Raden Said, pemuda ini duduk
bersila dia teringat suatu kisah ajaib yang dibacanya didalam Al-Qur’an
yaitu kisah Ashabul Kahfi, maka ia segera berdoa kepada Tuhan supaya
ditidurkan seperti para pemuda di goa kahfi ratusan tahun yang silam.
Doanya
dikabulkan. Raden Said tertidur dalam semedinya selama tiga tahun. Akar
dan rerumputan telah merambati tubuhnya dan hampir menutupi sebagian
besar anggota tubuhnya.
Setelah
tiga tahun lelaki berjubah putih itu datang menemui Raden Said. Tapi
Raden Said tak bisa dibangunkan. Barulah setelah mengumandangkan adzan
pemuda itu membuka sepasang matanya.
Tubuh
Raden Said dibersihkan, diberi pakaian baru yang bersih. Kemudian
dibawa ke tuban mengapa dibawa ke tuban? Karena lelaki berjubah putih
itu adalah sunan Bonang. Raden Said kemudian diberi pelajaran agama
sesuai dengan tingkatannya yaitu tingkat para waliyullah. Dikemudian
hari Raden Said terkenal dengan sebutan Sunan Kalijaga.
Kalijaga
artinya orang yang menjaga sungai, karena dia pernah bertapa ditepi
sungai. Ada yang mengartikan Sunan Kalijaga adalah penjaga aliran
kepercayaan yang hidup pada masa itu. Dijaga maksudnya supaya tidak
membahayakan umat, melainkan diarahkan kepada ajaran Islam yang benar.
Ada
juga yang mengartikan legenda pertemuan Raden Said dengan Sunan Bonang
hanya sekedar simbol saja. Kemanapun Sunan Bonang pergi selalu membawa
tongkat atau pegangan hidup., itu artinya Sunan Bonang selalu membawa
agama, membawa iman sebagai petunjuk jalan kehidupan.
Raden
Said kemudian disuruh menunggui tongkat atau agama di tepi sungai. Itu
artinya Raden Said diperintah untuk terjun kedalam kancah masyarakat
jawa yang banyak mempunyai aliran kepercayaan dan masih berpegang pada
agama lama yaitu Hindu dan Budha.
Sunan
Bonang mampu berjalan diatas air sungai tanpa amblas ke dalam sungai.
Bahkan tidak terkena percikan air sungai. Itu artinya Sunan Bonang
dapat bergaul dengan masyarakat yang berbeda agama tanpa kehilangan
identitas agama yang dianut oleh Sunan Bonang sendiri yaitu Islam.
bersambung ...........
Komentar