Sunan Kalijaga itu aslinya bernama Raden Said. Putera Adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilakita.
Rakyat yang pada waktu itu sudah sangat menderita dikarenakan adanya
musim kemarau panjang, semakin sengsara, mereka harus membayar pajak
yang kadangkala tidak sesuai dengan ketentuan yang ada. Bahkan jauh dari
kemampuan mereka. Seringkali jatah mereka untuk persediaan menghadapi
musim panen berikutnya sudah disita para penarik pajak.
Tumenggung
Wilakita seringkali disebut Raden Sahur, walau dia termasuk keturunan
Ranggawale yang beragama Hindu tapi Raden Sahur sendiri sudah masuk
agama Islam.
Sejak
kecil Raden Said sudah diperkenalkan kepada agama Islam oleh guru agama
Kadipaten Tuban. Tetapi karena melihat keadaan sekitar atau lingkungan
yang kontradiksi dengan kehidupan rakyat jelata maka jiwa Raden Said
berontak.
Gelora
jiwa muda Raden Said seakan meledak-ledak manakala melihat praktek
oknum pejabat kadipaten Tuban disaat menarik pajak pada penduduk atau
rakyat jelata.
Walau
Raden Said putera seorang bangsawan dia lebih menyukai kehidupan bebas,
yang tidak terikat adat istiadat kebangsawanan. Dia gemar bergaul
dengan rakyat jelata atau dengan segala lapisan masyarakat, dari yang
paling bawah hingga yang paling atas. Justru karena pergaulannya yang
supel itulah dia banyak mengetahui seluk beluk kehidupan rakyat Tuban.
Niat
untuk mengurangi penderitaan rakyat sudah disampaikan kepada ayahnya.
Tapi agaknya ayahnya tak bisa berbuat banyak. Dia cukup memahaminya pula
posisi ayahnya sebagai adipati bawahan Majapahit. Tapi niatnya itu
tidak pernah padam. Jika malam-malam sebelumnya dia sering berada di
dalam kamarnya sembari mengumandangkan ayat-ayat suci Al-Qur’an maka
sekarang dia keluar rumah.
Di
saat penjaga gudang Kadipaten tertidur lelap, Raden Said mengambil
sebagian hasil bumi yang ditarik dari rakyat untuk disetorkan ke
Majapahit. Bahan makanan itu dibagi-bagikan kepada rakyat yang sangat
membutuhkannya. Hal ini dilakukan tanpa sepengetahuan mereka.
Tentu
saja rakyat yang tak tahu apa-apa itu menjadi kaget bercampur girang
menerima rezeki yang tak diduga-duga. Walau mereka tak pernah tahu siapa
gerangan yang memberikan rezeki itu karena Raden Said melakukannya
dimalam hari secara sembunyi-sembunyi.
Bukan
hanya rakyat yang terkejut atas rezeki yang seakan turun dari langit
itu. Penjaga gudang kadipaten juga merasa kaget, hatinya kebat-kebit
karena makin hari barang-barang yang hendak disetorkan ke pusat kerajaan
Majapahit itu semakin berkurang.
Ia
ingin mengetahui siapakah pencuri barang hasil bumi di dalam gudang
itu. Suatu malam ia sengaja mengintip dari kejauhan, dari balik sebuah
rumah tak jauh dari gudang kadipaten.
Dugaannya
benar, ada seseorang yang membuka pintu gudang, hampir tak berkedip
penjaga gudang itu memperhatikan pencuri itu. Dia hampir tak percaya
pencuri itu adalah Raden Said putera junjungannya sendiri.
Untuk
melaporkannya sendiri kepada adipati Wilatikta ia tak berani. Kuatir
dianggap membuat fitnah. Maka penjaga gudang itu hanya minta dua orang
saksi dari sang adipati untuk memergoki pencuri yang mengambil hasil
bumi rakyat yang tersimpan di gudang.
Raden
Said tak pernah menyangka bahwa malam itu perbuatannya bakal ketahuan.
Ketika ia hendak keluar adari gudang sambil membawa bahan-bahan makanan
tiga orang prajurit kadipaten menangkapnya, beserta barang bukti yang
dibawanya. Raden Said dibawa ke hadapan ayahnya.
Adipati
Wilatikta marah melihat perbuatan anaknya itu. Raden Said tidak
menjawab untuk apakah dia mencuri barang-barang hasil bumi yang hendak
disetorkan ke Majapahit.
Tapi
untuk itu Raden Said harus mendapat hukuman, karena kejahatan mencuri
itu baru pertama kali dilakukannya maka ia hanya mendapat hukuman cambuk
dua ratus kali pada tangannya. Kemudian disekap selama beberapa hari,
tak boleh keluar rumah. Jerakah Raden Said atas hukuman yang sudah
diterimanya?
Sesudah
keluar dari hukuman dia benar-beanr keluar dari lingkungan istana. Tak
pernah pulang sehingga membuat cemas ibu dan adiknya. Apa yang dilakukan
Raden Said selanjutnya?
Dia
mengenakan topeng khusus, berpakaian serba hitam dan kemudian merampok
harta orang-orang kaya di kabupaten tuban. Terutama orang kaya yang
pelit dan para pejabat yang curang.
Harta
hasil rampokan itu diberikannya kepada fakir miskin dan orang-orang
yang menderita lainnya. Tapi ketika perbuatannya itu mencapai titik
jenuh ada saja orang yang bermaksud mencelakakannya.
Ada
seorang pemimpin perampok sejati yang mengetahui aksi Raden Said
menjarah harta pejabat kaya, kemudian pemimpin perampok itu mengenakan
pakaian serupa dengan pakaian Raden Said, bahkan juga mengenakan topeng
seperti Raden Said juga.
Pada
suatu malam Raden Said baru saja menyelesaikan sholat isya mendengar
jerit tangis para penduduk desa kampunya sedang djarah perampok.
Dia
segera mendatangi tempat kejadian itu. Begitu mengetahui kedatangan
Raden Said kawanan perampok itu segera berhamburan melarikan diri.
Tinggal pemimpin mereka yang sedang asik memperkosa seorang gadis
cantik.
Raden
Said mendobrak pintu rumah sigadis yang sedang diperkosa. Didalam
sebuah kamar dia melihat seorang berpakaian seperti dirinya, juga
mengenakan topeng serupa sedang berusaha mengenakan pakaiannya kembaili.
Rupanya dia sudah selesai memperkosa gadis tersebut.
Raden
Said berusaha menangkap perampok itu namun pemimpin perampok itu
berhasil melarikan diri. Mendadak terdenganr suara kentongan dipukul
bertalu-talu, penduduk dari kampung lain berdatangan ke tempat itu. Pada
saat itulah si gadis yang baru diperkosa perampok tadi menangkap
erat-erat tangan Raden Said. Raden Said jadi panik dan kebingungan. Para
pemuda dari kampung lain menerobos masuk dengan senjata terhunus. Raden
Said ditangkap dan dibawa ke rumah kepala desa.
Kepala
desa yang merasa penasaran mencoba membuka topeng di wajah Raden Said.
Begitu mengetahui siapa orang dibalik topeng itu sang kepada desa
menjadi terbungkam. Sama sekali tak disangkanya bahwa perampok itu
adalah putera junjungannya sendiri yaitu Raden Said. Gegerlah masyarakat
pada saat itu, Raden Said dianggap perampok dan pemerkosa. Si gadis
yang diperkosa adalah bukti dan saksi hidup atas kejadian itu.
Sang
kepala desa masih berusaha menutup aib junjungannya. Diam-diam ia
membawa Raden Said ke istana kadipaten tuban tanpa sepengetahuan orang.
Tentu saja sang adipati jadi murka. Raden Said di usir dari wilayah kadipaten tuban.
Pergi
dari kadipaten tuban ini! Kau telah mencoreng nama baik keluargamu
sendiri, pergi! Jangan kembali sebelum kau dapat menggetarkan
dinding-dinding istana kadipaten tuban ini dengan ayat-ayat Al-Qur’an
yang sering kau baca di malam hari.
Sang
adipati Wilatikta juga sangat terpukul atas kejadian itu. Raden Said
yang diharapkan dapat menggantikan kedudukannya ternyata telah menutup
kemungkinan ke arah itu, sirna sudah segala harapan sang adipati.
Hanya
ada satu orang yang dapat mempercayai perbuatan Raden Said, yaitu Dewi
Rasawulan, adik Raden Said itu berjiwa luhur dan sangat tidak mungkin
melakukan perbuatan keji. Dewi Rasawulan yang sangat menyayangi kakaknya
itu merasa kasihan tanpa sepengetahuan ayah dan ibunya dia meninggalkan
istana kadipaten tuban untuk mencari Raden Said untuk diajak pulang.
Komentar