Dalam percakapan sehari-hari berkaitan 
dengan dialog agama-agama, kita perlu mendengar ada penekanan perlunya 
“menghindari” diskusi-diskusi teologis dalam membicarakan agama lain. 
Perbincangan teologis di pandang hanya akan “membuang energi” dan 
memunculkan sikap apologetic, “jalan keluar” yang diberikan 
dalam mengatasi lingkaran buntu dialog teologis itu biasanya dengan 
membicarakan atau memasukkan agenda kerjasama sosial agama-agama, 
sebagai pengabdian agama-agama atas keprihatinan bersama.
Dalam suatu wawancara Dr. Th Sumartana 
seorang pendeta Kristen Protestan yang sangat meminati hubungan 
agama-agama dan dialog antar iman ia menekankan bahwa, tantangan 
kemanusiaan sekarang ini bukan lagi muncul dari semacam beauty contest
 dari dokrin-doktrin normative. Sebab yang diperlukan adalah respon 
kemanusiaan yang relevan dengan tantangan-tantangan yang ada. Survival 
agama-agama itu, sebenarnya tidak terletak pada upaya keras menjaga 
kemurnian dokrin-dokrin keagamaan tapi justru pada kemampuannya menjawab
 masalah-masalah kemanusiaan. “itu sebabnya” kata Sumartana “dialog agama-agama yang sungguh-sungguh harus punya visi dan etka.
Kesadaran baru ini jelas memiliki 
relevansi yang sangat aktual apalagi Indonesia sebagai bangsa yang 
mempunyai banyak masalah akibat distorsi dan efek dari pelaksanaan ideologi developmentalisme.
 Ini sangat menyiratkan perlunya suatu pencarian titik temu agama-agama 
pada tingkat etis. Pertemuan pada tingkat teologi apalagi metafisik 
dianggap banyak kalangan agamawan sebagai “usaha yang sia-sia”. Tapi apa
 memang begitu?
Jika ada yang bertanya mengapa harus ada 
titik temu? Apalagi titik temu teologis dan metafisik? Jawabannya karena
 kita semakin dihadapkan pada suatu masa yang sering disebut para ahli, 
sebagai “zaman pascamodern” dimana pluralitas telah menjadi 
kenyataan yang tidak bisa ditolak. Setiap agama akan bertemu dengan 
agama-agama yang lain, sehingga ia harus mendefinisikan bahkan secara 
teologis dan metafisik bagaimana hubungan dirinya dengan agama lain. 
Sekaligus mendefinisikan ulang masalah keabsahan agama lain, yang tidak 
lagi bisa secara naïf diberi lagel dengan “kafir”. Mengalami 
penyelewengan “tidak lebih sempurna” “lebih rendah” dan sebagainya 
seperti selama ini dilakukan.
“you can’t say that one is better than another” kata Paul Knitter dalam kutikan buku yang sudah disebut No other Name?(h.23) “All
 religions are relative-that is limited, partial, incomplete, one way of
 looking at thing, to hold that any religion is intrinsically better 
than another is felt t be somehow urong, offensive, narrowminded..” klaim
 kebenaran bahwa agama sendirilah yang paling benar atau lebih tinggi 
kebenarannya akan mendapat tantangan yang besar saat ini, dan akan 
dianggap sebagai bagian dari sikap masa lalu, ketika agama-agama berada 
dalam ketidakdewasaannya menghadapi dan mengerti hakikat agama-agama lain.
Klaim Teologis
Karena itu tidak heran jika Harold Coward dalam buku pluralism” tantangan bagi agama-agama mengatakan
 “pluralisme kegamaan merupakan tantangan khusus yang dihadapi 
agama-agama dewasa ini..” tentu saja apa yang dimaksudkannya dengan 
“tantangan” disini adalah perlunya keberanian melakukan definisi ulang 
atas keberadaan dan kebenaran agama lain.
Dalam soal ini menarik memperhatikan Olaf Schumann tentang nabi Ibrahim seperti tertulis dalam bukunya Pemikiran Keagamaan Islam Tantangan (1992)
 yang oleh semua agama monoteis Yahudi-Kristen-Islam disebut sebagai 
“bapak orang yang beriman”. Tapi ironisnya, kata Schumann, serentak 
dengan itu mereka kaum beriman dari salah satu agama tersebut menolak 
tuntunan para penganut iman yang lama dari agama sebelumnya, yang 
menganggap dirinya sebagai pewaris yang sah dari iman Ibrahim juga. 
Karena agama yang aama tidak membuka iman mereka terhadap tindakan Allah
 yang baru, mereka kehilangan bagian dalam perjanjian yang pernah 
disampaikan Allah kepada Ibrahim. Itulah klaimnya.
Begitulah misalnya kata Schumann, jika 
agama Yahudi dianggap dirinya sebagai pewaris sah Ibrahim, karena mereka
 adalah keturunan langsung dari Ibrahim ini, maka agama Kristen, dengan 
juga menarik garis pattriakh dari Ibrahim, hendak menghapus 
keabsahan tafsir Yahudi atas model iman Ibrahim yang “biologis” dan 
“nasionalistik” itu dengan menggantikannya dalam bentuk iman pada 
kehadiran Yesus sebagai juru selamat. Tafsir atas iman pada “kehadiran 
Tuhan” inilah yang selanjutnya menjadi ukuran iman Kristen, sekaligus 
dasar penilaian atas agama atau teologi dari agama-agama lain, tentu 
saja dari sudut pandang Kristen.
Hal yang sama terjadi juga dalam Islam, sambil menarik garis tegas bahwa Islam adalah agama dari millah Ibrahim dikatakan bahwa “Ibrahim” bukanlah seorang Yahudi atau Kristen, tapi seorang hanif dan
 pasrah kepada Allah (muslim)ia tidak termasuk orang-orang yang member 
sekutu kepada Allah (Qs. Almaidah:67). Keberagamaan “yang pasrah” (Islam
 secara genetik) pun menjadi dasar dari iman Islam, dan menjadi ukuran 
universal atau pandangan agama-agama lain secara Islam par exellece, 
agama Islam itu sendiri.
Yang bisa ditarik dari refleksi ini kata 
Schumann telah menjadi suatu bentuk penafsiran yang disatu segi 
mempunyai “titik pertemuan” yaitu sama-sama mengklaim maka kita bisa 
katakan ini adalah truth claim sebagai pewaris sah iman 
Ibrahim, dan iman Ibrahim adalah tipe ideal dari bentuk keberagamaan 
semitik: Yahudi, Kristen dan Islam. Tapi di sisi lain, atas dasar bentuk
 imannya yang spesifik berdasarkan sejarahnya yang khas, setiap agama 
dari tiga agama itu mengklaim dirinyalah yang paling otentik dalam mewarisi bentuk iman Ibrahim itu.
Dengan begitu sekaligus mereka saling 
menganggap tidak sahnya atau paling tidak kurang sempurnanya penafsiran 
atas iman Ibrahim dari agama-agama sebelum mereka. Tapi yang “lebih 
ironis” dan “mengerikan” adalah ketika mereka menganggap telah ada 
penyelewengan dalam perumusan dogmatika agama lain tersebut.
Akibatnya, soal ini menjadi soal yang 
berbelit-belit, dan secara teologis sampai sekarang belum ditemukan 
jalan keluarnya karena “paradigma” dan bentuk-bentuk religious language dari
 struktur logis agama masing-masing itu memang pada dasarnya berbeda. 
Sementara itu sejarah juga telah membuat persoalan menjadi semakin 
kompleks, akibat hubungan sosial-politik yang penuh dengan konflik dan 
prasangka.
Kesimpulannya dalam kebuntuan 
dialog-dialog teologis menjadi sangat relevan dan bisa member motivasi 
baru dalam memecahkan sikap fanatisme bahwa agama sendirilah yang paling
 berhak atas keselamatan Tuhan. Inilah yang menjadi tantangan pemikiran 
pluralism kegamaan dewasa ini seperti dikatakan oleh Harold Coward 
sebagaimana yang telah penulis uraikan diatas. Ini sekaligus menjadi 
tantangan dan diperlukan pemecahan bersama, sekaligus perlunya titik 
temu dan dialog terbuka antar pemuka agama agar tidak terjadi 
serangkaian konflik dan kekerasan yang bisa menimbulkan perpecahan antar
 umat beragama.
Hal ini bisa dikatakan bahwa setiap agama
 hendaknya memeriksa kembali pendirianya masing-masing, semakin 
disadari  dan dirasa perlu, khususnya agar agama itu bersifat terbuka. 
Semakin diakuli perlunya “ruang dialogis” bebas kekuasaan” meminjam 
istilah Jurgen Habermas antara agama dan kehidupan. Sikap psikologis dan
 epistemologis serta teologis untuk “terus mencari kebenaran” tampaknya 
mencukupi untuk semua dialog antar agama yang saling memahmai.
Apalagi batas-batas dialog antar agama 
ternyata terletak pada “tembok-tembok teologis” yang ada dalam 
masing-masing agama. Itu sebabnya dialog antar agama pada akhirnya akan 
kembali lagi pada soal-soal yang lebih telogis dan kemudian masuk ke 
tingkat metafisik yang lebih “tabu” dibicarakan, karena lebih rumit, 
menuntut penerimaan pandangan yang lebih liberal sekaligus lebih 
controversial. Tapi ini tidak perlu membuat kita khawatir menyangkut 
kebenaran agama kita sendiri, karena kita tahu hakikat dari makna 
terdalam agama itu adalah “ketundukan” atau “ikatan” seperti asal kata 
agama itu sendiri: religere maksudnya “ketundukan/keterikatan pada Yang Absolut”.

Komentar