Langsung ke konten utama

Sufi Pluralis Teolog Toleran

Pluralisme agama selamanya tidak akan memperoleh kata sepakat. Ada yang begitu semangat membela dan mengusung konsep tersebut. Ada pula yang sama sekali menolak konsep itu, karena bertentangan dengan pemahaman mereka terhadap Islam. Di samping juga ada yang menerima konsep itu namun dengan batasan-batasan yang menurut mereka bisa ditolerir. Perbedaan tersebut dikarenakan perbedaan persepsi dan penafsiran terhadap ajaran Islam.
Terlepas dari berbagai perbedaan tersebut, pluralisme biasanya dikategorikan ke dalam kajian teologi modern. Secara historis tidak bisa dipungkiri bahwa munculnya pluralisme agama memang berasal dari disiplin ilmu teologi. Mengenai hal itu, perlu diperhatikan bahwa konsep teologi dan fakta historisnya justru bertentangan dengan ide pluralisme yang mengandung toleransi tingkat tinggi. Dalam bentangan sejarah teologi manapun, utamanya Islam, perpecahan dan perbedaan selalu mengemuka dan mencuat. Perbedaan tersebut, khusus dalam teologi Islam, menjadikan mereka gencar melakukan pelabelan terhadap kelompok lain. Teolog Mu’tazilah, Hanabilah, dan Ahl Al-Sunnah tidak pernah akur dan saling mengecam. Qadariyah dan Jabariyah tidak pernah sepakat dalam persoalan perilaku makhluk. Tidak heran jika al-Ghazali mengecam mereka yang suka mengkafirkan kelompok lain dan menyebut mereka sebagai kelompok yang meng-kapling surga. Al-Ghazali menyatakan, sebagaimana dikutip oleh Ibrahim al-Baijuri dalam Kifayat al-‘Awam:
“أسرفت طائفة فكفروا عوام المسلمين وزعموا أن من لم يعرف العقائد بالأدلة التي حرروها فهو كافر. فضيقوا رحمة الله الواسعة وجعلوا الجنة مختصة بطائفة يسيرة من المتكلمين”.
Satu aliran teologi telah bertindak melampaui batas. Aliran ini mengkafirkan kebanyakan muslim. Sebab dalam pandangannya, siapa yang tidak mengetahui akidah (yang berjumlah 50) beserta dalīl-dalīl yang ditetapkan oleh mereka diklaim sebagai orang kāfir. Aliran semacam ini mempersempit raḥmat Allah yang sangat luas dan mengklaim surga hanyalah milik segelintir kelompok teolog saja.
Pandangan teolog yang “demikian sempit” bisa dimaklumi, sebab mereka hanya memahami agama dalam tataran syari’at saja. Mereka tidak sepenuhnya, untuk tidak mengatakan tidak sama sekali, memahami hakikat sebuah agama. Berbeda dengan kelompok sufi yang melihat agama dari sisi hakikatnya, sehingga mereka lebih toleran dan menghargai perbedaan pendapat maupun perbedaan agama. Ali Harb, dalam Naqd al-Haqiqat, juga mempertegas bahwa perspektif sufisme tampak jauh sekali lebih terbuka (inklusif) dibandingkan dengan perspektif filsafat, apalagi perspektif fiqih, dalam menghargai orang lain.
Ahmad Amin juga sepakat dengan statement “perspektif sufisme lebih inklusif dibanding perspektif lain”. Ia mengatakan bahwa sufisme bukanlah sebuah aliran, sehingga seorang sufi bisa lintas aliran bahkan lintas agama. Sufi bisa dari kalangan Syi’ah, Sunni, Mu’tazilah atau dari kalangan Kristen, Yahudi dan sebagainya. Hal ini, dalam analisa Amin, disebabkan para sufi secara keseluruhan (walaupun kebanyakan mereka tidak mengungkapkannya baik secara lisan maupun tulisan) meyakini konsep wahdat al-wujud, yakni sebuah paham kesatuan wujud (Allah swt) dan semua makhluk adalah replika dari Allah swt.
Seyyed Hossein Nasr lebih detail dalam menjelaskan inklusifitas sufisme. Nasr membuat sebuah teori yang dikenal dengan teori roda sepeda; yang terdiri dari pinggiran roda atau ban, jari-jari, dan as(pusat). Pinggiran roda mencerminkan tataran syariat, jari-jari mencerminkan thariqat, dan as adalah hakikat. Nasr menyimpulkan bahwa seseorang yang semakin jauh dari titik pusat, dipastikan ia semakin renggang, rentan konflik dan eksklusif. Sebaliknya, semakin ia dekat terhadap pusat, pasti ia semakin menyatu dan lebih inklusif.
Dari penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa secara historis mungkin benar bila dikatakan pluralisme merupakan turunan dari teologi. Akan tetapi secara konseptual, saya lebih setuju bahwa pluralisme agama adalah turunan dari disiplin ilmu tasawuf. Sehingga, dalam hemat saya, seseorang tidak boleh mengaku dirinya seorang pluralis bila ia belum menjadi seorang sufi. Sebab hanya sufi-lah yang benar-benar pluralis. Sementara teolog, faqih, atau yang lain hanya bisa mendapat predikat seorang toleran, bukan seorang pluralis. Hal ini bila pluralisme dimaknai sebagai “paham yang mengatakan bahwa semua agama benar, sebab agama-agama tersebut hanya berbeda nama dan bentuk saja, sementara tujuannya sama”.
 Definisi semacam ini sama persis dengan pernyatan Sufi pelopor pluralisme, Al-Hallaj (244 – 309 H):
Hai anakku, agama itu milik Allah, Dia telah menetapkan agama bagi setiap kelompok dan mereka tidak memiliki kemampuan untuk memilihnya, bahkan telah dipilihkan untuknya. Karena itu, barang siapa menyalahkan apa yang dianut oleh golongan itu, berarti dia telah menghukumi golongan tersebut menganut agama atas upayanya sendiri. Ketahuilah! Agama-agama Yahudi, Nashrani, Islam, dan sebagainya adalah julukan yang berbeda-beda dan nama yang berubah-ubah, padahal tujuannya tidak berbeda maupun beraneka”.
Al-Hallaj dalam syairnya juga menyatakan bahwa Agama adalah satu akar yang memiliki banyak cabang. Pernyataan al-Hallaj yang terakhir ini kemudian diadopsi oleh Mahatma Ghandi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tembang Macapat Pangkur dan Maknanya

Tembang macapat pangkur banyak digunakan pada tembang-tembang yang bernuansa Pitutur (nasihat), pertemanan, dan cinta. Baik rasa cinta kepada anak, pendamping hidup, Tuhan dan alam semesta. Banyak yang memaknai tembang macapat pangkur sebagai salah satu tembang yang berbicara tentang seseorang yang telah menginjak usia senja, dimana orang tersebut mulai mungkur atau mengundurkan diri dari hal-hal keduniawian. Oleh karena itu sangat banyak tembang-tembang macapat pangkur yang berisi nasihat-nasihat pada generasi muda. (baca juga : Macapat Pangkur, Meninggalkan Urusan Duniawi) Salah satu contoh tembang macapat pangkur yang populer di masyarakat adalah karya KGPAA Mangkunegoro IV yang tertuang dalam Serat Wedatama, pupuh I, yakni : Mingkar-mingkuring ukara (Membolak-balikkan kata) Akarana karenan mardi siwi (Karena hendak mendidik anak) Sinawung resmining kidung (Tersirat dalam indahnya tembang) Sinuba sinukarta (Dihias penuh warna ) Mrih kretarta pakartining ilmu luhun

Bedanya Skripsi, Tesis, Disertasi, Karya Ilmiah , Makalah, Dan Paper

Karya ilmiah merupakan hasil paduan berpikir ilmiah melalui penelitian. Karya ilmiah disusun secara sistematis berdasarkan kaidah berpikir ilmiah, yang karena itu, sangat sulit dihasilkan oleh mereka yang tidak mempelajari dan memahami aturan dan prosedur keilmiahan. Karya ilmiah bertumpu pada berpikir ilmiah, yaitu: berpikir deduktif dan induktif. Adapun karya ilmiah dapat dipilah menjadi:  1. Makalah Lazimnya, makalah dibuat melalui kedua cara berpikir tersebut. Tetapi, tidak menjadi soal manakala disajikan berbasis berpikir deduktif (saja) atau induktif (saja). Yang penting, tidak berdasar opini belaka. Makalah, dalam tradisi akademik, adalah karya ilmuwan atau mahasiswa yang sifatnya paling ‘soft’ dari jenis karya ilmiah lainnya. Sekalipun, bobot akademik atau bahasan keilmuannya, adakalanya lebih tinggi. Misalnya, makalah yang dibuat oleh ilmuwan dibanding skripsi mahasiswa. Makalah mahasiswa lebih kepada memenuhi tugas-tugas pekuliahan. Karena itu, aturannya ti

HAKIKAT SHOLAT MENURUT SYEKH SITI JENAR

http://www.javalaw-bmg.blogspot.com Peliharalah shalatmu dan shalat wustha. Berdirilah untuk Allah (dalam shalat) yang khusyuk (QS Al. Baqarah / 2:238). Ini adalah penegasan dari Allah tentang kewajiban dan keharusan memelihara shalat, baik segi dzahir maupun batin dengan titik tekan khusyuk, kondisi batin yang mantap. Secara lahir, shalat dilakukan dengan berdiri, membaca Al-Fatihah , sujud, duduk dsb. Kesemuanya melibatkan keseluruhan anggota badan. Inilah shalat jasmani dan fisikal. Karena semua gerakan badan berlaku dalam semua shalat, maka dalam ayat tersebut disebut shalawaati (segala shalat) yang berarti jamak. Dan ini menjadi bagian pertama, yakni bagian lahiriah. Bagian kedua adalah tentang shalat wustha, yaitu yang secara sufistik adalah shalat hati. Wustha dapat diartikan pertengahan atau tengah-tengah. Karena hati terletak di tengah, yakni di tengah diri, maka dikatakan shalat wustha sebagai shalat hati. Tujuan shalat ini adalah untuk mendapatkan kedamaian dan