Esotersime yang secara intrinsik
memang sudah dengan sendirinya bersifat universal dan karenanya sangat
terbuka meniscayakan pluralitas eksistensi agama. Pluralitas eksistensi
agama, yang kita sebut kemudian sebagai eksoterisme agama karenanya
tidaklah serta merta dianggap sebagai suatu kesesatan yang terkutuk,
melainkan sebagiannya merupakan keharusan penjelmaan historis dari
esensi agama yang bersifat esoterik.
Kebenaran abadi yang universal akan
selalu ditemukan pada setiap agama, walaupun bungkusnya yang
berbeda-beda. Karena perbedaan bungkus inilah maka kesulitan,
kesalahpahaman dan perselisihan antar pemeluk agama seringkali muncul ke
permukaan.
Pada tahap ini, agama muncul dengan ragam
wajah dan ragam bahasa sementara kita cenderung melihat perbedaannya
ketimbang persamaannya. Namun, kecenderungan melihat perbedaan itu pun
tidak perlu disalahkan karena setiap orang beriman senantiasa ingin
mencari, menggenggam dan membela kebenaran
yang diyakininya berdasarkan pengetahuan dan tradisi yang dimilikinya.
Dan sikap demikian tentu saja sikap yang terpuji, selama tidak
menimbulkan situasi sosial yang destruktif.
Demikianlah, kecenderungan ekslusivisme
itu memang sesuatu yang secara intrinsik dimiliki pada tahap
keberagamaan eksoterisme, dan secara psikologis seseorang akan lebih
mudah memberikan afirmasi terhadap kebenaran agama yang dianutnya antara
lain dengan cara menegasikan atau menyalahkan keberagamaan orang lain.
Artinya, terdapat pribadi yang hanya dengan jalan menyalahkan iman orang
lain maka ia baru merasa lega dan semakin yakin akan kebenaran iman
yang dipeluknya.
Secara empiris adalah suatu kemustahilan
jika kita mengidealisasikan munculnya kebenaran tunggal yang tampil
dengan format dan bungkus tunggal, lalu ditangkap oleh manusia dengan
pemahaman serta keyakinan yang seragam dan tunggal pula. Oleh karenanya,
pertanyaan yang perlu kita jawab antara lain adalah adakah pluralitas
agama dan keberagamaan itu merupakan kenyataan alami yang memperkaya
dunia manusia, ataukah sesuatu yang harus dikutuk dan dibasmi? Lebih
dari itu, standard dan kriteria apakah yang dipakai untuk mengukur
terjadinya sebuah deviasi dalam beragama sehingga sebuah pemahaman dan
praktek keberagaan secara valid bisa dinyatakan sesat?
Dalam hal ini tentu saja tidak mudah
untuk mendapatkan jawaban yang bersifat umum atau universal, karena
setiap agama dan kelompok umat beragama memiliki keyakinan yang
berbeda-beda. Namun begitu setidaknya kita akan sependapat bahwa selama
perbedaan agama merupakan pilihan pribadi dan tidak mendatangan gangguan
sosial, maka kita seyogyanya bersikap toleran.
Hanya saja jika pandangan dan perilaku
keagamaan seseorang atau kelompok sudah menjurus pada tindakan provokasi
anti-sosial, maka akses-akses itu tidak bisa ditolerir. Istilah
“bersikap toleran” di sini hendaknya jangan diartikan sebagai bersikap
masa bodoh dan tidak perlu mendakwahkan ajaran kebenaran yang diyakini.
Setiap orang yang beriman senantiasa
terpanggil untuk menyampaikan kebenaran yang diketahui dan diyakininya,
tetapi harus berpegang teguh pada etika dan tata-krama sosial serta
tetap menghargai hak-hak individu untuk menentukan pilihan hidupnya
masing-masing secara sukarela, sebab pada hakikatnya hanya ditangan
Tuhanlah pengadilan atau penilaian sejati akan dilaksanakan.
Melihat kenyataan sejarah, tantangan yang
selalu dihadapi agama-agama sejak dulu hingga kini dan mendatang antara
lain bagaimana merumuskan langkah konstruktif yang bersifat operasional
untuk mendamaikan berbagai eksoterisme (keagamaan) yang ada
dan cederung mendatangkan pertikaian antar manusia dengan
mengatasnamakan kebenaran Tuhan. Usaha ini tidak hanya diarahkan pada
hubungan antar pemeluk agama-agama secara eksternal, melainkan terlebih
dahulu diarahkan pada hubungan intra-umat beragama.
Seseorang akan sulit bersikap toleran
terhadap agama lain jika terhadap sesama pemeluk satu agama saja sulit
untuk menghargai perbedaan paham yang muncul. Konflik intern sesama umat
seagama ini mudah dijumpai dalam berbagai pemeluk agama besar dunia
seperti halnya juga dijumpai pada hubungan antara pemeluk agama yang
berbeda. Biasanya konflik tersebut semakin tidak jelas manakala
kepentingan agama sudah berbaur dengan kepentingan etnis, politis dan
ekonomis.
Komentar