Langsung ke konten utama

Esoterisme Beragama

Esotersime yang secara intrinsik memang sudah dengan sendirinya bersifat universal dan karenanya sangat terbuka meniscayakan pluralitas eksistensi agama. Pluralitas eksistensi agama, yang kita sebut kemudian sebagai eksoterisme agama karenanya tidaklah serta merta dianggap sebagai suatu kesesatan yang terkutuk, melainkan sebagiannya merupakan keharusan penjelmaan historis dari esensi agama yang bersifat esoterik.
Kebenaran abadi yang universal akan selalu ditemukan pada setiap agama, walaupun bungkusnya yang berbeda-beda. Karena perbedaan bungkus inilah maka kesulitan, kesalahpahaman dan perselisihan antar pemeluk agama seringkali muncul ke permukaan.
Pada tahap ini, agama muncul dengan ragam wajah dan ragam bahasa sementara kita cenderung melihat perbedaannya ketimbang persamaannya. Namun, kecenderungan melihat perbedaan itu pun tidak perlu disalahkan karena setiap orang beriman senantiasa ingin mencari, menggenggam dan membela kebenaran yang diyakininya berdasarkan pengetahuan dan tradisi yang dimilikinya. Dan sikap demikian tentu saja sikap yang terpuji, selama tidak menimbulkan situasi sosial yang destruktif.
Demikianlah, kecenderungan ekslusivisme itu memang sesuatu yang secara intrinsik dimiliki pada tahap keberagamaan eksoterisme, dan secara psikologis seseorang akan lebih mudah memberikan afirmasi terhadap kebenaran agama yang dianutnya antara lain dengan cara menegasikan atau menyalahkan keberagamaan orang lain. Artinya, terdapat pribadi yang hanya dengan jalan menyalahkan iman orang lain maka ia baru merasa lega dan semakin yakin akan kebenaran iman yang dipeluknya.
Secara empiris adalah suatu kemustahilan jika kita mengidealisasikan munculnya kebenaran tunggal yang tampil dengan format dan bungkus tunggal, lalu ditangkap oleh manusia dengan pemahaman serta keyakinan yang seragam dan tunggal pula. Oleh karenanya, pertanyaan yang perlu kita jawab antara lain adalah adakah pluralitas agama dan keberagamaan itu merupakan kenyataan alami yang memperkaya dunia manusia, ataukah sesuatu yang harus dikutuk dan dibasmi? Lebih dari itu, standard dan kriteria apakah yang dipakai untuk mengukur terjadinya sebuah deviasi dalam beragama sehingga sebuah pemahaman dan praktek keberagaan secara valid bisa dinyatakan sesat?
Dalam hal ini tentu saja tidak mudah untuk mendapatkan jawaban yang bersifat umum atau universal, karena setiap agama dan kelompok umat beragama memiliki keyakinan yang berbeda-beda. Namun begitu setidaknya kita akan sependapat bahwa selama perbedaan agama merupakan pilihan pribadi dan tidak mendatangan gangguan sosial, maka kita seyogyanya bersikap toleran.
Hanya saja jika pandangan dan perilaku keagamaan seseorang atau kelompok sudah menjurus pada tindakan provokasi anti-sosial, maka akses-akses itu tidak bisa ditolerir. Istilah “bersikap toleran” di sini hendaknya jangan diartikan sebagai bersikap masa bodoh dan tidak perlu mendakwahkan ajaran kebenaran yang diyakini.
Setiap orang yang beriman senantiasa terpanggil untuk menyampaikan kebenaran yang diketahui dan diyakininya, tetapi harus berpegang teguh pada etika dan tata-krama sosial serta tetap menghargai hak-hak individu untuk menentukan pilihan hidupnya masing-masing secara sukarela, sebab pada hakikatnya hanya ditangan Tuhanlah pengadilan atau penilaian sejati akan dilaksanakan.
Melihat kenyataan sejarah, tantangan yang selalu dihadapi agama-agama sejak dulu hingga kini dan mendatang antara lain bagaimana merumuskan langkah konstruktif yang bersifat operasional untuk mendamaikan berbagai eksoterisme (keagamaan) yang ada dan cederung mendatangkan pertikaian antar manusia dengan mengatasnamakan kebenaran Tuhan.  Usaha ini tidak hanya diarahkan pada hubungan antar pemeluk agama-agama secara eksternal, melainkan terlebih dahulu diarahkan pada hubungan intra-umat beragama.
Seseorang akan sulit bersikap toleran terhadap agama lain jika terhadap sesama pemeluk satu agama saja sulit untuk menghargai perbedaan paham yang muncul. Konflik intern sesama umat seagama ini mudah dijumpai dalam berbagai pemeluk agama besar dunia seperti halnya juga dijumpai pada hubungan antara pemeluk agama yang berbeda. Biasanya konflik tersebut semakin tidak jelas manakala kepentingan agama sudah berbaur dengan kepentingan etnis, politis dan ekonomis.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tembang Macapat Pangkur dan Maknanya

Tembang macapat pangkur banyak digunakan pada tembang-tembang yang bernuansa Pitutur (nasihat), pertemanan, dan cinta. Baik rasa cinta kepada anak, pendamping hidup, Tuhan dan alam semesta. Banyak yang memaknai tembang macapat pangkur sebagai salah satu tembang yang berbicara tentang seseorang yang telah menginjak usia senja, dimana orang tersebut mulai mungkur atau mengundurkan diri dari hal-hal keduniawian. Oleh karena itu sangat banyak tembang-tembang macapat pangkur yang berisi nasihat-nasihat pada generasi muda. (baca juga : Macapat Pangkur, Meninggalkan Urusan Duniawi) Salah satu contoh tembang macapat pangkur yang populer di masyarakat adalah karya KGPAA Mangkunegoro IV yang tertuang dalam Serat Wedatama, pupuh I, yakni : Mingkar-mingkuring ukara (Membolak-balikkan kata) Akarana karenan mardi siwi (Karena hendak mendidik anak) Sinawung resmining kidung (Tersirat dalam indahnya tembang) Sinuba sinukarta (Dihias penuh warna ) Mrih kretarta pakartining ilmu luhun

Bedanya Skripsi, Tesis, Disertasi, Karya Ilmiah , Makalah, Dan Paper

Karya ilmiah merupakan hasil paduan berpikir ilmiah melalui penelitian. Karya ilmiah disusun secara sistematis berdasarkan kaidah berpikir ilmiah, yang karena itu, sangat sulit dihasilkan oleh mereka yang tidak mempelajari dan memahami aturan dan prosedur keilmiahan. Karya ilmiah bertumpu pada berpikir ilmiah, yaitu: berpikir deduktif dan induktif. Adapun karya ilmiah dapat dipilah menjadi:  1. Makalah Lazimnya, makalah dibuat melalui kedua cara berpikir tersebut. Tetapi, tidak menjadi soal manakala disajikan berbasis berpikir deduktif (saja) atau induktif (saja). Yang penting, tidak berdasar opini belaka. Makalah, dalam tradisi akademik, adalah karya ilmuwan atau mahasiswa yang sifatnya paling ‘soft’ dari jenis karya ilmiah lainnya. Sekalipun, bobot akademik atau bahasan keilmuannya, adakalanya lebih tinggi. Misalnya, makalah yang dibuat oleh ilmuwan dibanding skripsi mahasiswa. Makalah mahasiswa lebih kepada memenuhi tugas-tugas pekuliahan. Karena itu, aturannya ti

HAKIKAT SHOLAT MENURUT SYEKH SITI JENAR

http://www.javalaw-bmg.blogspot.com Peliharalah shalatmu dan shalat wustha. Berdirilah untuk Allah (dalam shalat) yang khusyuk (QS Al. Baqarah / 2:238). Ini adalah penegasan dari Allah tentang kewajiban dan keharusan memelihara shalat, baik segi dzahir maupun batin dengan titik tekan khusyuk, kondisi batin yang mantap. Secara lahir, shalat dilakukan dengan berdiri, membaca Al-Fatihah , sujud, duduk dsb. Kesemuanya melibatkan keseluruhan anggota badan. Inilah shalat jasmani dan fisikal. Karena semua gerakan badan berlaku dalam semua shalat, maka dalam ayat tersebut disebut shalawaati (segala shalat) yang berarti jamak. Dan ini menjadi bagian pertama, yakni bagian lahiriah. Bagian kedua adalah tentang shalat wustha, yaitu yang secara sufistik adalah shalat hati. Wustha dapat diartikan pertengahan atau tengah-tengah. Karena hati terletak di tengah, yakni di tengah diri, maka dikatakan shalat wustha sebagai shalat hati. Tujuan shalat ini adalah untuk mendapatkan kedamaian dan