Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2015

RADIKALISME DAN DOKTRIN AGAMA

Masih teringat jelas beberapa kejadian kekerasan yang terjadi di negeri kita, beberapa bulan yang lalu, seperti kasus penyerangan warga masyarakat Solo oleh sekelompok orang tertentu, bahkan yang terakhir adalah pembubaran diskusi ilmiah Irsyad Manji di Jakarta, sungguh tragis bila kita membaca berita-berita tersebut. Beberapa kejadian tersebut patut kita pertanyakan kembali, kita hidup di Negara pancasila, yang menjunjung tinggi nilai Bhineka Tunggal Ika, memiliki kebudayaan, suku dan agama yang berbeda-beda. Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah layakkah kita disebut sebagai Negara pancasila yang mengakui kebebasan setiap warganya? Kita semua tahu bahwa aksi kekerasan jauh lebih menakutkan, lebih mengerikan lagi adalah ideologi radikal yang diakui oleh sebagian kelompok tertentu terhadap suatu kebenaran yang obsolute bernama agama. Bahkan para pelaku teror tanpa segan-segan menyebut agama melegitimasi  tindakan kekerasan yang mereka lakukan. Para pelaku memili

Esoterisme Beragama

Esotersime yang secara intrinsik memang sudah dengan sendirinya bersifat universal dan karenanya sangat terbuka meniscayakan pluralitas eksistensi agama. Pluralitas eksistensi agama, yang kita sebut kemudian sebagai eksoterisme agama karenanya tidaklah serta merta dianggap sebagai suatu kesesatan yang terkutuk, melainkan sebagiannya merupakan keharusan penjelmaan historis dari esensi agama yang bersifat esoterik. Kebenaran abadi yang universal akan selalu ditemukan pada setiap agama, walaupun bungkusnya yang berbeda-beda. Karena perbedaan bungkus inilah maka kesulitan, kesalahpahaman dan perselisihan antar pemeluk agama seringkali muncul ke permukaan. Pada tahap ini, agama muncul dengan ragam wajah dan ragam bahasa sementara kita cenderung melihat perbedaannya ketimbang persamaannya. Namun, kecenderungan melihat perbedaan itu pun tidak perlu disalahkan karena setiap orang beriman senantiasa ingin mencari, menggenggam dan membela kebenaran yang diyakininya berdasar

Memahami Subtansi Demi Toleransi Beragama

Keberagamaan yang hanya mengandalkan bentuk tidak menjadi satu-satunya sarana penyelamat. Ia masih diterima kebenarannya sebatas merupakan deviasi spiritual dari subtansi yang absolute. Setiap bentuk adalah terbatas dan setiap agama pada dimensi eksoteriknya adalah suatu bentuk sedangkan sifat kemutlakan yang dimilikinya hanya dalam esensi hakiki dan supraformalnya saja. Itulah sebabnya bahasa dan pelaku keberagamaan sangat kaya dengan ungkapan simbolik, metaforis, analogi dan semacamnya. Yang kesemuanya itu menuntut penyingkapan yang dalam akan makna dan pesan hakiki yang ada dibaliknya. Contoh yang amat nyata adalah jika orang ibadah haji untuk menyembah bangunan Ka’bah, maka ia telah terjatuh menjadi musyrik. Namun demikian nyatanya dalam shalat dan tawaf kita dianjurkan menundukkan kepala di hadapan ka’bah. Di sinilah kita jumpai berbagai “kesan paradoksal” dalam bahasa agama ini perlu ditegaskan karena fenomena agama yang muncul ke permukaan biasanya melupakan m

Memahami Subtansi Dan Bentuk Agama-Agama

Pembicaraan mengenai subtansi dan bentuk agama sudah dikenal sejak zaman Yunani kuno, terutama pada Plato dan dikembangkan kemudian oleh Aristoteles. Meskipun subtansi keberadaannya bersifat primer sementara bentuk adalah sekunder, namun tanpa bentuk atau suatu atribut sebuah subtansi tidak bisa dikenal. Demikian juga halanya dengan keberadaan agama. Subtansi dan misi agama akan menjadi aktual ketika agama tampil dalam bentuk yang nyata, bisa dikenali manusia dan lebih jauh lagi adalah dengan bentuk itu subtansi agama menjadi fungsional dan operasional. Apapun nama agama itu selalu menghubungkan dengan subtansinya, yaitu inti ajaran agama yang keberadaannya dibalik bentuk formalnya. Subtansi ini bersifat transenden tetapi sekaligus juga imanen . Ia transenden karena subtansi agama sulit didefinisikan dan tidak terjangkau kecuali melalui perdikatnya. Namun begitu agama juga imanen karena sesungguhnya hubungan antara predikat dan subtansi tidak mungkin terpisahkan. Kal

DIALOG ANTAR AGAMA DAN TEMBOK-TEMBOK TEOLOGIS

Dalam percakapan sehari-hari berkaitan dengan dialog agama-agama, kita perlu mendengar ada penekanan perlunya “menghindari” diskusi-diskusi teologis dalam membicarakan agama lain. Perbincangan teologis di pandang hanya akan “membuang energi” dan memunculkan sikap apologetic , “jalan keluar” yang diberikan dalam mengatasi lingkaran buntu dialog teologis itu biasanya dengan membicarakan atau memasukkan agenda kerjasama sosial agama-agama, sebagai pengabdian agama-agama atas keprihatinan bersama. Dalam suatu wawancara Dr. Th Sumartana seorang pendeta Kristen Protestan yang sangat meminati hubungan agama-agama dan dialog antar iman ia menekankan bahwa, tantangan kemanusiaan sekarang ini bukan lagi muncul dari semacam beauty contest dari dokrin-doktrin normative. Sebab yang diperlukan adalah respon kemanusiaan yang relevan dengan tantangan-tantangan yang ada. Survival agama-agama itu, sebenarnya tidak terletak pada upaya keras menjaga kemurnian dokrin-dokrin keagamaan tap

Sufi Pluralis Teolog Toleran

Pluralisme agama selamanya tidak akan memperoleh kata sepakat. Ada yang begitu semangat membela dan mengusung konsep tersebut. Ada pula yang sama sekali menolak konsep itu, karena bertentangan dengan pemahaman mereka terhadap Islam. Di samping juga ada yang menerima konsep itu namun dengan batasan-batasan yang menurut mereka bisa ditolerir. Perbedaan tersebut dikarenakan perbedaan persepsi dan penafsiran terhadap ajaran Islam. Terlepas dari berbagai perbedaan tersebut, pluralisme biasanya dikategorikan ke dalam kajian teologi modern. Secara historis tidak bisa dipungkiri bahwa munculnya pluralisme agama memang berasal dari disiplin ilmu teologi. Mengenai hal itu, perlu diperhatikan bahwa konsep teologi dan fakta historisnya justru bertentangan dengan ide pluralisme yang mengandung toleransi tingkat tinggi. Dalam bentangan sejarah teologi manapun, utamanya Islam, perpecahan dan perbedaan selalu mengemuka dan mencuat. Perbedaan tersebut, khusus dalam teologi Islam, men

STOP RADIKALISME

Persoalan terorisme kembali menjadi bahan bacaan yang hangat untuk dibicarakan dan dikaji pada saat ini. Hal ini disebabkan serangkaian aksi teror yang dilakukan oleh sekelompok orang yang biasa disebut dengan kelompok radikal. Radikalisme bukanlah menjadi hal yang baru dalam kehidupan sekarang ini, sejarah telah membuktikan sejak zaman dahulu semasa rasulullah pun sudah sering ditemukan sekolompok orang yang biasa dikatakan radikal. Tumbuhnya radikalisme ini disebabkan oleh banyak hal, salah satu faktor munculnya radikalisme adalah munculnya kekecewaan dari sebagian kelompok yang tidak terima atau merasa terdholimi terhadap sistem pemerintahan yang sudah amburadul. Faktor lain juga, misalnya keinginan untuk melakukan sebuah perubahan tetapi dengan jalur kekerasan dan tidak mengindahkan aturan atau norma-norma hukum yang berlaku, sehingga mereka melegalkan cara kekerasan ini sebagai jalan terbaik untuk melakukan perubahan. Beberapa hal tersebut diatas sebenarnya

Perjuangan Kalijaga Dalam Kesenian Dan Agama

Seperti diketahui, Walisongo di dalam menyebarkan ajaran agama Islam di tanah Jawa ini tidak begitu saja melangkah, melainkan mereka menggunakan cara-cara dan jalan (taktik dan strategi) yang diperhitungkan benar-benar, memakai pertimbangan-pertimbangan yang masak, tidak ngawur sehingga agama Islam disampaikan kepada rakyat dapat diterima dengan mudah dan penuh kesadaran, bukan karena terpaksa. Sunan Kalijaga di dalam menyebarkan ajaran Islam benar-benar memahami dan mengetahui keadaan rakyat yang masih tebal dipengaruhi kepercayaan agama Hindu Budha dan gemar menampilkan budaya-budaya Jawa yang berbau kepercayaannya itu, maka bertindaklah beliau sesuai dengan keadaan yang demikian itu, sehingga taktik dan strategi perjuangan beliau disesuaikan pula dengan keadaan, ruang dan waktu. Berhubung pada waktu itu sedikit para pemeluk agama Syiwa Budha yang fanatik terhadap ajaran agamanya, maka akan berbahaya sekali apabila dalam mengembangkan agama Islam selanjutnya tidak d

SUNAN KALIJAGA

Sunan Kalijaga itu aslinya bernama Raden Said. Putera Adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilakita. Tumenggung Wilakita seringkali disebut Raden Sahur, walau dia termasuk keturunan Ranggawale yang beragama Hindu tapi Raden Sahur sendiri sudah masuk agama Islam. Sejak kecil Raden Said sudah diperkenalkan kepada agama Islam oleh guru agama Kadipaten Tuban. Tetapi karena melihat keadaan sekitar atau lingkungan yang kontradiksi dengan kehidupan rakyat jelata maka jiwa Raden Said berontak. Gelora jiwa muda Raden Said seakan meledak-ledak manakala melihat praktek oknum pejabat kadipaten Tuban disaat menarik pajak pada penduduk atau rakyat jelata. Rakyat yang pada waktu itu sudah sangat menderita dikarenakan adanya musim kemarau panjang, semakin sengsara, mereka harus membayar pajak yang kadangkala tidak sesuai dengan ketentuan yang ada. Bahkan jauh dari kemampuan mereka. Seringkali jatah mereka untuk persediaan menghadapi musim panen berikutnya sudah disita par

Kisah Kalijaga Mencari Guru Sejati

Kemanakah Raden Said sesudah diusir dari kadipaten tuban, ternyata ia mengembara tanpa tujuan pasti. Pada akhirnya dia menetap dihutan Jatiwangi.  Selama bertahun-tahun ia menjadi perampok budiman. Mengapa disebut perampok budiman? Karena hasil rampokkannya itu tak pernah dimakannya. Seperti dahulu, selalu diberikan kepada fakir miskin. Yang dirampoknya hanya para hartawan atau orang kaya kikir, tidak menyantuni rakyat jelata. Dan tidak mau membayar zakat. Di hutan Jatiwangi dia membuang nama aslinya. Orang menyebutnya dengan Brandal Lokajaya. Pada suatu hari, ada seorang berjubah putih lewat hutan Jatiwangi. Dari jauh Brandal lokajaya sudah mengincarnya. Orang itu membawa tongkat yang gagangnya berkilauan. Terus diawasinya orang tua berjubang putih itu. Setelah dekat dia hadang langkahnya. Tanpa banyak bicara lagi direbutnya tongkat itu dari tangan lelaki berjubah putih. Karena tongkat itu dicabut dengan paksa maka orang berjubah putih itu jatuh tersungku