Secara garis besar, ada dua konsepsi tentang kelahiran ha-na-ca-ra-ka. Dua konsepsi itu masing-masing mempunyai dasar pandang yang berbeda. Konsepsi yang pertama berdasarkan pandang pada pemikiran tradisional, dari cerita mulut ke mulut sehingga disebut konsepsi secara tradisional. Konsepsi yang kedua berdasar pandang pada pemikiran ilmiah sehingga disebut konsepsi secara ilmiah.
Konsepsi secara
tradisional:
Konsepsi
secara tradisional mendasarkan pada anggapan bahwa kelahiran ha-na-ca-ra-ka
berkaitan erat dengan legenda Aji Saka. Legenda itu tersebar dari mulut ke
mulut yang kemudian didokumentasikan secara tertulis dalam bentuk cerita. Cerita
itu ada yang masih berbentuk manuskrip dan ada yang sudah dicetak. Cerita yang
masih berbentuk manuskrip, misalnya Serat Momana, Serat Aji Saka, Babad Aji
Saka dan Tahun Saka lan Aksara Jawa. Cerita yang sudah dicetak misalnya Kutipan
Serat Aji Saka dalam Punika Pepetikan saking Serat Djawi ingkang Tanpa Sekar (
Kats 1939 ) Lajang Hanatjaraka ( Dharmabrata 1949 dan Manikmaya ( Panambangan
1981 )
Dalam
manuskrip Serat Aji Saka ( Anonim ) dan kutipan Serat Aji Saka ( Kats 1939 )
misalnya diceritakan bahwa Sembada dan Dora ditinggalkan di Pulau Majeti oleh
Aji Saka untuk menjaga keris pusaka dan sejumlah perhiasan. Mereka dipesan agar
tidak menyerahkan barang-barang itu kepada orang lain, kecuali Aji Saka sendiri
yang mengambilnya. Aji Saka tiba di Medangkamulan, lalu bertahta di negeri itu.
Kemudian negari itu termasyhur sampai dimana-mana. Kabar kemasyhuran
Medangkamulan terdengar oleh Dora sehingga tanpa sepengatahuan Sembada ia pergi
ke Medangkamulan. Di hadapan Aji Saka, Dora melaporkan bahwa Sembada tidak mau
ikut, Dora lalu dititahkan untuk menjemput Sembada. Jika Sembada tidak mau,
keris dan perhiasan yang ditinggalkan agar dibawa ke Medangkamulan. Namun
Sembada bersikukuh menolak ajakan Dora dan memperhatankan barang-barang yang
diamanatkan Aji Saka.
Akibatnya,
terjadilah perkelahian antara keduanya, oleh karena seimbang kesaktiannya
meraka mati bersama. Ketika mendapatkan kematian Sembada dan Dora dari Duga dan
Prayoga yang diutus ke Majeti, Aji Saka menyadari atas kekhilafannya.
Sehubungan dengan itu, ia menciptakan sastra dua puluh yang dalam Manikmaya,
Serat Aji Saka dan Serat Momana disebut sastra sarimbangan.
Sastra Sarimbangan itu terdiri atas empat warga yang masing-masing mencakupi lima sastra, yakni :
Sastra Sarimbangan itu terdiri atas empat warga yang masing-masing mencakupi lima sastra, yakni :
1.
Ha-na-ca-ra-ka 2. Da-ta-sa-wa-la
3.
Pa-dha-ja-ya-nya 4. Ma-ga-ba-tha-nga
Sastra
Sarimbangan itu, antara lain terdapat dalam manuskrip Serat Aji Saka, pupuh
VII- Dhandhanggula bait 26 dan 27 sebagai berikut :
Dora goroh
ture werdineki Dora bohong ucapannya yakin
Sembada
temen tuhu perentah Sembada jujur patuh perintah
Sun
kabranang nepsu ture Ku emosi marah ucapannya
Cidra si
Dora iku Ingkar si Dora itu
Nulya Prabu
Jaka angganggit Lalu Prabu Jaka Menganggit
Anggit
pinurwa warna Anggit dibuat macam
Sastra kalih
puluh Sastra dua puluh
Kinarya warga
lelima Dibuat warga lelima
Wit
Ha-na-ca-ra-ka sak warganeki Dari Ha-na-ca-ra-ka itu sewarganya
Pindho
Da-ta-sa-wala Dua Da-ta-sa-wala
Yeku sawarga
ping tiganeki Yaitu sewarga ketiganya
Pa-dha-ja-ya-nya
ku suwarganya Pa-dha-ja-ya-nya sewargane
Ma-ga-ba-tha-nga
ping pate Ma-ga-ba-tha-nga keempatnya
Iku
sawarganipun itulah sewarganya
Anglelima
sawarganeki Lima-lima satu warganya
Ran sastra
sarimbangan Nama sastra sarimbangan
Iku
milanipun Itulah sebabnya
Awit ana
sastra Jawa Mulai ada hufur Jawa
Wit sinungan
sandhangan sawiji-wiji Mulai diberi harakat satu per satu
Weneh-weneh
ungelnya Macam-macam lafalnya
Teks diatas
mirip teks yang terdapat dalam Manikmaya jilid II (Panambangan 1981 : 385)
kemudian untuk memberikan kesan yang menarik lagi bagi anak-anak yang sedang
belajar aksara ha-na-ca-ra-ka, dalam Lajang Hanatkaraka jilid I dan II (
Dharmabrata, 1948:10-11 : 1949:65-66 ) dihiasi dengan gambar kisah Dora dan
Sembada. Hiasan yang menggambarkan kisah kedua tokoh itu menandai lahirnya
ha-na-ca-ra-ka.
Tidak dapat
dipungkiri bahwa legenda Aji Saka hingga beberapa generasi mengilhami dan
bahkan mengakar dalam alam pikiran masyarakat Jawa. Dikatakan oleh Suryadi (
1995 : 74-75 ) bahwa mitologi Aji Saka masih mengisi alam pikiran abstraksi
generasi muda etnik Jawa yang kini berusia tiga puluh tahun keatas. Fakta
pemikiran tersebut menjadi bagian dari kerangka refleksi ketika mereka menjawab
perihal asal-usul huruf Jawa yang berjumlah dua puluh.
Selain Aji
Saka sebagai tokoh fiktif, nama kerajaannya yakni Medangkulan masih merupakan
misteri karena secara historik sulit dibuktikan. Ketidakterikatan itu sering
menimbulkan praduga dan persepsi yang bermacam-macam. Misalnya praduga yang
muncul dari Daldjoeni ( 1984 : 147-148 ) yang kemudian diacu oleh Suryadi ( 1995
: 79 ) bahwa kerajaan Medangkamulan berlokasi di Blora, sezaman dengan kerajaan
Prabu Baka di ( sebelah selatan ) Prambanan, yakni sekitar abad IX. Berdasarkan
praduga itu, aksara Jawa ( ha-na-ca-ra-ka ) diciptakan pada sekitar abad
tersebut.
Praduga Daldjoeni
tentang lokasi Medangkamulan memang sesuai dengan keterangan dalam sebuah teks
lontar ( Brandes, 1889a : 382-383 ) bahwa Medangkamulan terletak di sebelah
timur Demak, seperti berikut :
Mangka
wonten ratu saking bumi tulen, arane Prabu Kacihawas. Punika wiwitaning ratu
tulen mangka jumeneng ing lurah Medangkamulan, sawetaning Demak, sakiduling
warung.
Demikianlah
ada raja dari tanah tulen, namanya Prabu Kacihawas. Itulah permulaan raja tulen
ketika bertahta di lembah Medangkamulan, sebelah timur Demak sebelah selatan
warung.
Akan tetapi
, penanda tahun kelahiran ha-na-ca-ra-ka diatas berbeda dengan yang terdapat
dalam Serat Momana. Dalam Serat Momana disebutkan bahwa ha-na-ca-ra-ka
diciptakan oleh Aji Saka yang bergelar Prabu Girimurti pada tahun ( saka ) 1003
( Subalidata 1994 : 3 ) atau tahun 1081 Masehi. Tahun 1003 itu dekat dengan
tahun bertahtanya Aji Saka di Medangkamulan, yakni tahun 1002 yang disebutkan
dalam The History of Java jilid II ( Raffles 1982 : 80 ) pada halaman yang sama
dalam The History of Java itu disebutkan pula bahwa Prabu Baka bertahta di
Brambanan antara tahun 900 dan 902, yakni seratus tahun sebelum Aji saka
bertahta.
Sementara
itu, dalam Manikmaya ( salinan Panambangan, 1981 : 295 ) disebutkan bahwa Aji
Saka – dengan sebutan Abu Saka mengembara ke tanah Arab. Di negeri itu ia
bersahabat dengan Nabi Muhammad ( yang hidup pada akhir abad VI – pertengahan
abad VII ). Setelah pergi ke pulau Jawa, dengan sebutan Aji Saka akbibat
berselisih paham dengan Nabi Muhammad ( Graff 1989 : 9 ) ia menciptakan aksara
ha-na-ca-ra-ka. Penciptaan aksara itu diperkirakan pada sekitar abad VII (
sesuai dengan masa kehidupan Nabi Muhammad ) karena di dalam teks tidak
disebutkan secara eksplisit.
Warsito (
dalam Ciptoprawiro, 1991 : 46 ) dalam telaah Serat Sastra Gendhing berpendanpat
bahwa syair ha-na-ca-ra-ka diciptakan oleh Jnanbhadra atau Semar. Dengan
demkian, saat kelahiran ha-na-ca-ra-ka sulit ditentukan karena Semar merupakan
tokoh fiktif dalam pewayangan.
Pendapat
lain dikemukan oleh Hadi Soetrisno ( 1941 ). Dalam bukunya yang berjudul Serat
Sastra Hendra Prawata dikemukan bahwa aksara Jawa diciptakan oleh Sang Hyang
Nur Cahya yang bertahta di negeri Dewani, wilayah jajahan Arab yang juga
menguasai tanah Jawa. Sang Hyang Nur Cahya adalah putra Sang Hyang Sita atau
Kanjeng Nabi Sis ( Hadi Soetrisno, 1941 : 6 ). Disamping aksara Jawa, Sang
Hyang Nur Cahya juga menciptakan aksara Latin, Arab, Cina dan aksara-aksara
yang lain. Seluruh aksara itu disebut Sastra Hendra
Prawata ( Hadi Soetrisno, 1941 : 3 – 6 )Di kemukakan pula bahwa berdasarkan bentuknya, aksara Jawa merupakan tiruan dari aksara Arab, mula-mula aksara itu berupa goresan-goresan yang mendekati bentuk persegi atau lonjong, lalu makin lama makin berkembang hingga terbentuklah aksara yang ada sekarang ( Hadi Soetrisno 1941 : 10 ). Lebih lanjut dijelaskan bahwa Aji Saka yang dianggap sebagai pencipta aksara Jawa itu sebenarnya bukan penciptanya, melainkan sebagai pembangun dan penyempurna aksara tersebut sehingga terciptalah bentuk aksara dan susunan atau carakan ( ha-na-ca-ra-ka dan seterusnya ) seperti sekarang ini ( Hadi Soetrisno, 1941 : 7 ). Terciptanya bentuk aksara dan carakan itu melibatkan kedua abdinya, Dora dan Sembada yang menemui ajalnya secara tragis.
Prawata ( Hadi Soetrisno, 1941 : 3 – 6 )Di kemukakan pula bahwa berdasarkan bentuknya, aksara Jawa merupakan tiruan dari aksara Arab, mula-mula aksara itu berupa goresan-goresan yang mendekati bentuk persegi atau lonjong, lalu makin lama makin berkembang hingga terbentuklah aksara yang ada sekarang ( Hadi Soetrisno 1941 : 10 ). Lebih lanjut dijelaskan bahwa Aji Saka yang dianggap sebagai pencipta aksara Jawa itu sebenarnya bukan penciptanya, melainkan sebagai pembangun dan penyempurna aksara tersebut sehingga terciptalah bentuk aksara dan susunan atau carakan ( ha-na-ca-ra-ka dan seterusnya ) seperti sekarang ini ( Hadi Soetrisno, 1941 : 7 ). Terciptanya bentuk aksara dan carakan itu melibatkan kedua abdinya, Dora dan Sembada yang menemui ajalnya secara tragis.
Selian yang
telah diuraikan di atas, ada dugaan bahwa kisah tragis Dora dan Sembada dalam
legenda Aji Saka merupakan simbol perang saudara untuk memperebutkan tahta
Majapahit. Perebutan ia mengakibatkan hancurnya kedua belah pihak, menjadi
bangkai dengan ungkapan ma-ga-ba-tha-nga. Tentu saja kisah simbolik yang
melahirkan aksara ha-na-ca-ra-ka itu muncul setelah hancurnya kerajaan
Majapahit, antara abad XVI dan XVII ( Atmodjo, 1994 : 26 )
Dugaan lain
adalah bahwa peristiwa tragis yang menimpa Dora dan Sembada merupakan simbol
gerakan milenarianisme, yakni gerakan yang mengharapkan datangnya pembebasan
atau ratu adil, dengan ungkapan ha-na-ca-ra-ka ( Atmojo, 1994 : 26 ). Namun
kapan datangnya pembebasan dan siapa yang dimaksud dengan ratu adil, apakah
Raden Patah yang berhasil naik tahta setelah Majapahit runtuh atau Sutawijaya
yang mampu menyelamatkan negeri ( Pajang ) dari rongrongan Arya Penangsang
ataukah tokoh lain, masih merupakan tanda tanya yang sulit untuk memperoleh
jawaban secara ilmiah atau nalar.
Praduga-praduga
di atas mencerminkan keragaman pendapat, keragaman itu sulit dapat timbul dari
persepsi yang berbeda-beda sehingga sulit untuk menentukan persamaan waktu atas
kelahiran ha-na-ca-ra-ka. Kesulitan itu dapat disebabkan oleh sifat legenda
yang fiktif sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan antara sumber yang satu
dan sumber yang lain, sesuai dengan kehendak pengarang atau penulis
masing-masing. Perbedaan praduga pertama ( Daldjoeni ) dengan praduga kedua (
dalam Serat Momana ) dan praduga ketiga ( dalam The History of Java ) misalnya
terletakpada selisih waktu dua abad, sedangkan praduga kedua dengan praduga
ketiga hanya mempunyai selisih satu tahun. Perbedaaan ketiga praduga tersebut
akan lebih beragam jika menyertakan perkiraan hidup Aji Saka dalam Manikmaya,
pendapat Warsito dan Hadi Soetrisno serta kisah-kisah simbolik di atas. Selain
itu masih terbuka kemungkinan yang dapat menimbulkan perbedaan yang berasal
dari teks-teks lain yang belum sempat diungkapkan di sini, termasuk misteri
pencipta aksara tersebut.
Konsepsi
secara Ilmiah:
Kelahiran
pada perkembangan aksara Jawa erat hubungannya dengan kelahiran dan
perkembangan bahasa Jawa. Secara alami, mula-mula bahasa Jawa lahir sebagai
alat komunikasi lisan pemakainya. Bahasa Jawa yang dilisankan itu, seperti
bahasa ragam lisan pada umumnya, terikat oleh waktu dan tempat ( lihat Molen,
1985 : 3 ) untuk melepaskan diri dari keterikatannya, sesuai dengan pola pikir
pemakainya dan sejalan dengan tantangan zaman akibat pengaruh lingkungan serta
perkembangan ilmu dan teknologi, sarana yang nyata dan kekal, berupa aksara
diciptakan. Aksara yang dipakai etnik Jawa muncul pertama kali setelah
orang-orang India datang ke pulau Jawa. Diperkirakan bahwa sebelum itu etnik
Jawa belum mempunyai aksara ( Poerbatjaraka, 1952 : vii ) sehingga masih
berlaku tradisi kelisanan. Dengan munculnya aksara, mulailah tradisi
keberaksaraan untuk menciptakan bahasa ragam tulis, meskipun tradisi kelisanan
tetap berlangsung.
Hasil
teknologi baru yang berupa tulisan memang memainkan peranan yangamat penting
dalam sejarah manusia, dalam kehidupan sehari-hari di bidang ilmu pengetahuan,
politik dan sebagainya. Ada perbedaan mendasar antara peradaban yang tanpa
tulisan dan peradaban yang mempunyai tulisan ( Molen, 1985 : 3 ) peradaban yang
mempunyai tulisan setidaknya mempunyai kelebihan setingkat lebih maju daridapa
peradaban tanpa tulisan.
Dalam
sejarah peradaban etnik Jawa, atas dasar data arkeologis, tulisan tertua yang
ditemukan dalam bentuk prasasti dengan menggunakan aksara Pallawa menunjukkan
penanda waktu sebelum tahun 700 Masehi ( Casparis, 1975 : 29 ) jauh sesudah
bahasa Jawa yang tertua dugunakan secara lisan. Setelah ditemukan beberapa
prasasti yang lain, secara berangsur-angsur dilakukan studi paleografi. Dari
beberapa prasasti yang dijadikan bahan studi, diperoleh hasil deskripsi yang
menggembirakan ( lihat Molen 1985 : 4 ). Namun hingga kini masih sedikit jumlah
karya tulis yang membicarakan paleografi Jawa. Karya tulis tentang paleografi
Jawa baru dimulai pada awal abad XIX, seperti yang dilakukan oleh Raffles (
1871 ) Stuart ( 1863 ) dan Keyzer ( 1863 ). Hanya sayang bahwa contoh aksara
yang ditampilkan menurut Stuart ( 1864 : 169 – 173 ) lihat Molen, 1985 : 4 )
bukan jiplakan yang asli, melainkan aksara Jawa baru yang dituliskan dengan bentuk
dan gaya aksara Jawa kuna, contohnya : dibawah ini dikutipkan dari The History
of Java Jilid I, karya Raffles ( 1982 : 370 )
Ada juga
Ajaran filsafat hidup berdasarkan aksara Jawa yang sebagai berikut :
Ha-Na-Ca-Ra-Ka
berarti ada ” utusan ” yakni utusan hidup, berupa nafas yang berkewajiban
menyatukan jiwa dengan jasat manusia. Maksudnya ada yang mempercayakan, ada
yang dipercaya dan ada yang dipercaya untuk bekerja. Ketiga unsur itu adalah
Tuhan, manusia dan kewajiban manusia ( sebagai ciptaan )
Da-Ta-Sa-Wa-La
berarti manusia setelah diciptakan sampai dengan data ” saatnya ( dipanggil ) ”
tidak boleh sawala ” mengelak ” manusia ( dengan segala atributnya ) harus
bersedia melaksanakan, menerima dan menjalankan kehendak Tuhan.
Pa-Dha-Ja-Ya-Nya
berarti menyatunya zat pemberi hidup ( Khalik ) dengan yang diberi hidup (
makhluk ). Maksudnya padha ” sama ” atau sesuai, jumbuh, cocok ” tunggal batin
yang tercermin dalam perbuatan berdasarkan keluhuran dan keutamaan. Jaya itu ”
menang, unggul ” sungguh-sungguh dan bukan menang-menangan ” sekedar menang ”
atau menang tidak sportif.
Ma-Ga-Ba-Tha-Nga
berarti menerima segala yang diperintahkan dan yang dilarang oleh Tuhan Yang
Maha Kuasa. Maksudnya manusia harus pasrah, sumarah pada garis kodrat, meskipun
manusia diberi hak untuk mewiradat, berusaha untuk menanggulanginya.
Filsafat
Ha-Na-Ca-Ra-Ka Paku Buwana IX
Filsafat
ha-na-ca-ka-ra yang diungkapan Paku Buwana IX dikutip oleh Yasadipura sebagai
bahan sarasehan yang diselenggarakan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional
Yogyakarta pada tanggal, 13 Juli 1992. Judul makalah yang dibawakan Yasadipura
adalah ” Basa Jawi Hing Tembe Wingking Sarta Haksara Jawi kang Mawa Tuntunan
Panggalih Dalem Hingkang Sinuhun Paku Buwana IX Hing Karaton Surakarta
Hadiningrat “. Dalam makalah itu dikemukakan oleh Yasadipura ( 1992 : 9 – 10 )
bahwa Paku Buwana IX memberikan ajaran ( filsafat hidup ) berdasarkan aksara
ha-na-ca-ra-ka dan seterusnya, yang dimulai dengan tembang kinanthi, sebagai
berikut.
Nora kurang
wulang wuruk tak kurang piwulang dan ajaran
Tumrape wong
tanah Jawi bagi orang tanah Jawa
Laku-lakune
ngagesang perilaku dalam kehidupan
Lamun gelem
anglakoni jika mau menjalaninya
Tegese
aksara Jawa maknanya aksara Jawa
Iku guru
kang sejati itu guru yang sejati
Ha Na Ca Ra
Ka
MAKNA HURUF
Ha
Hana hurip wening suci – adanya hidup adalah kehendak dari yang Maha Suci
Hana hurip wening suci – adanya hidup adalah kehendak dari yang Maha Suci
Na
Nur candra,gaib candra,warsitaning candara-pengharapan manusia hanya selalu ke sinar Illahi
Nur candra,gaib candra,warsitaning candara-pengharapan manusia hanya selalu ke sinar Illahi
Ca
Cipta wening, cipta mandulu, cipta dadi-satu arah dan tujuan pada Yang Maha Tunggal
Cipta wening, cipta mandulu, cipta dadi-satu arah dan tujuan pada Yang Maha Tunggal
Ra
Rasaingsun handulusih – rasa cinta sejati muncul dari cinta kasih nurani
Rasaingsun handulusih – rasa cinta sejati muncul dari cinta kasih nurani
Ka
Karsaningsun memayuhayuning bawana – hasrat diarahkan untuk kesajetraan alam
Da
Dumadining dzat kang tanpa winangenan – menerima hidup apa adanya
Karsaningsun memayuhayuning bawana – hasrat diarahkan untuk kesajetraan alam
Da
Dumadining dzat kang tanpa winangenan – menerima hidup apa adanya
Ta
Tatas, tutus, titis, titi lan wibawa – mendasar ,totalitas,satu visi, ketelitian dalam memandang hidup
Tatas, tutus, titis, titi lan wibawa – mendasar ,totalitas,satu visi, ketelitian dalam memandang hidup
Sa
Sifat ingsun handulu sifatullah- membentuk kasih sayang seperti kasih Tuhan
Sifat ingsun handulu sifatullah- membentuk kasih sayang seperti kasih Tuhan
Wa
Wujud hana tan kena kinira – ilmu manusia hanya terbatas namun implikasinya bisa tanpa batas
Wujud hana tan kena kinira – ilmu manusia hanya terbatas namun implikasinya bisa tanpa batas
La
Lir handaya paseban jati – mengalirkan hidup semata pada tuntunan Illahi
Lir handaya paseban jati – mengalirkan hidup semata pada tuntunan Illahi
Pa
Papan kang tanpa kiblat – Hakekat Allah yang ada disegala arah
Papan kang tanpa kiblat – Hakekat Allah yang ada disegala arah
Dha
Dhuwur wekasane endek wiwitane – Untuk bisa diatas tentu dimulai dari dasar
Dhuwur wekasane endek wiwitane – Untuk bisa diatas tentu dimulai dari dasar
Ja
Jumbuhing kawula lan Gusti -selalu berusaha menyatu -memahami kehendak Nya
Jumbuhing kawula lan Gusti -selalu berusaha menyatu -memahami kehendak Nya
Ya
Yakin marang samubarang tumindak kang dumadi – yakin atas titah /kodrat Illahi
Yakin marang samubarang tumindak kang dumadi – yakin atas titah /kodrat Illahi
Nya
Nyata tanpa mata, ngerti tanpa diuruki – memahami kodrat kehidupan
Nyata tanpa mata, ngerti tanpa diuruki – memahami kodrat kehidupan
Ma
Madep mantep manembah mring Ilahi – yakin – mantap dalam menyembah Ilahi
Madep mantep manembah mring Ilahi – yakin – mantap dalam menyembah Ilahi
Ga
Guru sejati sing muruki – belajar pada guru nurani
Guru sejati sing muruki – belajar pada guru nurani
Ba
Bayu sejati kang andalani – menyelaraskan diri pada gerak alam
Bayu sejati kang andalani – menyelaraskan diri pada gerak alam
Tha
Tukul saka niat – sesuatu harus dimulai – tumbuh dari niatan
Tukul saka niat – sesuatu harus dimulai – tumbuh dari niatan
Nga
Ngracut busananing manungso – melepaskan egoisme pribadi -manusia
Ngracut busananing manungso – melepaskan egoisme pribadi -manusia
Referensi : berbagai sumber
Komentar