Karya klasik
berbentuk puisi tembang macapat, dan berbahasa Jawa Baru. Isi teks tentang
cerita mitos yang dimulai dengan kedatangan Aji Saka dari Arab ( bumi Majeti
)ke Tanah Jawa atau Medhang Kamulan. Diceritakan pula tentang kematian Prabu
Dewatacengkar oleh Aji Saka yang kemudian menggantikannya sebagai raja di
Medhang Kamulan dengan gelar Prabu Jaka. Cerita ini diakhiri dengan peperangan
antara para Adipati Brang Wetan (pesisir timur) melawan Prabu Banjaransari di
Kerajaan Galuh.Aji Saka dalam perjalanannya ke Medhang Kamulan singgah di rumah
seorang janda bernama Sengkeran. Ditempat inilah banyak orang yang berguru
kepada Aji Saka. Raja Medhang Kamulan, Prabu Dewatacengkar, senang sekali
melihat banyak orang ditempat tersebut kesukaannya memakan daging manusia. Oleh
karena itu orang-orang menjadi takut.Aji Saka menawarkan dirinya lewat Patih
Trenggana agar dihadapkan sebagai santapannya. Ia mengajukan persyaratan
meminta tanah seluas ikat kepala yang dimilikinya untuk dibentangkan di tanah
tersebut.
Raja
Dewatacengkar menyanggupinya sehingga ikat kepala yang dibentangkan tadi
memenuhi wilayah Medhang Kamulan. Dewatacengkar terdesak dan akhirnya sampai di
pantai selatan hingga tercebur dalam samudera dan berubah wujud menjadi buaya
putih. Selanjutnya Aji Saka kembali ke Medhang Kamulan dan menggantikan
kedudukannya sebagai raja dengan gelar prabu Jaka atau Prabu Anom Aji Saka.
Sepeninggal Dewatacengkar kerajaan Medhang Kamulan menjadi aman tenteram dan
damai kekuasaan Aji Saka. Ia dapat membuat manusia dengan tanah dan menciptakan
aksara Jawa yang disebut Dhentawyanjana. Diceritakan pula mengenai naga
Nginglung yang mengaku dirinya sebagai putra prabu Jaka. Ia disuruh untuk
membunuh buaya putih di samudera yang merupakan penjelmaan Dewatacengkar. Naga
tersebut dapat membunuh buaya putih sehingga diakui sebagai putranya dan diberi
nama Tunggul Wulung.
Raden
Daniswara di Panungkulan bermaksud ingin merebut Kerajaan Medhang. Ia
disarankan oleh Hyang Sendhula agar meminta bantuan kepada ratu Kidul yang
bernama Ratu Angin-Angin. Ia kemudian dapat menjadi raja di tanah Jawa dengan
sebutan Raja Daniswara atau Srimapunggung. Ki Jugulmudha dijadikan patih dengan
gelar Adipati Jugulmudha. Langkah selanjutnya adalah ingin menaklukan pesisir
mencanegara. Setelah selesai tugasnya ia kembali ke Panungkulan dan selanjutnya
berniat menaklukan Medhang. Akhirnya Aji Saka moksa bersama dengan kerajaannya
sedangkan Medhang dibawah kekuasaan Srimapunggung. Setelah Srimapunggung moksa
kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Sri Kandhihuwan. Setelah Sri
Kandhihuwan moksa kemudian digantikan oleh prabu Kelapagadhing. Selanjutnya
kekuasaan secara berturut-turut digantikan oleh : (1) Prabu Andhong, (2) Sri Andhongwilis,
(3) Prabu Banakeling, (4) Sri Banagaluh, (5) Sri Awulangit, (6) Ratu Tunggul,
(7) Selaraja, (8) Mundhingwangi, (9) Mundhigsari, (10) Jajalsengara, (11)
Gilingwesi, (12) Sri Prawatasari, (13) Wanasantun, (14) Sanasewu, (15) Raja
Tanduran, (16) Rama Jayarata, (17) Raja Ketangga, (18) Raja Umbulsantuin, (19)
Raja Padhangling, (20) Ratu Prambanan, (21) Resi Getayu, (22) Lembu Amiluhur,
(23) Raden Laleyan, dan (24) Raden Banjaransari). Pusat kerajaan di Medhang
Pangremesan atau Jenggala.
Pada saat
pemerintahan Raden Banjaransari, ia mendapatkan wangsit dari dewa Sang Hyang
Narada agar meninggalkan kerajaan untuk pergi ke arah barat yang akhirnya
sampai di Gua Terusan untuk bertapa. Ditempat inilah ia dapat bertemu dengan
kakeknya, Sang Hyang Sindula, yang akhirnya dapat menjadi raja di Kerajaan
Galuh. Disebutkan pula mengenai peperangan antara para Adipati Brang Wetan
melawan Prabu Banjarsari di Kerajaan Galuh.
Cerita
Ajisaka tersebut diatas ada yang mengartikan perlambang atau bermakna sebagai
berikut :
1. Ajisaka
Aji = Raja (
pegangan raja )
Saka = Pilar
2. Majeti
Ma =
Diterima ( keterima )
Jet =
Grenjet ( bijaksana )
Artinya :
Doa orang yang bijak, yang melakukan dengan khusuk akan diterima.
3. Medang
Kamolan
Kamolan =
Mula = tempat asal muasal kehidupan
Beberapa
resensi tentang Ajisaka terdapat pada serat Jatiswara dan Serat Centhini yang
memuat sebuah episode mengenai nama Ajisaka ( Raja Jawa Pertama ) pada abad ke.
17.
Ngasah
paluning bangsa
Isih tungkul
padhadene
Ngalung
anduk bebasane
Oglak aglik
gegondhele
Maling alok
maling
Osoring
ketara
Sapa wani
arumangsa?
Sumber : Berbagai sumber
Komentar