Ajisaka
datang di Srilangka pantai India Selatan kemudian di Sokadana (mungkin yang
dimaksud adalah Sumatera) dan akhirnya tiba suatu tempat di Pulau Jawa yang
waktu itu masih dihuni oleh raksasa-raksasa. Pertamakali, Ajisaka menemukan
sejenis gandum yang dinamakan “jawawut” sebagai makanan pokok penduduk di
tempat itu, yang kemudian ia memberi nama pulau itu menjadi “Nusa Jawa”.
Tentang Aji
Saka sendiri, terdapat berbagai literatur yang mengkisahkan sejarah Ajisaka dalam versi yang berbeda. Menurut
Dr. Purwadi, M.Hum dan Hari Jumanto, S.S dalam buku Asal
Mula Tanah Jawa (Gelombang Ilmu: Sleman-Yogyakarta: 2006), yang disusun
berdasarkan Kitab-kitab Jawa Juno dari Serat
Pustaka Raja Purwa karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, juga diambil dari
kisah-kisah Babad Tanah Jawi. Dr.
Purwadi,M.Hum dan Hari Jumanto, S.S menyebutkan, Ajisaka adalah orang yang
pertama menginjakkan kaki di tanah Jawa dengan nama Prabu Isaka atau Prabu
Ajisaka.
Prabu Isaka
atau Ajisaka adalah putra dari Prabu Iwasaka atau Bathara Anggajali adalah
putra dari Bathara Ramayadi atau Empu Ramadi adalah putra Sang Hyang Ramaprawa,
anak Sang Hyang Hening putra Sang Hyang Tunggal. Prabu Ajisaka diperintahkan
untuk berangkat melakukan tapa brata (meditasi) ke sebuah pulau yang sangat
panjang. Kata “panjang” dalam bahasa Jawa artinya “dawa”, yang oleh Sang Hyang
Guru disebut “jawa” atau “pulau jawa”.
Di dalam
perjalannya ke Pulau dawa (Pulau Jawa) yang cukup panjang dari Aceh sampai Bali
masih bersatu. Prabu Ajisaka untuk pertama menginjakkan kaki dan bermukim di
Gunung Hyang atau sekarang bernama Gunung Kendeng di daerah antara Probolinggo
dan Besuki (Daerah Jawa Timur) dengan nama Empu Sangkala. Aji Saka kemudian
menemukan dua Raksasa yang terbujur kaku (mati). Ketika Ajisaka melihat tangan
mereka masing-masing menggenggam “daun lontar yang berisi tulisan”, di tangan
raksasa yang satu bertuliskan huruf “purwa” (kuno) dan satunya lagi huruf Thai.
Setelah dua tulisan tersebut disatukannya, Ajisaka menciptakan Abjad (Aksara)
Jawa yang terdiri dari duapuluh huruf, sebagaimana telah disebutkan di muka.
Tidak
sekedar menciptakan aksara, akan tetapi Ajisaka juga memberikan arti dalam
setiap lajur aksara Jawa tersebut, yaitu: Ha-na-ca-ra-ka (ho-no-co-ro-ko) = ada
dua utusan (dua raksasa), Da-ta-sa-wa-la (do-to-so-wo-lo) = saling
bertengkar/berkelahi, Pa-dha-ja-ya-nya (po-dho-jo-yo-nyo) = sama-sama kuat dan
sakti, Ma-ga-ba-tha-nga (mo-go-bo-tho-ngo) = akhirnya mereka “sampyuh” (mati
bersama).
Dalam versi
yang berbeda, di dalam buku “Nawang Sari” (Fajar Pustaka Baru:Yogyakarta:2002)
DR. Damardjati Supadjar mengatakan mengatakan terjadi salah kaprah pemahaman
kandungan makna dari honocoroko seperti tersebut diatas. Damardjati Supadjar
mengutip ungkapan Ki Sarodjo “ bagi perasaan saya rangkaian huruf di dalam
carakan jawa itu bukannya menambatkan suatu kisah, melainkan suatu ungkapan
filosofis yang berlaku universal dan sangat dalam artinya dan membawa kita
tunduk dan taqwa kepada Allah”.
Menurut Ki
Sarodjo, yang benar adalah: honocoroko, (hono= ada) (coroko= Cipto-Roso-Karso)
sehingga honocoroko = ada cipta-rasa dan karsa, dotosowolo,(doto = datan atau
tanpa) (sowolo= suwolo atau menentang) sehingga dotosowolo = tidak menentang
atau tidak keberatan atau pasrah kemudian podhojoyonyo (podho = sama sama),
(joyonyo = sukses/berjaya) sehingga podhojoyonyo = sama sama sukses) dan
mogobothongo ( mogo = meletakkan sesuatu di tempat yang tinggi, (bothongo =
bathiniyah = spiritualitas) sehingga mogobhotongo = meletakkan potensi taqwa
dan amal di dalam hati sanubari serta disimpan pada tempat yang tinggi.
Artinya,
derajat seseorang muslim/muslimat bukan terletak pada kekuasaannya, kepandaiannya,
kekayaannya, kegagahannya, kekuatannya, akan tetapi terketak pada
“ketaqwaannya”. Pada dekade berikutnya, oleh para
ahli kejawen dan kebatinan Jawa,
aksara Jawa hanacaraka ini diberi energi magic yang diyakini mereka dapat
dijadikan “daya penolak” berbagai hal-hal yang buruk dan membahayakan manusia,
bernama ajian “carakabalik”, yaitu dengan cara dibalik (membaca dari huruf
terakhir) “nga-tha-ba-ga-ma, nya-ya-ja-dha-pa, la-wa-sa-ta-da, ka-ra-ca-na-ha”.
Tentang Jawa
Sebelum
dihuni manusia, bumi Jawa telah dihuni oleh golongan dewa-dewi dan makhluk
halus lainnya. Salah satu putra Sang Hyang Jagad Girinata, yaitu Bathara Wisnu,
turun ke arcapada lalu kawin dengan Pratiwi, dewinya bumi….
Sebuah teori geologi kuno menyebutkan, proses
terbentuknya daratan yang terjadi di Asia belahan selatan adalah akibat proses
pergerakan anak benua India ke utara, yang bertabrakan dengan lempengan sebelah
utara. Pergerakan lempeng bumi inilah yang kemudian melahirkan Gunung Himalaya.
Konon,
proses tersebut terjadi pada 20-36 juta tahun yang silam. Anak benua yang di
selatan sebagian terendam air laut, sehingga yang muncul di permukaan adalah
gugusan-gugusan pulau yang merupakan mata rantai gunung berapi. Gugusan
pulau-pulau di Asia Tenggara, yang sebagian adalah Nuswantoro (Nusantara), yang
pada zaman dahulu disebut Sweta Dwipa. Dari bagian daratan ini salah satunya
adalah gugusan anak benua yang disebut Jawata, yang satu potongan bagiannya
adalah pulau Jawa.Jawata artinya gurunya orang Jawa. Wong dari kata Wahong, dan
Tiyang dari kata Ti Hyang, yang berarti keturunan atau berasal dari Dewata.
Konon karena itulah pulau Bali sampai kini masih dikenal sebagai pulau Dewata,
karena juga merupakan potongan dari benua Sweta Dwipa atau Jawata.
Atas izin
Wisnu, Mahapati Negrum dan Aji Saka berangkat ke tanah Jawa untuk menghadap
Semar di Gunung Tidar. Tidar dari kata Tida; hati di dada, maksudnya hidup.
Supaya selamat, oleh Wisnu, Mahapati Ngerum dan Aji Saka diberi sifat kandel
berupa rajah Kalacakra, agar terhindar dari wabah penyakit dan serangan anak
buah Batara Kala.
Kisah di
atas hanya merupakan gambaran, bahwa ada makna yang tersirat di dalamnya. Wisnu
dan Aji Saka itu dwitunggal, bagaikan matahari dan sinarnya, madu dan manisnya,
tak terpisahkan. Loro-loro ning atunggal.
Singkat
cerita, perjalanan ke tanah Jawa dipimpin oleh Aji Saka dengan jumlah warga
yang lebih besar, 80 ribu atau 8 laksa, disebar di berbagai pelosok pulau.
Sejak itulah, kehidupan di tanah Jawa Dwipa yang disebut masyarakat Kabuyutan
telah ada sejak 10.000 SM, tetapi mulai agak ramai sejak 3.000 SM.
Sesudah
kedatangan pengaruh Hindu, muncul kerajaan pertama di Jawa yang lokasinya di
Gunung Gede, Merak. Rajanya Prabu Dewowarman atau Dewo Eso, yang bergelar Sang
Hyang Prabu Wismudewo. Raja ini memperkuat tahtanya dengan mengawini Puteri
Begawan Jawa yang paling terkenal, yakni Begawan Lembu Suro atau Kesowosidi di
Padepokan Garbo Pitu (penguasa 7 lapis alam gaib) yang terletak di Dieng atau
Adi Hyang (jiwa yang sempurna), juga disebut Bumi Samboro (tanah yang menjulang
tinggi). Puterinya bernama Padmowati atau Dewi Pertiwi.
Orang Jawa
melakukan puja-puji penyembahan kepada Gustinya langsung dari batinya, maka itu
dalam perkembangannya disebut aliran Kebatinan atau perkembangan selanjutnya
dikenal dengan istilah Kejawen, karena bersumber dari Jawa.
Bagi orang
Jawa tentang cerita waktu bumi Jawa belum dihuni manusia, telah dihuni oleh
golongan dewa-dewi dan makhluk halus lainnya. Dan salah satu putra Sang Hyang
Jagad Girinata, yaitu Bathara Wisnu turun ke arcapada kawin dengan Pratiwi,
dewi bumi.
Dalam pemahaman kejawen, hal itu disikapi dengan
terjemahan, kalau Wisnu itu artinya urip/hidup, pemelihara kehidupan. Jadi
jelasnya awal mula adanya kehidupan manusia di bumi, atas izin Sang Penguasa
Jagad. Dewa perlambang sukma, manusia perlambang raga. Begitulah hidup manusia,
raganya bisa rusak, namun sukmanya tetap hidup langgeng.
Kemolekan bumi Jawa laksana
perawan rupawan yang amat jelita, sehingga Kerajaan
Rum (Ngerum) yang dipimpin Prabu Galbah, lewat laporan pendeta Ngali
Samsujen, begitu terpesona karenanya.
Referensi : Asal
Mula Tanah Jawa (Gelombang Ilmu: Sleman-Yogyakarta: 2006), yang disusun
berdasarkan Kitab-kitab Jawa Juno dari Serat
Pustaka Raja Purwa karya Raden Ngabehi Ranggawarsita.
Komentar