. Nama
lengkapnya Al-Farabi yaitu Abu Nasr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Uzlaq
Al-Farabi. Beliau lahir di Wasij di daerah Farab (Turkestan tahun 870 M (257
H). Ayahnya adalah seorang perwira tentara dari Persia, sedangkan ibunya
berasal dari Turkestan.
Pada waktu
mudanya, Al-Farabi tinggal dan belajar di Baghdad. Hatinya tertarik kepada
Baghdad karena tersohornya kota itu sebagai ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Di
sana beliau belajar bahasa dan sastra Arab kepada Abu Bakar al-Salaj, Logika
serta Filsafat kepada Abu Bisyr Mattitus Ibn Yunus, seorang Kristen Nestrorian
yang banyak menerjemahkan filsafat Yunani, dan kepada Yuhana Ibn Hailam.
Kemudian ia pindah ke Harran sebagai salah satu pusat kebudayaan Yunani di Asia
kecil. Di sana ia belajar Metafisika kepada Yuhanna bin Hailan. Tidak berapa
lama kemudian, ia kembali ke Baghdad untuk memperdalam filsafat. Ia menetap di
kota ini selama 20 tahun dan ia juga menulis dan membuat ulasan terhadap
buku-buku filsafat Yunani dan mengajar. Di antara muridnya yang terkenal adalah
Yahya Ibn ‘Adi, filsuf Kristen.
Pada tahun
330 H/941 M, Al-Farabi pindah ke Damaskus dan kemudian ia berkenalan dengan
Gubernur Aleppo (Halab), Saifuddaulah al-Hamdani. Gubernur ini sangat terkesan
dengan kealiman Al-Farabi, kemudian ia diajaknya pindah ke Aleppo dan ia
diangkat sebagai seorang ulama istana. Dalam jabatan ia berada dalam kehidupan
mewah, karena tunjangan yang besar sekali. Namun sebagai seorang yang telah
memilih hidup zuhud (hidup sederhana), ia tidak tertarik dalam kekayaan
itu. Ia hanya memerlukan empat Dirham saja sehari untuk sekedar memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari, sisa tunjangan yang diterima dibagi-bagikan kepada
fakir miskin dan usaha-usaha sosial lainnya.
Lebih kurang
10 tahun lamanya ia hidup mondar-mandir antara Aleppo dan Damaskus. Akan tetapi
hubungan baik antara dua penguasa kota inilah telah berubah menjadi sangat
buruk sekali, sehingga Saifuddaulah menyerbu kota Damaskus yang kemudian dapat
dikuasainya. Setelah kemenangan itu, tidak lama kemudian Al-Farabi meninggal
dunia pada tahun 339 H/941 M di Damaskus dalam usia 80 tahun.
Al-Farabi
adalah seorang filusuf Islam pertama, karena dialah yang berhasil menyusun
dasar-dasar falsafat atas keyakinan tauhid menurut Islam. Ialah yang mula-mula
menyatakan, bahwa tidak ada perbedaan antara falsafat Plato dengan falsafat
Aristoteles karena meskipun berlainan kedua jalan pikirannya, bersatu dalam
tujuan dan hakekatnya. Falsafat dan agama baginya dua perkara yang bersatu padu
dan tidak dapat dipisah-pisahkan, karena kedua-duanya mencarai dan menuju
kepada kebenaran. Ia berpendapat bahwa falsafat dan agama berdasarkan atas
kebenaran yang ditinjau dari sudut yang berlainan. Masing-masing menempuh cara
dan jalan yang tersendiri, falsafat menempuh jalan pemikiran dan dasar logika,
yang membuahkan hakekat untuk suatu golongan ahli pikir. Sedangkan agama
menempuh jalan wahyu dan kebersihan diri yang membuahkan kebenaran untuk
seluruh manusia.
Menurut Farabi kebenaran sesuatu barang dapat dicapai
oleh manusia, jika akal manusia itu telah berhubungan dengan pokok akal yang
diciptakan Tuhan, yang dapat melahirkan cahaya sebagai percikan Ilahi. Oleh karena itu, orang-orang suci di dunia ini tidak keluar dari pada dua
golongan manusia, yaitu golongan ahli falsafat dan golongan Nabi-Nabi. Tiap
golongan ini sanggup menempuh jalannya yang tertentu untuk mencapai cahaya
Ilahi itu melalui akal/wahyu yang diilhamkan Tuhan. Sementara ahli-ahli
falsafat beroleh kesanggupan ini dengan mempergunakan pandangan akal dan
ketekunan falsafat, Nabi-Nabi pun dikaruniai kesanggupan itu melalui kesucian
dirinya dan kekuatan gaib yang dikaruniai oleh Allah SWT. Dengan memperdekatkan
kedua alam pikiran ini, yang sebelumnya sangat berjauhan antara satu sama lain,
menjadi mudah bagi Farabi karena ia adalah seorang ahli falsafat dan juga
seorang muslim dengan karunia Tuhan kedua alam keahlian ini berkumpul menjadi
satu dalam diri Farabi. Dengan kealiman dan keluasan pengetahuannya. Ia
mendapat gelar “Guru Kedua” sebagai kelanjutan dari Aristoteles yang mendapat
gelar “Guru Pertama”
Komentar