Dilihat dari
keseluruhannya, filsafat Al-Farabi lebih condong kepada filsafat plato dari
pada filsafat aristoteles. Al-Farabi sependapat dengan Plato bahwa alam ini
adalah “baru” dan terjadi dari tidak ada (sama dengan Al-Kindi). Pendapat
Al-Farabi ini, sebagai pendapat seorang yang beragama Islam, sebab alam idea
Plato mirip dengan pengertian alam akhirat dalam dunia Islam.
Dalam soal terjadinya alam dan bagai mana hubungan
khalik dengan makhluk, Al-Farabi seperti juga Al-Kindi, menyetujui teori
emanasi Neo Platonisme, lebih jauh Al-Farabi merinci lagi teori emanasi dengan
istilah Nadhariyatul Faidl dengan pemikiran dan uraiannya sendiri.
Mula pertama
Al-Farabi menerima prinsip Aristotelisme yang mengatakan bahwa Tuhan itu ialah
akal yang berpikir. Al-Farabi menamakannya akal muni. Prinsip Aristoteles itu
lalu diisi oleh Al-Farabi dengan teori emanasi Neo Platonisme dari Plotinus.
Pendapat Al-Farabi mengenai akal murni itu esa adanya, dengan arti bahwa akal
itu berisi satu pikiran saja, yakni senantiasa memikirkan dirinya sendiri jadi
Tuhan itu adalah akal yang aqil (berpikir) dan ma’qul
(dipikirkan), dengan ta’aqul ini Tuhan dapat mulai ciptaan-Nya. Ketika
Tuhan mulai memikirkan timbullah suatu wujud baru atau akal baru yang disebut
oleh Al-Farabi dengan sebutan Al-Aqlul Awwal (akal yang pertama). Akal
pertama ini lalu berta’aqul pula, memikirkan akal Tuhan dan memikirkan
dirinya sendiri. Dengan ta’aqul Tuhan melipah al-aqluts tsani
(akal kedua), yang dapat menimbulkan al-falakul aqsha (langit yang
paling luar), maka timbul sifat pluralitas dari alam makhluk.
Seterusnya
akal ke dua menimbulkan pula al-aqluts tsalis (akal ke tiga) bersama
timbulnya karatul kawakibits tsabitah (langit bintang-bintang tetap).
Dari akal ketiga melimpah pula al-aqlur rabi’ (akal ke empat) disertai
timbulnya langit bintang zuhal (Saturnus). Kemudian melimpah al-aqlul
khamis (akal ke lima) bersama timbulnya langit bintang musytari
(Jupiter). Lalu melimpah al-aqlus sadis (akal ke enam) bersama langit bintang mirrih
(Mars). Selanjutnya al-aqlus sabi’ (akal ke tujuh) bersama langit matahari, al-aqluts
tsamin (akal ke delapan) bersama langit bintang zuhrah (Venus),
al-aqlut tasi’ (akal ke sembilan) bersama langit bintang ‘utharid
(Merkurius), akhirnya al-aqlul asyir bersama-sama dengan langit bulan. Adapun al
alalul asyri (akal ke sepuluh) ini dinamakan al-aqlul fa’al (akal
yang aktif bekerja), orang Barat menyebut active intellect.
Sampai di
sini berhentilah pelimpahan barang-barang halus dan tinggi. Dan semua pokok
tadi sudah meliputi Bumi. Bumi berada di tengah-tengahnya dan tetap tidak
berubah. Persoalan yang muncul adalah bagaimana hubungan al-aqlul fa’al
dengan tsumi ini berserta isinya, manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan?
Mengenai hal ini Al-Farabi kembali lagi kepada teori Aristoteles. Seperti
Aristoteles, Al-Farabi membedakan materi (zat) dan bentuk (shurah),
bahwa materi merupakan kemungkinan belaka. Namun bentuk dapat menentukan
kemungkinan tersebut. Sebagai contoh, kaya sebagai materi banyak mengandung
kemungkinan, bisa menjadi kursi, lemari, meja, dan sebagainya. Kemungkinan
barang tersebut dapat terlaksana menjadi realitas apabila dibentuk, semisal
bentuk lemari, kursi, meja, dan lain sebagainya.
Demikian pula kemungkinan bumi dengan segala isinya,
kalau susunan bumi dengan isinya yang menurut teori Al-Farabi kata bahasa
secara terbaik dari bawah ke atas, maka ujud yang terbawah/terendah itu ialah
materi yang abstrak, yang belum punya bentuk, yang dinamakan Al-Maddatul Ula
la Musytarakah yaitu materi pertama yang belum punya bentuk. Tingkat yang lebih tinggi dari itu ialah tatkala materi itu menerima bentuk
yang pertama berupa unsur-unsur yang empat, yakni air, tanah, api, dan udara.
Tingkat yang lebih tinggi lagi dari bentuk unsur-unsur itu ialah bentuk wujud
mineral seperti emas, perak, besi, tembaga, dan sebagainya. Yang lebih tinggi
lagi ialah wujud tumbuh-tumbuhan. Untuk pertama kali yang mengaktualkan wujud
tumbuh-tumbuhan ini ialah “jiwa” dalam wujudnya yang paling rendah, yaitu “jiwa
vegetatif”, jiwa yang berdaya tumbuh. Kemudian lebih tinggi lagi ialah bentuk
wujud hewan yang aktualkan oleh “jiwa sensitif”, yaitu jiwa yang berdaya
indera. Akhirnya sampailah kepada tingkat yang lebih tinggi lagi yang bisa
berantai dengan al-aqlul fa’al, yaitu bentuk manusia. Bentuk yang
mengaktualkan manusia ialah “jiwa” yang mempunyai daya berpikir aktual (al-aqlu
bil fi’li), di samping mempunyai daya menanggap (al-quwatul mutahajjilah).
Al-aqlu bil fi’li adalah akal kenyataan, tetapi sebelum itu manusia belihat
lebih dalam masa akal kemungkinan (al-aqlu bil quwwah), yaitu masa bayi,
ketika masa berpikir itu masih merupakan kemungkinan saja, belum dilaksanakan.
Akal kemungkinan itu menjadi akal kenyataan setelah menerima pengetahuan dari al-aqlul
fa’al (akal aktif). Akal aktif inilah yang mengilhamkan segala ma’qulat
kepada akal kemungkian sehingga akal ini menjadi suatu akal kenyataan/al-aqlu
bil fi’li.
Dengan itu,
menurut teori filsafat Al-Farabi, bertautlah hubungan Al-Khalik dengan alam
makhluk. Akhirnya, untuk menyesuaikan wujud dalam kepercayaan Islam, dikatakan
oleh Al-Farabi bahwa alam malaikat itu adalah alam uqulul mufaridoh,
yaitu akal dari bintang-bintang itu, sedangkan malaikat Jibril ialah al-aqlul
fa’al.
Al-Farabi
mendasarkan hidupnya atas kemurnian jiwa, bahwa kebersihan jiwa dari
kotoran-kotoran merupakan syarat pertama bagi pandangan filsafat dan buahnya.
Ilmu kalam dan ilmu akal diharapkan dapat membawa manusia kearah pandangan hal
benar. Hal itu dapat dicapai dengan cara setingkat demi setingkat dengan ilmu
Pasti dan ilmu Mantiq. Dasar filsafatnya adalah memperdalam ilmu dengan segala
yang maujud hingga membawa pengenalan Allah sebagai penciptanya. Dengan arah ke
situ maka filsafat adalah ilmu satu-satunya yang dapat menghamparkan di depat
kita dengan gambaran yang lengkap mengenai cakrawala dengan cosmosnya (kaum).
Komentar