Langsung ke konten utama

Kasus Bank Century


Dalam surat terbuka yg ke #2 kalinya kali ini, saya akan menyajikan satu counter arguments dan counter analaisa terhadap dalih atau theori serta arguemntasi yg dipakai sebagai acuan penyalamatan Bank Century unutk bisa dipahami dan didefinisikan secara jelas, benar atau salahnya berdasarkan fakta dan data yg ada on the ground!
*
(I am presenting counter arguments and analysis in response to the analysis, theory and arguments used to justify the policy Bail-OUT toward Bank Century to a point that the issue can be clearly defined and understood wthether the policy was right or wrong; whether it was justified, applicable or not, based on facts and reality on the ground, and not simply academic arguments, merely economic theory, generalization and speculations).
*

RE: Benarkah Kebijaksaan Chairman BI Boediono dan MENKEU Sri Mulyani membail-out Bank Century menyelamatkan perekonomian Indonesia 2008?

*

Tulisan saya berikut ini adalah lanjutan dari tulisan saya sebelumnya dalam menanggagi argumentasi yg diberikan oleh Wapres Boediono yg diberikan kepada anggota PANSUS tanggal 12 Desember, 2009 (Copy dari tulisan itu terlampir dibawah).
*

Kali ini tulisan saya adalah sebagai tanggapan dari Article yg ditulis oleh pakar Ekobnomi Indonesia lain,  Muhammad Chatib Basri Ph.D Executive Director, Institute for Economic and Social Research, Indonesia and lecturer at Faculty of Economics, University of Indonesia (LPEM-FEUI) bersama Dr. Hadi Soesastro. Article tersebut dimuat dalam majalah Tempo Interaktif dan copy serta link-nya ada dibawah ini.
*
(Quote)
*



Boediono, Sri Mulyani, dan Penyelamatan Ekonomi
by, Muhammad Chatib Basri Ph.D. Executive Director, Institute for Economic and Social Research, Indonesia and lecturer at Faculty of Economics, University of Indonesia (LPEM-FEUI). Together with Dr. Hadi Soesastro

“Segera setelah saya diambil sumpah, saya memutuskan untuk mengambil beberapa langkah sulit demi menyelamatkan perekonomian dari krisis. Saya lakukan itu bukan karena saya ingin populer. Ketika pertama kali saya melangkahkan kaki untuk memulai pekerjaan ini, langkah penyelamatan bank dan industri otomotif tidak ada dalam agenda saya. Bahkan tak ada di dalam keinginan saya. Tetapi penyelamatan bank dan industri otomotif dibutuhkan untuk menyelamatkan negeri ini dari kehancuran yang lebih dahsyat.”
Kalimat itu disampaikan oleh Presiden Amerika Serikat Barack Obama dalam pidatonya di Allentown, Desember lalu. Tentu ia tak merujuk pada Bank Century. ­Situasi dan teknis skema penyelamatan di Amerika Serikat tentu berbeda dengan Indonesia. Tetapi pesannya jelas: tindakan penyelamatan perbankan dibutuhkan dalam situasi krisis. Obama secara tak langsung bicara tentang systemic risk atau risiko sistemik. Apa itu? Mudahnya, bangkrutnya satu perusahaan dapat membawa dampak yang amat serius terhadap perekonomian.
Pemenang Nobel Ekonomi Joe Stiglitz and George Akerlof adalah dua ekonom yang berjasa menjelaskan fenomena informasi yang tak simetris atau asymmetric information, yang merupakan penjelas utama kenapa risiko sistemik bisa terjadi di pasar keuangan. ­Tengok contoh ini: deposan tak memiliki—dan tak akan ­pernah memiliki—informasi yang sempurna mengenai kondisi bank tempat ia menyimpan tabungannya.
Yang lebih tahu me­ngenai kondisi banknya tentu adalah ma­najemen dan sang pemilik bank. Karena itu, jika satu bank jatuh, dalam situasi krisis dan kepanikan, ada kemungkinan deposan yang tak memiliki informasi yang sempurna ini mulai khawatir akan nasib tabungannya. Akibatnya, tutupnya satu bank dapat membawa dampak penarik­an massal oleh para deposan di bank lain. Alasannya sederhana: mereka tak mau ambil risiko. Bukankah ada kemungkinan bank mereka tempat menabung juga bisa bangkrut?
Ingat, pada Oktober dan November 2008, kekhawatiran begitu tinggi. Berbagai rumor melalui SMS beredar tentang bank yang terancam karena ada penarik­an massal. Bahkan ada yang ditangkap karena dianggap menyebarkan berita bohong. Dalam situasi normal, orang tak khawatir. Karena itu, dalam situasi normal, penutup­an bank tak akan punya pengaruh besar. Itu hanya terjadi dalam situasi ketika kepanikan muncul.
Lebih dari 70 tahun lalu, ekonom besar John Maynard Keynes bicara tentang animal spirits. Dalam situasi yang tak pasti, individu akan mencoba mengurangi risiko dengan bergerak mengikuti pola kelompoknya. Ini yang disebut herd behaviour. Ingat bagaimana rombongan binatang berlari bersama-sama mengikuti kepala kelompoknya? Dalam situasi panik, ketika sebuah bank tutup, berduyun-duyun orang akan menarik uangnya dari perbankan—sering tanpa sepenuhnya memiliki informasi lengkap tentang situasi perbankan tersebut. Animal spirits dengan kata lain adalah komponen emosional yang tecermin dalam kepercayaan konsumen (consumer confidence). Di sini peran confidence—akar katanya adalah fido dari bahasa Latin, yang artinya saya percaya—menjadi amat penting.
Itu sebabnya banking, panics sangat berbahaya. Penarikan oleh deposan besar akan membuat bank gagal dan lumpuhnya sistem pembayaran. Dalam situasi pa­nik, kita tidak bisa mengambil risiko. Itu sebabnya, dalam situasi krisis, kepercayaan harus tetap dijaga. Banyak negara, termasuk Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Si­ngapura, Malaysia, dan Australia, memberlakukan blanket guarantee atau penjaminan untuk seluruh deposito. Lebih jauh dari itu, 12 negara anggota G-20, termasuk Amerika Serikat dan Inggris, menjamin bukan hanya deposito tetapi juga wholesale borrowing.
Di Indonesia, kita tak menjalankan kebijakan ini. Wakil Presiden waktu itu Jusuf Kalla menolak keras ide ini. Implikasinya, perbankan ada dalam risiko. Mungkin jika blanket guarantee waktu itu diberlakukan, Bank Century tidak perlu di-bail out (diselamatkan). Dibiarkan saja tutup. Sayangnya, kita tak punya itu, sehingga untuk mencegah risiko sistemik, tindakan penyelamatan terhadap bank yang gagal—apakah itu Century atau bank apa pun—harus dilakukan. Mengapa tindakan penyelamatan perlu?
Ada sebuah analogi yang baik sekali dari Menteri Keuangan Sri Mulyani: di sebuah perkampungan yang amat padat, terjadi kebakaran. Kebetulan pemilik rumah tersebut adalah orang yang jahat. Kita bisa saja membiarkan rumah itu terbakar, tetapi akibatnya rumah di sekitarnya akan ikut terbakar, dan seluruh perkampungan akan terbakar. Maka kita tak bisa mengambil risiko—siapa pun pemilik rumah tersebut—kita harus memadamkan apinya. Bukan untuk menolong dia, tetapi untuk menyelamatkan seluruh kampung. Dan ini tak hanya terjadi dengan Century di Indonesia.
Lalu apakah benar ini sistemik? Bukankah faktanya krisis perbankan tak terjadi? Bagaimana jika waktu itu tidak dilakukan bailout?
Sayangnya, kita tidak bisa tahu persis apakah karena bail out maka krisis perbankan tidak terjadi, atau memang situasi krisis tidak parah sehingga tidak perlu dilakukan bailout. Jika dua argumen mengenai soal yang sama datang dengan kesimpulan yang berbeda, mana yang paling mendekati ”kebenaran relatif”?
Dalam risalahnya yang berjudul The Methodology of Positive Economics, pemenang Nobel Ekonomi Milton Friedman menulis: teori atau model tidak bisa disimpulkan benar hanya karena model itu konsisten dengan bukti empiris, namun teori atau model dapat dikatakan salah—atau belum membuktikan kebenarannya—jika ia tidak konsisten dengan bukti empirisnya.
Dalam kasus Bank Century ada dua fakta empiris: pertama, ada bailout, dan kedua: tidak ada krisis perbankan.
Amat naif bila kita menyimpulkan bahwa karena bailout terhadap Century, krisis perbankan tidak terjadi. Sangat mungkin situasi perbankan yang aman disebabkan juga oleh faktor lain.
Artinya, penyelamatan Century punya probabi­litas untuk benar dan sekaligus juga salah. Artinya pula, kondisi perbankan yang aman mungkin disebabkan oleh penyelamatan Century, tetapi bukan pasti karena itu.
Namun, yang jelas: tidak ada bukti empiris bahwa dengan menutup atau tidak memberikan bailout kepada Century, krisis perbankan tidak terjadi. Karena faktanya: peme­rintah tidak pernah menutup Bank Century, dan krisis perbankan tidak terjadi. Karena itu, argumen bahwa kalau toh Century tidak di-bail out, ekonomi Indonesia akan selamat, tidak punya bukti empirisnya.
Lalu bagaimana soal aliran dana? Atau soal penyalahgunaan? Jawabannya sederhana: buktikan saja melalui data PPATK dan penyidikan KPK. Jika memang ada bukti dan kesalahan: hukum saja mereka yang bertanggung jawab. Siapa pun dia. Apa pun posisinya.
Tetapi soal menjadi lain jika ia masuk ranah politik. Di sini terbuka semua kemungkinan, termasuk pengadilan terhadap kebijakan, termasuk kemungkinan mendapatkan jabatan. Jika kebijakan bisa diadili, tak ada orang yang berani mengambil risiko kebijakan. Lalu, kalau terjadi guncangan di sektor keuangan lagi—dengan risiko sistemik atau terkenanya sektor perbankan—apakah pemerintah dan Bank Indonesia berani mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menenangkan sektor keuangan?
Kalau sektor keuangan ada dalam risiko karena pe­merintah dan Bank Indonesia enggan mengambil langkah penyelamatan karena risiko politik, lalu siapa yang akan menjaga nasib tabungan di Indonesia. Lebih baik bila penabung menyimpan di negara lain yang lebih memberikan kepastian. Itu artinya arus modal keluar akan terjadi. Ingat: dalam periode September-Desember 2008, cadangan devisa anjlok hampir US$ 7 miliar karena modal keluar. Ini yang membuat rupiah anjlok sampai Rp 12 ribu. Saat ini, dengan stabilitas makro yang ada dan dengan likuiditas global yang berlimpah, arus modal masuk masih mengalir ke Indonesia. Tapi bagaimana jika krisis keuangan global terjadi lagi. Karena kita tahu, dunia belum sepenuhnya pulih dari krisis keuangan.
Jadi, ini bukanlah sekadar soal mempertahankan Boediono dan Sri Mulyani. Ini adalah soal yang lebih besar: membela nasib Indonesia. Apakah karena persoalan politik, nasib rakyat harus dikorbankan? Siapa yang dibela? Kepentingan rakyat atau jabatan? Saya tak pandai menjawabnya.
Kekisruhan dan keserakahan politik membuat kita lupa tentang nilai. Tentang integritas. Padahal kita tahu, negeri ini tak dibangun oleh keserakahan. Tak dibangun oleh perebutan kekuasaan. Ia dibangun oleh niat baik, ia dibangun oleh jutaan orang yang setiap hari bergulat untuk selangkah lebih baik. Ia dibangun oleh integritas, seperti rekam jejak Boediono dan Sri Mulyani selama ini. Integritas mungkin tak lebih kuat daripada kekuasaan, tetapi ia lebih tinggi. Sejarah menulis: republik ini dibangun oleh orang yang bisa bersikap, walau itu tak populer, walau itu tak ramai dijejaki orang. Mirip bait akhir puisi Rober Frost, The Road Not Taken:
”I took the one less travelled by/And that has made all the difference”.
End

(Unquote)
*

Setelah membaca dan mengamati tulisan dari Dr. Muhammad Chatib Basri bersama Dr. Hadi Soesastro diatas yg dimuat dalam majalah Tempo Interaktif tanggal 21 Desember, 2009 terkilas bahwasanya argumenatsi yg disampikan oleh 2 pakar ekonom Indonesia (atau lebih akuratnya ekonom UI) ini tidak lebih atau tidak ada bedanya dengan cara-cara argumentasi yg diberikan oleh Wapres Boediono dan Sri Mulyani.
*

Sekilas tercermin sekali bahwasanya apa yg disampaikan 2 pakar ekonom ini tidak lain adalah academical arguments yg begitu theoretical, generalization in nature and full of speculations in their economic approach, bahwasanya dalam menganalisa kasus atau suatu phenomenon masih mengunakan theori-theori tanpa didukung dengan data dan fakta on the ground secara comprehensive.
*

Apalagi bila theori-theori itu hanya di backed-up dengan memakai asas yg sifatnya masih merupakan barangkali (probability) atau kemungkin (possibility) untuk memprediksi apa yg akan terjadi dimasa depan bila suatu kebijaksanaan tidak segera diambil tanpa melihat factor-faktor lain (the other underlying factors) yg sangat significant secara comprehensive dan menyeluruh yang bisa menyebabkan suatu negara atau perbankan mengalami krisis ekonomi dan keuangan.
*

Semua pendekatan dan argumentasi ekonomi yang mengetengahkan spekulasi masa depan (foreseeable future prediction) terhadap reaksi pasar atau reaksi public yg mengunakan sekedar theori yg didukung oleh incomplete and incomprehensive FACTS and DATA (data dan fakta yg tidak lengkap dan tidak menyeluruh), dengan memakai one-sided-picked and choose arguments berdasarkan rumor SMS (short messging system) yg beredar di masyarakat, adalah suatu argumentasi yg tidak bisa diterima dan mudah dibuktikan ketidakabsahanya (baseless).
*

At best; kesimpulan itu akan sangat diragukan, dipertanyakan, tidak meyakinkan, bisa salah, bisa tidak mengena dan ada kemungkinan besar hanya sekedar theori ekonomi belaka yg tidak revelan (It was not applicable during that given time and circumstances), seperti yg terjadi ditahun 2008.
*

Apa yg saya maksukan dengan pernyataan diatas?
*

Memang benar secara umum bisa dipahami bahwasanya: kalau ada krisis ekonomi melanda dunia atau negara, banking industri mulai merasa stress, kepanikan pasar mulai tampak dan suasana yg explosive, ditambah rumor sana sini tentang kemungkinan bank ini dan itu akan ditutup, kebijaksaan yg cepat dan tepat memang sangat dibuthkan dan perlu diambil.
*

Tapi apakah kebijaksanaan itu harus berupa “BAIL-OUT” terhadap bank kecil yg sedang menghadapi sakratul maut seperti Bank Century?
*

Tidak adakah kebijaksanaan lain yg bisa di ambil oleh BI (Bank Indonesia) dan MENKEU untuk bisa meredamkan potensi kepanikan pasar/ reaksi public/ reaksi nasabah/ deposan kecil dan besar; untuk tetap menjaga consumer confidence terhadap perbankan Indonesia, selain merubah aturan BI atas persyaratan Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek (FPJP) untuk membuat Bank Century qualified menerima dana BAIL-OUT? 
*

Inilah latar kebijaksanaan bail-out yg perlu dipertanyakan?
*

Disinilah pentingya peranan BI (Bank Indonesia), MENKEU dan Presiden dalam menghadapi potensial krisis ekonomi. Dinegara maju, semua krisis ekonomi yg harus memikul tanggung jawab tertinggi akhirnya adalah Presiden itu sendiri, bukan Chairman BI atau MENKEU. Mereka hanya pelaksana policy saja. The buck stops with the President!
*

Sekarang saya akan mengomentari satu persatu THEORI-THEORI dan argumentasi lain yang muncul dari Bank Century Gate ini yg diketengahkan oleh para ekonom Indonesia termasuk Wapres Boediono, MENKEU Sri Mulyani, para ekonom dari UI (Universitas Indonesia) seperti Faisal Basri, Muhammad Chatib Basri, Hadi Soesastro dan para ekonom Indonesia lainya dalam membela kebijaksanaan bail-out terhadap Bank Century.
*

1). Theori Sri Mulyani: (Theori Rumah Kebakaran)
*

(Quote)
*
Sri Mulyani mengatakan: “Di sebuah perkampungan yang amat padat, terjadi kebakaran. Kebetulan pemilik rumah tersebut adalah orang yang jahat. Kita bisa saja membiarkan rumah itu terbakar, tetapi akibatnya rumah di sekitarnya akan ikut terbakar, dan seluruh perkampungan akan terbakar. Maka kita tak bisa mengambil risiko—siapa pun pemilik rumah tersebut—kita harus memadamkan apinya. Bukan untuk menolong dia, tetapi untuk menyelamatkan seluruh kampung. Dan ini tak hanya terjadi dengan Century di Indonesia.”
(Unquote)
*
Alasanya Sri Mulyani membil-out Bank Century ibarat memadamkan api sebuah rumah yg sedang terbakar; sekecil apapun rumah itu dan sejahat apapun pemilik rumahnya, apinya perlu dipadamkan agar tidak merembet ke rumah-rumah lain disekitarnya yg akhirnya, akan membakar seluruh rumah di perkampungan itu.
*
Yang menarik dari Theori Sri Mulyani ini adalah kenyataan di lapangan bahwanya rumah yg terbakar waktu itu bukan hanya satu saja, Bank kecil yg punya masalah waktu itu bukan Bank Century saja. Ada sekitar 23 Bank kecil yang mengalami hal yang sama, diantaranya adalah Bank IFI. Tapi kenapa Bank IFI ditutup, dan Bank Century di selamatkan, atau dibailed-out?
*
Wapres Boediono membantah:
*
Wapres Boediono bilang kalau Bank IFI itu ditutup waktu krisis ekonomi sudah mereda, tidak explosive, tidak gawat lagi walaupun penutupan bank IFI itu terjadi ditahun yg sama 2008.
*
Ibarat satu rumah milik Century kebakaran dan dipilih untuk dipadamkan oleh Boediono dan Sri Mulyani, tapi rumah milik IFI yg juga sedang kebakaran tapi tidak dipadamkan oleh Boediono dan Sri Mulyani, karena waktu kebakaran terjadi dirumah IFI, anginya tidak kencang, sekencang waktu rumah Century terbakar. Wow…!
*
Karena itu rumah IFI dibiarkan TERBAKAR, sebab apinya tidak akan merembet ke rumah orang lain yang ada disekitarnya, yang akan membakar rumah diseluruh desa.
*
What an interesting analogy! I got the kick out of it. Really! Satu analogy dan theori yang tidak masuk akal dan sulit diterima, even though I have to admit: it is very entertaining!
*
Begitu cepatkah peredaan krisis ekonomi disuatu negara seperti Indonesia, khususnya yg terjadi pada perbankan di Indonesia?
*
Di Amerika sendiri, setelah 2 tahun dari kebijaksaan bail-out terhadap perbankan dikeluarkan, krisis perbankan di Amerika masih terasa sekali, ribuan orang tiap bulan masih harus kehilangan rumah karena tidak mampu membayar mortgage, banyak orang kena PHK, kehilangan pekerjaan tiap bulanya, banyak usahanya yang gulung tikar, sepi dan tidak mengahasilkan penghasilan yg cukup, housing foreclosure masih terdengar tiap bulan ribuan rumah dalam presentase yang jauh lebih tinggi dari bulan yg sama dari tahun sebelumnya, banyak pensiunan yg kehilangan dana pensiun mereka entah itu berupa investment dan equity dan pengangguran di Amerika hingga saat ini (December 2009) mencapai double digit (12%).
*

Dari sini jelas bahwasanya, untuk mengembalikan krisis ekonomi atau krisis perbankan di suatu negara pada situasi atau level yang sama seperti dimasa sebelum krisis itu terjadi, perlu waktu yang lama dan kadang-kadang perlu tahunan. Bisa dibilang mustahilah (highly unlikely) bila kriris ekonomi itu bisa dilakukan dalam waktu beberapa minggu saja (mingguan) atau beberapa bulan saja (bulanan.) seperti yang di klaim oleh Wapres Boediono! Bila hal itu terjadi ada kemungkinan besar, krisis itu belum terjadi atau, tidak terjadi dan yang ada hanya potensi atau spekulasi belaka!
*
Benarkah alasan Wapres Boediono yg mengatakan saat Bank IFI ditutup, krisis ekonomi dan perbankan di Indonesia sudah mereda? Atau krisis ekonomi itu hanya sebuah potensi yg belum pasti, belum terjadi dan hanya spekulasi seperti yang disampaikan diatas?
*
Krisis ekonomi terhadap kehidupan perbankan tidak bisa dianologikan seperti itu. It’s just a different ball game karena terlalu banyak hal-hal lain yg sngat dominant (there are many UNDERLYING ISSUES and FACTORS) yg melatarbelakangi krisis perbankan, apalagi impactnya terhadap perekonomian di suatu negara! 
*
Dan krisis perbankan itu kalau ada; kalau memang terjadi, perlu waktu yg panjang untuk MEREDA, karena proses pembail-outan itu perlu WAKTU to kick in (untuk menghasilkan effectnya), untuk menjadikan dan menciptakan aktivitas pasar yg positive dan tenang, untuk menarik consumer confidence kembali. Semuanya ini perlu waktu, (it takes time)!  Saya sangat meragukan sekali argumentasi Wapres Boediono yg mengatakan kiris ekonomi Indonesia sudah mereda waktu BANK IFI ditutup! It’s too short of time bagi suatu krisis ekonomi atau krisis perbankan di suatu negara untuk bisa diatasi.
*
Untuk lebih jelasnya, silahkan dianalisa tulisan saya dibawah yg saya tulis untuk menanggapi argumentasi Wapres Boediono yg diberikan kepada anggota Pansus Desember 12, 2009 yang ada pada edisi ke-1.
*
2). Theori Wapres Boediono: (Theori Ikan)
*
(Quote)
"Bank itu seperti ikan yang berenang di air likuiditas. Apalagi uang mengalir terus ke luar Indonesia. Kalau airnya kering, ikannya mati," kata Boediono.

(Unquote)
*

In short, memang benar theori Wapres Boediono ini bahwasanya: “Bank itu seperti ikan yg berenang di air likuiditas. Kalau airnya kering, ikanya mati!”

Tapi kalau ikanya berenang di kolam, sedangkan air yg hilang itu nilainya hanya se-ember, apakah kolamnya akan kering dan ikanya mati?
*

Bahkan, kalau kolamnya itu kehilangan banyak air dan hanya tinggal seember air yg tersia di kolam, ikanya pun masih akan bisa memperhatankan hidup.
*

Fakta dan data on the ground tidak separah itu. Bank Century is too small in term of size, asset, liability dan tidak terdaftar sebagi bank sistematik untuk bisa membuat perbankan dan perekonomian Indonesia jungkir balik. Banyak other underlying factors yg tidak mendukung claim itu.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tembang Macapat Pangkur dan Maknanya

Tembang macapat pangkur banyak digunakan pada tembang-tembang yang bernuansa Pitutur (nasihat), pertemanan, dan cinta. Baik rasa cinta kepada anak, pendamping hidup, Tuhan dan alam semesta. Banyak yang memaknai tembang macapat pangkur sebagai salah satu tembang yang berbicara tentang seseorang yang telah menginjak usia senja, dimana orang tersebut mulai mungkur atau mengundurkan diri dari hal-hal keduniawian. Oleh karena itu sangat banyak tembang-tembang macapat pangkur yang berisi nasihat-nasihat pada generasi muda. (baca juga : Macapat Pangkur, Meninggalkan Urusan Duniawi) Salah satu contoh tembang macapat pangkur yang populer di masyarakat adalah karya KGPAA Mangkunegoro IV yang tertuang dalam Serat Wedatama, pupuh I, yakni : Mingkar-mingkuring ukara (Membolak-balikkan kata) Akarana karenan mardi siwi (Karena hendak mendidik anak) Sinawung resmining kidung (Tersirat dalam indahnya tembang) Sinuba sinukarta (Dihias penuh warna ) Mrih kretarta pakartining ilmu luhun

HAKIKAT SHOLAT MENURUT SYEKH SITI JENAR

http://www.javalaw-bmg.blogspot.com Peliharalah shalatmu dan shalat wustha. Berdirilah untuk Allah (dalam shalat) yang khusyuk (QS Al. Baqarah / 2:238). Ini adalah penegasan dari Allah tentang kewajiban dan keharusan memelihara shalat, baik segi dzahir maupun batin dengan titik tekan khusyuk, kondisi batin yang mantap. Secara lahir, shalat dilakukan dengan berdiri, membaca Al-Fatihah , sujud, duduk dsb. Kesemuanya melibatkan keseluruhan anggota badan. Inilah shalat jasmani dan fisikal. Karena semua gerakan badan berlaku dalam semua shalat, maka dalam ayat tersebut disebut shalawaati (segala shalat) yang berarti jamak. Dan ini menjadi bagian pertama, yakni bagian lahiriah. Bagian kedua adalah tentang shalat wustha, yaitu yang secara sufistik adalah shalat hati. Wustha dapat diartikan pertengahan atau tengah-tengah. Karena hati terletak di tengah, yakni di tengah diri, maka dikatakan shalat wustha sebagai shalat hati. Tujuan shalat ini adalah untuk mendapatkan kedamaian dan

Surat Penawaran Jasa Desain Grafis

SURAT PENAWARAN JASA Banyumas, 27 September 2013 Nomor             :    27/EM/offr/2013 Lampiran          :   1 CD contoh hasil kerja Perihal            :   Penawaran Jasa Desain Grafis Kepada, Yth. PT   Selaras Sentosa Jl S. Parman Purwokerto Selatan Dengan hormat, Kami, CV Elsa Advertising, adalah perusahaan multimedia yang bergerak di bidang desain grafis dan percetakan. Kami menerima desain grafis mulai dari desain logo, pamflet, flyer, poster, x banner dan lain-lain, juga menyediakan jasa printing untuk kebutuhan periklanan. Apabila perusahaan Bapak membutuhkan desain logo ataupun desain banner sekaligus cetak, kami siap membantu perusahaan anda. Kepuasan pelanggan merupakan tujuan kami bekerja dan kami akan buktikan semua itu jika Bapak berkenan mempercayakan desain dan printing melalui layanan kami. Garansi jika belum puas boleh direvisi tanpa batas selama hasil design belum dicetak. Demikian surat penawaran ini kami ajukan. Dan