PADA suatu hari, musim haji abad ke-2  
Hijriyah, Abu Bashir berada di  Mesjid Al-Haram. Ia terpesona  
menyaksikan ribuan orang bergerak thawaf  mengelilingi Ka’bah, seraya  
mendengarkan gemuruh tahlil, tasbih, dan  takbir mereka.
Abu Bashir membayangkan, betapa  beruntungnya orang-orang  itu.
Mereka telah mendapat panggilan Tuhan,  
tentu mereka semua akan  mendapat pahala dan ampunan-Nya. Imam Ja’far 
al-Shadiq, tokoh spiritual  yang terkenal dan salah satu ulama besar 
dari keluarga Rasulullah SAW,  berkata, “Inginkan kutunjukkan kepadamu 
siapa mereka?”, lalu Imam Ja’far  menyuruh Abu Bashir menutup matanya.
Kemudian Imam  
Ja’far mengusap wajahnya. Ketika membuka lagi matanya,  Abu Bashir  
terkejut. Di sekitar Ka’bah, ia melihat banyak sekali  binatang dalam  
berbagai jenisnya- mendengus, melolong, mengaum. Imam  Ja’far berkata,  
“Betapa banyaknya lolongan dan teriakan; betapa  sedikitnya yang haji.”
Anda boleh jadi tidak begitu saja  
percaya dengan riwayat atau cerita  diatas. Apa yang disaksikan Abu  
Bashir pertama kali adalah tubuh-tubuh  manusia, dan yang dilihat untuk 
 kedua kalinya adalah bentuk ruhani  mereka.
Kita adalah makhluk yang hidup di dua  
alam sekaligus. Tubuh kita  hidup di alam fisik, nyata dimana kita bisa 
 melihat dan mencerapnya,  kita raba dan rasakan, yang disebut para 
ulama  sebagai alam nasut.  Sedangkan ruh kita hidup di alam metafisik 
(alam malakut). Ruh tidak  dapat dilihat oleh mata lahir, karena berada 
di alam malakut,  dan ia  adalah bagian dari batiniah kita. Namun, ada 
sebagian dari kita  yang  memiliki kemampuan dan melatih mata batin ini 
sehingga dapat  menengok ke  alam malakut, melihat ruh dirinya dan orang
 lain.
Sebagaimana tubuh, ruh jauh lebih beragam
 dari rupa tubuh. Ruh dapat  betul-betul berwujud binatang – babi atau 
kera. Allah berfirman,  “Katakanlah: Apakah akan Aku beritakan kepadamu 
tentang  orang-orang yang  lebih buruk kedudukannya di sisi Allah, yaitu
  orang-orang yang dikutuk  dan dimurka Allah; di antara mereka ada yang
  dijadikan kera dan babi dan  penyembah thogut? Mereka itu lebih buruk 
 tempatnya dan lebih tersesat  dari jalan yang lurus.” (QS. Al-Maidah:  
60)
Mata Hati dan Mata Bathin
Ketika menjelaskan tentang hati, Imam 
Al-Ghazali menjelaskan dua macam  mata; mata lahir (bashar) dan mata 
bathin  (bashirah). Dengan mata lahir  kita bisa melihat wujud lahiriah 
kita,  menyaksikan alam semesta ini.  Bentuk lahiriah kita hanyalah 
penampakan  dari bentuk lahir dan bukan  bentuk kita sebenarnya, bukan 
penampilan  dari bentuk batiniah kita.  Dengan bashirah, kita akan mampu
 melihat  diri kita, wujud kita yang  sebenarnya.
Dengan menggunakan istilah Imam  
Al-Ghazali, bashar hanya dapat  melihat khalq (wujud fisik), sedangkan  
bashirah mampu melihat khuluq  (wujud ruhani). Kata khuluq adalah kata  
jamak dari kata akhlaq, wujud  ruhaniah kita. Sedang, Al-Quran menyebut 
wujud ruhani kita sebagai hati  (qalbu). Dan, sebagaimana  wujud fisik 
yang bisa mendapat serangan  penyakit, qalbu (ruhani  manusia) juga bisa
 terjangkit penyakit, yakni  penyakit ruhani atau  penyakit hati 
(qalbu). “Fi qulubihim marodhun  fazaadahumullahu  marodhaa”, Di dalam 
qalbu mereka ada penyakit, lalu  Allah tambah  penyakit itu (QS. 2:10).
Qalb, Fuad & Lub Pandangan tentang “hati”
Qalb mempunya dua makna: qalb dalam 
bentuk fisik dan qalb dalam bentuk   ruh. Dalam arti fisik, qalb dapat 
kita terjemahkan sebagai “jantung”.   Dalam hubungan inilah Nabi SAW 
bersabda, “Di dalam tubuh itu ada   mudghah, ada suatu daging; yang 
apabila ia baik, maka baiklah seluruh   tubuh dan apabila ia rusak, maka
 rusaklah seluruh tubuh itu. Ketahuilah   mudghah itu adalah qalb.”
Para mubaligh sering menerjemahkan qalb  
di sini sebagai “hati”,  sehingga mereka berkata, “Kalau hati kita ini  
bersih maka seluruh tubuh  kita bersih” Padahal sebenarnya yang dimaksud
  di sini adalah hati dalam  bentuk jasmani, karena itulah Nabi SAW  
menyebutnya segumpal daging  (mudghah). Sebagaimana jantung memegang  
peranan dalam kesehatan tubuh  kita, hati (qalb dalam arti wujud ruhani)
  juga memegang peranan yang  amat penting dalam kesehatan ruhani kita. 
 “Hati itu bagaikan raja, dan  hati itu memiliki bala tentara. Apabila  
raja itu baik, maka baiklah  seluruh bala tentaranya, dan kalau hati itu
  rusak, maka rusaklah seluruh  bala tentaranya” (Kanzul Ummal:1205).
Dalam Mafatih al-Ghaib ketika membahas  
tentang struktur ruhani  manusia, klasifikasi qalbu dibagi kedalam tiga 
 derajat ; qalb, fuad  & lub. Pertama, Qalb, sesuai dengan artinya  
bolak-balik, tempat  bergumulan antara yang haq dan bathil.
Ada juga qalb dalam arti kekuatan  
ruhaniah yang mampu melakukan  peng-idrak-an, memahami, mempersepsi dan 
 mencerapi. Kedua, Fuad, adalah  hati yang dapat memaksimalkan fungsi  
rasional (‘aqal), sebagaimana  ucapan Nabi SAW, “Akal itu ada dua, satu 
 di kepala, dan satu di hati”.  Ketiga, Lub adalah qalb yang hanya bisa 
 dimasuki oleh cahaya Tuhan,  Lub-lah yang menjadi “wadah” Allah SWT di 
bumi. Lub yang disinari oleh  cahaya Tuhan inilah yang mampu  menjadikan
 seorang insan bisa  mengembangkan nilai-nilai spiritualnya  (aspek 
ruhaniah) sampai ketingkat  maqam malaikat. Imam Ja’far  ash-Shadiq juga
 mengatakan, “Sesungguhnya  Allah punya wadah di bumi dan  wadah itu 
adalah hati. Maka sesungguhnya  hati yang dicintai oleh Allah  adalah 
hati yang lembut, yang bersih dan  yang kokoh.”
(source: kampoengsufi)
Komentar