Peningkatan Kepatuhan Melalui Perubahan Formulir Pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Khusus Kategori PP 46/2013
Peluncuran produk telepon genggam
pertamanya di tahun 1988 dan penjualannya terus mengalami penurunan hingga
tahun 1990-an. Menyerah di bidang perangkat telekomunikasi bergerak atau mobile
phone merupakan suatu pertimbangan di tahun 2000 hingga akhirnya diputuskan
untuk memfokuskan pada inovasi dan pengembangan produk elektronik lainnya.
Tahun 2005, berhasil mengalahkan
Sony, tahun 2007 mengalahkan Motorola, 2009 mengalahkan Hewlett-Packard dan di
tahun 2012 berhasil mengalahkan Nokia dan Blackberry. Samsung terus melaju
berkat perubahan yang terus menerus dan perbaikan yang konsisten, inovasi dan
pengembangan adalah wajib hukumnya.
Hal tersebut sejalan dengan yang
diungkapkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono dalam akun twitter-nya: “Tidak ada
sistem atau tatanan yang sempurna, sehingga koreksi secara berkesinambungan
diperlukan untuk mencapai cita-cita bangsa yang adil dan makmur. Sistem dan
tatanan sempurna adalah ilusi. Kita perlu menginsyafi bahwa yang abadi adalah
koreksi terus menerus dan perbaikan berkelanjutan”.
Kewajiban
Perpajakan
Kewajiban perpajakan bagi orang
pribadi atau badan yang telah memenuhi persyaratan Subjektif dan Objektif
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 19, meliputi:
- Mendaftarkan diri untuk memiliki NPWP NPWP merupakan suatu sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dan juga digunakan untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan. Terhadap Wajib Pajak yang tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
- Menghitung, memperhitungkan dan menyetorkan pajak yang terutang Sesuai dengan sistim self assessment yang dianut perpajakan Indonesia, Wajib Pajak diharuskan untuk menghitung, memperhitungkan dan menyetorkan sendiri pajak yang terutang sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku.
- Wajib mengisi Surat Pemberitahuan (SPT) dengan benar, lengkap, jelas dan menandatanganinya. Yang dimaksud dengan benar, lengkap, dan jelas dalam mengisi Surat Pemberitahuan adalah: a. Benar adalah benar dalam perhitungan, termasuk benar dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dalam penulisan, dan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya; b. Lengkap adalah memuat semua unsure-unsur yang berkaitan dengan objek pajak dan unsure-unsur lain yang harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan ; dan c. Jelas adalah melaporkan asal-usul atau sumber dari objek pajak dan unsure-unsur lain yang harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan.
- Menyampaikan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang: a. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak; b. Penghasilan yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek pajak; c. Harta dan kewajiban; dan/atau d. Pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Inovasi-Inovasi
Administrasi Perpajakan
Direktorat Jenderal Pajak telah
melakukan berbagai upaya untuk dapat memudahkan WP dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya. Diawali dengan kewajiban yang pertama kali harus dipenuhi Wajib
Pajak ketika mereka memenuhi persyaratan subjektif dan objektif yaitu
mendaftarkan diri untuk memiliki NPWP.
Ada beberapa cara yang dilakukan WP
untuk memperoleh NPWP, yaitu WP dapat datang sendiri ke KPP (KP2KP) yang tempat
wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal dari WP atau dapat juga mendatangi
Pojok Pajak yang terdapat di tempat keramaian (mall, gedung perkantoran).
Apabila hal-hal tersebut juga sulit dilakukan, DJP juga menyediakan pendaftaran
online melalui situs www.pajak.go.id.
Sebelumnya, DJP juga pernah
memberikan kemudahan pemberian NPWP massal melalui pemberi kerja, dimana
pemberi kerja akan menyampaikan data-data karyawannya yang belum ber-NPWP untuk
diberikan NPWP. Semua usaha itu dilakukan untuk memenuhi amanat Undang-undang
sebagaimana diatur Pasal 2 UU No. 16 Tahun 2009.
Guna memberikan kemudahan kepada
Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan yang memiliki peredaran tertentu yaitu 4,8
miliar diterbitkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 yang ditujukan
untuk memberikan perlakuan tersendiri mengenai penghitungan, penyetoran dan
pelaporan PPh yang terutang.
WP yang memenuhi ketentuan tersebut
akan dikenai PPh yang bersifat final dengan tarif sebesar 1% (satu persen) dari
jumlah peredaran bruto. Untuk menghitung pajak terutangnya WP tidak lagi
memperhitungkan berapa pengurang penghasilan brutonya, berapa koreksi
fiskalnya, berapa norma penghasilannya, berapa penghasilan yang telah dipotong
pihak lain, berapa PTKP-nya dan berbagai penghitungan lainnya yang diperlukan
untuk mendapatkan hasil berapa sebenarnya pajak yang terutang yang harus
dibayar pada akhir tahun.
WP cukup memperhitungkan omset per
bulan-nya dan penghitungan pajak terutang hanya 1%, bersifat final atau tidak
ada lagi penghitungan dan pembayaran setelah akhir tahun. Setelah penghitungan
pajak terutang 1% dari peredaran bruto, maka selanjutnya adalah penyetoran.
Kementerian Keuangan Republik
Indonesia telah menunjuk hampir seluruh bank umum nasional yang telah memenuhi
kriteria sesuai KMK-296/KMK.03/2003 untuk menjadi bank persepsi penerima
pembayaran pajak termasuk kantor pos.
WP datang sendiri ke bank
persepsi/kantor pos dengan membawa formulir Surat Setoran Pajak yang telah
diisi untuk menyetorkan pajaknya hingga divalidasi oleh bank persepsi penerima
pembayaran/kantor pos bahwa setoran telah diterima. Selain cara tersebut, telah
dikembangkan juga sistim pembayaran pajak melalui ATM dan online banking.
Pembayaran pajak melalui ATM akan
banyak memudahkan bagi WP dengan omset di bawah 4,8 miliar mengingat
jaringannya yang demikian luas memudahkan untuk mengaksesnya, kapan saja dan
dimana saja. Dalam pelaporan SPT, WP dapat melaporkan dalam bentuk kertas atau
hardcopy dengan datang langsung ke KPP/KP2KP terdekat atau menyampaikannya ke
gerai dropbox di pusat keramaian seluruh Indonesia.
Selain itu juga, DJP juga telah
mengembangkan e-filing (walaupun masih terbatas pada SPT 1770S dan 1770SS)
dengan cara mengakses pada situs www.pajak.go.id. Inovasi-inovasi sebagaimana
tersebut di atas yang telah dikembangkan DJP selain untuk memudahkan WP dalam
memenuhi kewajiban perpajakannya, telah banyak juga memangkas kegiatan
administrasi perpajakan yang sangat membutuhkan tenaga, waktu dan uang.
Berapa banyak sumber daya manusia
yang dialokasikan untuk pengadministrasian SPT, berapa lama data yang
disampaikan WP bisa ditampilkan dalam sistim dan berapa banyak alat tulis
kantor dan lainnya yang diperlukan untuk pengadministrasian tersebut. Sistim
administrasi perpajakan yang efisien dan efektif akan sangat mempengaruhi
kegiatan pengawasan dan penegakan hukum yang akan dilakukan.
Data yang valid, menyeluruh dan
kemudahan akses akan memberikan kualitas pengawasan yang mumpuni yang
memungkinkan kegiatan pengawasan dilakukan secara real time, demikian pula
dengan penegakan hukum.
Bila setiap kesalahan atau
pelanggaran perpajakan dapat diketahui secara dini, tindak lanjut sesuai
ketentuan perpajakan yang berlaku dapat segera dilaksanakan baik berupa
pengenaan sanksi administrasi maupun sanksi pidana perpajakan.
Apabila hal tersebut dilakukan
berkesinambungan maka biaya ketidakpatuhan akan menjadi lebih tinggi dibanding
manfaat yang diterima, sehingga kepatuhan sukarela akan tercipta.
Penyederahanan
Administrasi Melalui PP 46 Tahun 2013
Sesuai hasil forum administrasi
perpajakan untuk usaha kecil menengah OECD (Organization for Economic
Co-operation and Development) perilaku kepatuhan WP dijabarkan sebagai berikut:
Sementara itu dari sisi WP, biaya
Pajak yang dikeluarkan bukan hanya meliputi pajak yang dibayarkan ke kas
negara, namun juga biaya-biaya lain yang dikeluarkan untuk pemenuhan kewajiban
perpajakan. Seperti diketahui bersama, banyak WP usahawan yang beromset di
bawah 4,8 miliar memiliki keterbatasan pengetahuan tentang bagaimana
menyelenggarakan pencatatan ataupun akuntansi yang sesuai ketentuan perpajakan.
Keterbatasan pengetahuan perpajakan
WP, kerumitan pelaporan SPT setiap bulannya, dan pengisian SPT Tahunan yang
formulirnya sedemikian banyaknya pada akhirnya menjadi dasar logika WP untuk
tidak melakukan sendiri kewajiban perpajakannya.
Sebagian besar WP menggunakan tenaga
konsultan pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya mulai dari menghitung,
memperhitungkan dan melaporkan kewajiban perpajakan sehingga menimbulkan biaya
pajak tambahan bagi WP untuk membayar konsultan pajak.
Dengan adanya tambahan biaya pajak
tersebut, pada akhirnya WP mencoba memperhitungkannya dengan jumlah pajak yang
disetor kas Negara yaitu dengan cara tidak melaporkan omset sebenarnya yang
menyebabkan pajak terutang menjadi berkurang.
Contoh:
WP membayar PPh terutang tiap
bulannya Rp100 ribu dan membayar fee konsultan pajak sebesar Rp500 ribu, dengan
demikian biaya pajak riil yang dikeluarkan WP sebesar Rp600 ribu per bulannya.
Jika diasumsikan dengan pajak terutang sebesar Rp100 ribu adalah omset Rp500 juta
maka tambahan biaya pajak sebesar Rp500 ribu menyebabkan berkurangnya omset
sebesar Rp2,5 miliar (asumsi tarif PPh tunggal).
Dapat disimpulkan bahwa perilaku WP
dengan omset di bawah Rp4,8 miliar ada di tingkatan assist to comply, yaitu
memerlukan bantuan untuk kepatuhannya baik itu dari segi penghitungan pajaknya,
perhitungan pajaknya sampai dengan pelaporan pajaknya.
Seperti dijabarkan sebelumnya, DJP
telah banyak memberikan kemudahan bagi WP beromset di bawah Rp4,8 miliar,
dimulai dari tahapan penghitungan dengan penerapan tarif tunggal 1% dan
bersifat final, hingga tidak adanya kewajiban pelaporan setiap bulannya bagi WP
PP 46 yang telah menyetorkan PPh terutangnya ke Bank Persepsi.
Namun demikian masih terdapat 1
(satu) permasalahan yang belum terselesaikan yaitu kerumitan pelaporan SPT
Tahunan bagi WP PP 46. Formulir SPT yang digunakan untuk pelaporan masih
menggunakan formulir 1770 atau 1771, dimana hal ini membuat WP patah arang
untuk dapat menjalankan sendiri kewajiban pelaporannya karena sedemikian
tebalnya data yang harus diisi walaupun mereka tidak ada lagi kurang bayar PPh
29.
Dari sisi outcomes yang akan dicapai
yaitu kepatuhan sukarela, dapat tercapai apabila perilaku WP itu berubah yaitu
dari assist to comply menjadi make it easy. Tanpa perubahan pelaporan SPT
Tahunan PPh bagi WP PP 46 menjadi lebih sederhana dan mudah di isi, maka
perilaku WP tidak akan berubah dan akan terus menggunakan jasa konsultan pajak
untuk memenuhi kewajiban perpajakannya.
Sesungguhnya tidak banyak data yang
diperlukan dari WP PP 46. Jumlah omset sudah dapat diketahui dari besarnya PPh
terutang PP 46 yang disetor tiap bulannya dan tidak ada lagi kredit pajak yang
diperhitungkan. Untuk OP, mungkin hanya daftar harta dan keluarga saja yang
diperlukan, sementara untuk badan Laporan Keuangan tetap menjadi keharusan.
Seandainya saja SPT Tahunan WP PP 46
dirubah dan menjadi hanya 1 (satu) lembar saja seperti SPT 1770SS, maka ini
akan sangat memudahkan dan berharap WP akan menjalankan sendiri kewajiban
perpajakannya.
Bila WP mau menjalankan sendiri
kewajibannya, maka akan hilang biaya pajak tambahan dan dengan demikian WP mau
melaporkan omset yang sebenarnya, yang tentunya akan menambah penerimaan pajak
dan kepatuhan sukarela akan tercipta dengan sendirinya.
Referensi : Margono, Pegawai Direktorat Jendral Pajak
Komentar