Dalam
bait-bait yang telah dikutip dapat kita lihat bahwa pada permulaan suluknya
Sunan Bonang menekankan bahwa Tuhan dan manusia itu berbeda. Tetapi karena manusia adalah gambaran Tuhan,
maka pengetahuan diri; dapat membawa seseorang mengenal Tuhannya. Pengetahuan diri di sini terangkum dalam pertanyaan: Apa dan siapa sebenarnya manusia itu? Bagaimana kedudukannya di
atas bumi? Dari mana ia berasal dan kemana ia pergi setelah mati? Pertama-tama, diri yang
dimaksud penulis sufi ialah diri
ruhani bukan diri jasmani karena ruhlah yang merupakan esensi kehidupan manusia, bukan jasmaninya. Kedua kali, sebagaimana dikemukakan dalam al-Quran, surat al-Baqarah, manusia dicipta oleh Allah sebagai khalifah-Nya di atas bumi dan sekaligus sebagai hamba-Nya. Itulah hakikat kedudukan manusia di muka bumi. Ketiga, persoalan dari mana berasal dan kemana perginya tersimpul dari ucapan Inna li Allah wa inna li Allahi rajiun (Dari Allah kembali ke Allah).
ruhani bukan diri jasmani karena ruhlah yang merupakan esensi kehidupan manusia, bukan jasmaninya. Kedua kali, sebagaimana dikemukakan dalam al-Quran, surat al-Baqarah, manusia dicipta oleh Allah sebagai khalifah-Nya di atas bumi dan sekaligus sebagai hamba-Nya. Itulah hakikat kedudukan manusia di muka bumi. Ketiga, persoalan dari mana berasal dan kemana perginya tersimpul dari ucapan Inna li Allah wa inna li Allahi rajiun (Dari Allah kembali ke Allah).
Demikianlah sebagai karya bercorak tasawuf paling awal dalam sastra Jawa,
kedudukan Suluk Wujil dan suluk-suluk Sunan Bonang yang lain sangatlah penting. Sejak awal pengajarannya tentang
tasawuf, Sunan Bonang menekankan bahwa konsep fana atau persatuan mistik dalam tasawuf tidak
mengisyaratkan kesamaan manusia dengan Tuhan, yaitu yang menyembah dan Yang Disembah.
Seperti penyair sufi Arab, Persia dan Melayu, Sunan Bonang dalam mengungkapkan ajaran tasawuf dan pengalaman keruhanian yang dialaminya di jalan tasawuf menggunakan baik simbol (tamsil) yang diambil dari budaya Islam universal maupun dari budaya lokal. Tamsil-tamsil dari budaya Islam universal yang digunakan ialah burung, cermin, laut, Mekkah (tempat Kabah atau rumah Tuhan) berada, sedangkan dari budaya lokal antara lain ialah tamsil wayang, lakon perang Kurawa dan Pandawa (dari kisah Mahabharata) dan bunga teratai. Tamsil-tamsil ini secara berurutan dijadikan sarana oleh Sunan Bonang untuk menjelaskan tahap-tahap perjalanan jiwa manusia dalam upaya mengenal dirinya yang hakiki, yang melaluinya pada akhirnya mencapai makrifat, yaitu mengenalTuhannya secara mendalam melalui penyaksian kalbunya. Tasawuf dan Pengetahuan Diri Secara keseluruhan jalan tasawuf merupakan metode-metode untuk mencapai pengetahuan diri dan hakikat wujud tertinggi, melalui apa yang disebut sebagai jalan Cinta dan penyucian diri.
Seperti penyair sufi Arab, Persia dan Melayu, Sunan Bonang dalam mengungkapkan ajaran tasawuf dan pengalaman keruhanian yang dialaminya di jalan tasawuf menggunakan baik simbol (tamsil) yang diambil dari budaya Islam universal maupun dari budaya lokal. Tamsil-tamsil dari budaya Islam universal yang digunakan ialah burung, cermin, laut, Mekkah (tempat Kabah atau rumah Tuhan) berada, sedangkan dari budaya lokal antara lain ialah tamsil wayang, lakon perang Kurawa dan Pandawa (dari kisah Mahabharata) dan bunga teratai. Tamsil-tamsil ini secara berurutan dijadikan sarana oleh Sunan Bonang untuk menjelaskan tahap-tahap perjalanan jiwa manusia dalam upaya mengenal dirinya yang hakiki, yang melaluinya pada akhirnya mencapai makrifat, yaitu mengenalTuhannya secara mendalam melalui penyaksian kalbunya. Tasawuf dan Pengetahuan Diri Secara keseluruhan jalan tasawuf merupakan metode-metode untuk mencapai pengetahuan diri dan hakikat wujud tertinggi, melalui apa yang disebut sebagai jalan Cinta dan penyucian diri.
Cinta yang dimaksudkan para sufi ialah
kecenderungan kuat dari kalbu kepada Yang Satu, karena pengetahuan tentang hakikat ketuhanan hanya dicapai tersingkapnya cahaya penglihatan batin (kasyf) dari dalam kalbu manusia (Taftazani 1985:56). Tahapan-tahapan jalan tasawuf dimulai dengan penyucian diri, yang oleh Mir Valiuddin (1980;1-3) dibagi tiga: Pertama, penyucian jiwa atau nafs (thadkiya al-nafs); kedua, pemurnian kalbu (tashfiya al-qalb); ketiga, pengosongan pikiran dan ruh dari selain Tuhan (takhliya al-sirr). Istilah lain untuk metode penyucian diri ialah mujahadah, yaitu perjuangan batin untuk mengalah hawa nafsu dan kecenderungan-kecenderungan buruknya. Hawa nafsu merupakan representasi dari jiwa yang menguasai jasmani manusia (diri jasmani). Hasil dari mujahadah ialah musyahadah da mukasyafah. Musyahadah ialah mantapnya keadaan hati manusia sehingga dapat memusatkan penglihatannya kepada Yang Satu, sehingga pada akhirnya dapat menyaksikan kehadiran rahasia-Nya dalam hati. Mukasyafah ialah tercapainya kasyf, yaitu tersingkapnya tirai yang menutupi cahaya penglihatan batin di dalam kalbu. Penyucian jiwa dicapai dengan memperbanyak ibadah dan amal saleh. Termasuk ke dalam ibadah ialah melaksanakan salat sunnah, wirid, zikir, mengurangi makan dan tidur untuk melarih ketangguhan jiwa. Semua itu dikemukakan oleh Sunan Bonang dalam risalahnya Pitutur Seh Bari dan juga oleh Hamzah Fansuri dalam Syarab al-`Asyiqin (Minuman Orang Berahi;). Sedangkan pemurnian kalbu ialah dengan membersihkan niat buruk yang dapat memalingkan hati dari Tuhan dan melatih kalbu dengan keinginan-keinginan yang suci. Sedangkan pengosongan pikiran dilakukan dengan tafakkur atau meditasi, pemusatan pikiran kepada Yang Satu. Dalam sejarah tasawuf ini telah sejak lama ditekankan, terutama oleh Sana’i, seorang penyair sufi Persia abad ke-12 M. Dengan tafakkur, maka pikiran seseorang dibebaskan dari kecenderungan untuk menyekutuhan Tuhan dan sesembahan yang lain (Smith 1972:76-7). Dalam Suluk Wujil juga disebutkan bahwa murid-muridnya menyebut Sunan Bonang sebagai Ratu Wahdat. Istilah wahdat merujuk pada konsep sufi tentang martabat (tinbgkatan) pertama dari tajalli Tuhan atau pemanifestasian ilmu Tuhan atau perbendaharaan tersembunyi-Nya (kanz makhfiy) secara bertahap dari ciptaan paling esensial dan bersifat ruhani sampai ciptaan yang bersifat jasmani. Martabat wahdat ialah martabat keesaan Tuhan, yaitu ketika Tuhan menampakkan keesaan-Nya di antara ciptaan-ciptaan-Nya yang banyak dan aneka ragam. Pada peringkat ini Allah menciptakan esensi segala sesuatu (hakikat segala sesuatu (haqiqat al-ashya).
kecenderungan kuat dari kalbu kepada Yang Satu, karena pengetahuan tentang hakikat ketuhanan hanya dicapai tersingkapnya cahaya penglihatan batin (kasyf) dari dalam kalbu manusia (Taftazani 1985:56). Tahapan-tahapan jalan tasawuf dimulai dengan penyucian diri, yang oleh Mir Valiuddin (1980;1-3) dibagi tiga: Pertama, penyucian jiwa atau nafs (thadkiya al-nafs); kedua, pemurnian kalbu (tashfiya al-qalb); ketiga, pengosongan pikiran dan ruh dari selain Tuhan (takhliya al-sirr). Istilah lain untuk metode penyucian diri ialah mujahadah, yaitu perjuangan batin untuk mengalah hawa nafsu dan kecenderungan-kecenderungan buruknya. Hawa nafsu merupakan representasi dari jiwa yang menguasai jasmani manusia (diri jasmani). Hasil dari mujahadah ialah musyahadah da mukasyafah. Musyahadah ialah mantapnya keadaan hati manusia sehingga dapat memusatkan penglihatannya kepada Yang Satu, sehingga pada akhirnya dapat menyaksikan kehadiran rahasia-Nya dalam hati. Mukasyafah ialah tercapainya kasyf, yaitu tersingkapnya tirai yang menutupi cahaya penglihatan batin di dalam kalbu. Penyucian jiwa dicapai dengan memperbanyak ibadah dan amal saleh. Termasuk ke dalam ibadah ialah melaksanakan salat sunnah, wirid, zikir, mengurangi makan dan tidur untuk melarih ketangguhan jiwa. Semua itu dikemukakan oleh Sunan Bonang dalam risalahnya Pitutur Seh Bari dan juga oleh Hamzah Fansuri dalam Syarab al-`Asyiqin (Minuman Orang Berahi;). Sedangkan pemurnian kalbu ialah dengan membersihkan niat buruk yang dapat memalingkan hati dari Tuhan dan melatih kalbu dengan keinginan-keinginan yang suci. Sedangkan pengosongan pikiran dilakukan dengan tafakkur atau meditasi, pemusatan pikiran kepada Yang Satu. Dalam sejarah tasawuf ini telah sejak lama ditekankan, terutama oleh Sana’i, seorang penyair sufi Persia abad ke-12 M. Dengan tafakkur, maka pikiran seseorang dibebaskan dari kecenderungan untuk menyekutuhan Tuhan dan sesembahan yang lain (Smith 1972:76-7). Dalam Suluk Wujil juga disebutkan bahwa murid-muridnya menyebut Sunan Bonang sebagai Ratu Wahdat. Istilah wahdat merujuk pada konsep sufi tentang martabat (tinbgkatan) pertama dari tajalli Tuhan atau pemanifestasian ilmu Tuhan atau perbendaharaan tersembunyi-Nya (kanz makhfiy) secara bertahap dari ciptaan paling esensial dan bersifat ruhani sampai ciptaan yang bersifat jasmani. Martabat wahdat ialah martabat keesaan Tuhan, yaitu ketika Tuhan menampakkan keesaan-Nya di antara ciptaan-ciptaan-Nya yang banyak dan aneka ragam. Pada peringkat ini Allah menciptakan esensi segala sesuatu (hakikat segala sesuatu (haqiqat al-ashya).
Esensi segala sesuatu juga disebut bayangan pengetahuan Tuhan(suwar al-ilmiyah) atau hakikat Muhammad yang berkilau-kilauan (nur muhammad). Ibn `Arabi menyebut gerak penciptaaan ini sebagai gerakan Cinta dari Tuhan, berdasar hadis qudsi yang berbunyi, Aku adalah perbendaharaan tersembunyi, Aku cinta (ahbabtu)
untuk dikenal, maka aku mencipta hingga Aku dikenal(Abdul Hadi W. M. 2002:55-60). Maka sebutan Ratu Wahdat dalam suluk ini dapat diartikan sebagai orang yang mencapai martabat tinggi di jalan Cinta, yaitu memperoleh makrifat dan telah menikmati lezatnya persatuan ruhani dengan Yang Haqq.
secara keseluruhan bait-bait dalam Suluk Wujil adalah serangkaian jawaban Sunan Bonang terhadap pertanyaanpertanyaan Wujil tentang aka yang disebut Ada dan Tiada, mana ujung utara dan selatan, apa hakikat kesatuan huruf dan lain-lain. Secara berurutan jawaban yang diberikan Sunan Bonang berkenaan dengan soal: (1) Pengetahuan diri, meliputi pentingnya pengetahuan ini dan hubungannya dengan hakikat salat atau memuja Tuhan. Simbol burung dan cermin digunakan untuk menerangkan masalah ini; (2) Hakikat diam dan bicara; (3) Kemauan murni sebagai sumber kebahagiaan ruhani; (4) Hubungan antara pikiran dan perbuatan manusia dengan kejadian di dunia; (5) Falsafah Nafi
Isbat serta kaitannya dengan makna simbolik pertunjukan wayang, khususnya lakon perang besar antara Kurawa dan Pandawa dari epik Mahabharata; (6) Gambaran tentang Mekkah Metafisisik yang merupakan pusat jagat raya, bukan hanya di alam kabir (macrokosmos) tetapi juga di alam saghir (microcosmos), yaitu dalam diri manusia yang terdalam; (7) Perbedaan jalan asketisme atau zuhud dalam agama Hindu dan Islam. Sunan Bonang menghubungkan hakikat salat berkaitan dengan pengenalan diri, sebab dengan melakukan salat seseorang sebenarnya berusaha mengenal dirinya sebagai ‘yang menyembah’, dan sekaligus berusaha mengenal Tuhan sebagai ‘Yang Disembah’. Pada bait ke-12.
Komentar