Menurut Teori Antropologi, Bangsa Melayu berasal dari percampuran dua bangsa, yaitu Proto Melayu dan Deutero Melayu. Proto Melayu adalah ras Mongoloid, diperkirakan bermigrasi ke Nusantara sekitar tahun 2500-1500 SM, kemungkinan mereka berasal dari daerah : Provinsi Yunnan di selatan Cina, New Guinea atau Kepulauan Taiwan.
Sementara Bangsa
Deutero Melayu berasal dari dataran Asia Tengah dan Selatan, yang
datang ke Nusantara pada sekitar tahun 300 SM. Diperkirakan kedatangan Deutero
Melayu membawa pengaruh budaya India yang kuat dalam sejarah
Nusantara dan Asia Tenggara.
Proto Melayu
dan Sundaland
Sebagaimana
kita pahami bersama, setelah terjadi Peristiwa Bencana Nabi Nuh pada
sekitar tahun 11.000 SM (13.000 tahun yang lalu), semua peradaban di
bumi hancur dan yang tinggal hanya Keluarga Nabi Nuh beserta pengikutnya.
Sekelompok
pengikut Nabi Nuh yang selamat, kemudian membangun peradaban di kawasan Sundaland.
Di kemudian hari, di sekitar Sundaland menjadi sebuah Pusat Peradaban,
yang dikenal sebagai Peradaban Atlantis.
Pada sekitar
tahun 9.600 SM, menurut catatan Plato, Peradaban Atlantis
ini hancur dilanda banjir. Penduduk Atlantis berpencar ke seluruh penjuru
bumi. Mereka kemudian menjadi leluhur bangsa-bangsa di Asia Timur, seperti
ras Mongoloid dan Altai (Sumber : Teori Migrasi Manusia,
untuk menjawab Asal Usul Bangsa Melayu ? dan Patung Sphinx, Bukti
Arkeologis Bencana Nuh 13.000 tahun yang silam).
Setelah
situasi di Nusantara dirasakan cukup tenang, ada sekelompok kecil dari
bangsa Atlantis yang mulai “pulang kampung”. Dan pada puncaknya, mereka
datang dalam jumlah besar, pada sekitar tahun 2.500 SM – 1.500 SM.
Mereka ini kemudian dikenal sebagai bangsa Proto Melayu.
Teori Out of
Sundaland
Keberadaan
Peradaban di Sundaland, dikemukakan Profesor Aryso Santos dari Brasil,
melalui bukunya Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitive
Localization of Plato’s Lost Civilization (2005). Di dalam bukunya itu, Profesor
Santos menyatakan, Sundaland adalah benua Atlantis, yang
disebut-sebut Plato di dalam tulisannya Timeus dan Critias.
Sebelumnya
pada tahun 1998, Oppenheimer menerbitkan buku berjudul,”Eden in the
East : The Drowned Continent of Southeast Asia”. Secara singkat, buku ini
mengajukan tesis bahwa Sundaland pernah menjadi suatu kawasan berbudaya
tinggi, tetapi kemudian tenggelam, dan para penghuninya mengungsi ke mana-mana
(out of Sundaland), yang pada akhirnya menurunkan ras-ras baru di bumi.
Hipotesis
ini ia bangun berdasarkan penelitian atas geologi, arkeologi, genetika,
linguistk, dan folklore atau mitologi. Berdasarkan geologi,
Oppenheimer mencatat bahwa telah terjadi kenaikan permukaan laut dengan
menyurutnya Zaman Es terakhir. Laut naik setinggi 500 kaki pada periode
14.000-7.000 tahun yang lalu dan telah menenggelamkan Sundaland.
Arkeologi membuktikan bahwa Sundaland mempunyai kebudayaan yang
tinggi sebelum banjir terjadi. Kenaikan permukaan laut ini telah
menyebabkan manusia penghuni Sundaland menyebar ke mana-mana mencari
daerah yang tinggi.
Dukungan
bagi hipotesis Oppenheimer (1998), datang dari sekelompok peneliti arkeogenetika
yang sebagian merupakan rekan sejawat Oppenheimer. Kelompok peneliti
dari University of Oxford dan University of Leeds ini mengumumkan
hasil peneltiannya, melalui jurnal berjudul “Molecular Biology and
Evolution” edisi Maret dan Mei 2008, yakni pada makalah berjudul “Climate
Change and Postglacial Human Dispersals in Southeast Asia” (Soares et al.,
2008) dan “New DNA Evidence Overturns Population Migration Theory in
Island Southeast Asia” (Richards et al., 2008).
Richards et
al. (2008) berdasarkan
penelitian DNA menantang teori konvensional saat ini bahwa penduduk Asia
Tenggara (Filipina, Indonesia, dan Malaysia) datang dari Taiwan 4000
(Neolithikum) tahun yang lalu. Tim peneliti menunjukkan justru yang terjadi
adalah sebaliknya, bahwa penduduk Taiwan berasal dari penduduk Sundaland, yang
bermigrasi akibat Banjir Besar di Sundaland.
Ciri
garis-garis DNA menunjukkan penyebaran populasi pada saat yang bersamaan
dengan naiknya permukaan laut di wilayah ini, dan juga menunjukkan migrasi ke
Taiwan, ke timur (New Guinea dan Pasifik), dan ke barat
(daratan utama Asia Tenggara), terjadi dalam masa sekitar 10.000 tahun yang
lalu.
Sementara
itu Soares et al. (2008) menunjukkan bahwa haplogroup E (Note
: mungkin yang dimaksud haplogroup O), yang merupakan komponen
penting dalam keanekaragaman mtDNA (DNA mitokondria), secara dramatik
tiba-tiba menyebar ke seluruh pulau-pulau Asia Tenggara pada periode sekitar
awal Holosen, pada saat yang bersamaan dengan tenggelamnya Sundaland
menjadi laut-laut Jawa, Malaka, dan sekitarnya.
Lalu
komponen ini mencapai Taiwan dan Oseania, pada sekitar 8.000
tahun yang lalu. Ini membuktikan bahwa global warming dan sea-level rises
pada ujung Zaman Es 14.000–7.000 tahun yang lalu, sebagai penggerak
utama human diversity di wilayah ini (Sumber : mail-archive).
Migrasi Deutero Melayu menurut Naskah Wangsakerta
Setelah
selama ribuan tahun Bangsa Proto Melayu mendiami Nusantara. Pada sekitar
tahun 300 SM, datang bangsa pendatang, yang dikemudian hari dikenal
dengan nama Deutero Melayu.
Teori
Migrasi Deutero Melayu, ternyata bukan berasal dari Sejarawan Barat (Belanda), seperti NJ.
Krom, Eugene Dubois, JG. de Casparis dan sebagainya, melainkan berasal dari
seorang sejarawan Nusantara, yang bernama Pangeran Wangsakerta, beliau
diperkirakan hidup pada pertengahan abad ke-17M.
Melalui Naskah
Wangsakerta, beliau menuturkan Silsilah Aki Tirem (Sesepuh
masyarakat Salakanagara, pada abad 1 Masehi), sebagai berikut :
“Aki
Tirem putera Ki Srengga putera Nyai Sariti Warawiri puteri Sang Aki Bajulpakel
putera Aki Dungkul putera Ki Pawang Sawer putera Datuk Pawang Marga putera Ki
Bagang putera Datuk Waling putera Datuk Banda putera Nesan”
Selanjutnya
ia menulis, leluhur Aki Tirem bernama Aki Bajulpakel berdiam di Swarnabumi
(Sumatera) bagian Selatan, kemudian Datuk Pawang Marga berdiam di Swarnabumi
bagian Utara dan Datuk Banda berdiam di Langkasungka India.
Dari
penyelusuran Genealogy di atas, nampak jelas bahwa jalur migrasi
bangsa Deutero Melayu, adalah bermula dari tanah India, lalu
memasuki Nusantara melalui Swarnabumi (Sumatera) dan kemudian menuju ke
pulau Jawa (Sumber : Teori Antropologi
“Migrasi Deutero Melayu”, ditemukan Panembahan Tohpati, Sejarawan Nusantara
abad ke-17M).
Keragaman
leluhur penduduk Nusantara, semakin diperkaya dengan kehadiran keturunan Nabi
Ibrahim, dari Dinasti Pallawa yang dikenal sebagai Dewawarman I
(Sumber : (Connection) Majapahit,
Pallawa dan Nabi Ibrahim ?). Di kemudian hari Dewawarman I menjadi
penguasa di Salakanagara, dan menikah dengan anak Aki Tirem, yang
bernama Pohaci Larasati.
Komentar