http://javalaw-bmg.blogspot.com |
Selama ini, syahadat umumnya hanya dipahami sebagai bentuk mengucapkan kata Asyhadu an la ilaha
illa Allah, wa asyhadu anna Muhammad al-rasul Allah. Dan karena hanya pengucapan, wajar jika tidak memiliki
pengaruh apa-apa terhadap mental manusia. Siapapun toh dapat mengucapkannya,
walau kebanyakan tidak memahaminya. Padahal makna sesungguhnya bahwa syahadat
adalah kesaksian bukan pengucapan kalimat yang menyatakan bahwa ia telah
bersaksi.
Ketika kita mengucakan kata Allah, maka kata ini harus hadir dan lahir dari
keyakinan yang mendalam. Pada saat pengucapan, kita harus yakin bahwa Allah ada
pada diri nabi-Nya, dan bahwa setiap diri kita mampu membawa peran nabi
tersebut. Dalam marifat, nabi dan kenabian sebagai suatu hal yang selalu hidup.
Dan ketika person nabi terakhir diberi label Muhammad, maka ia adalah langsung
dari nur dan ruh Muhammad, dan menyandang nama spiritual sebagai Ahmad. Dan
ketika kata Ahmad disebutkan, Nabi Muhammad sering mengemukakan bahwa ana Ahmad
bila mim (aku adalah Ahmad yang tanpa mim), yakni Ahad. Ketika suku bangsa
dzahir arab disebutkan, beliau sering mengemukakan ana arabun bila Ain, (aku
adalah Arab tanpa Ain), yakni Rabb. Inilah kesaksian itu, atau syahadat.
Kalau kita membayangkan nabi secara fisikal maka kita akan menghayalkan
tentang nabi. Nah, pada saat Allah kita rasakan hadir atau bersemayam dalam
diri Nabi yang berada di kedalaman lubuk hati kita, maka terlepaslah ucapan
Muhammad al-Rasul Allah sebagai kesaksian. Lalu kesaksian ini kita lepaskan ke
dalamDzat Allah. Sehingga kemudian tercipta apa yang disebut sebagai Tunggal
ing Allah hiya kang amuji hiya kang pimuji, kemanunggalan dengan Allah sehingga
baik yang memuji dan yang dipuji tidak dapat dipisahkan.
Pada konteks syahadat yang seperti itulah kemudian lahir ajaran tentang
wirid sasahidan dari Syekh Siti Jenar, dalam bentuk pengucapan hati sebagai
berikut (Sholikhin: 2004, 182-183)
Ingsun anakseni ing datingsun dhewe
Satuhune ora ono pangeran among ingsun
Lan nekseni satuhune Muhammad iku utusaningsun
Iya sejatine kang aran Allah iku badaningsun
Rasul iku rahsaningsun
Muhammad iku cahyaningsun
Iya ingsun kang urip tan kena ing pati
Iya ingsun kang eling tak kena lali
Iya ingsun kang langgeng ora kena owah gingsir ing kahanan jati
Iya ingsun kang waskitha ora kasamaran ing sawiji-wiji
Iya ingsun kang amurba amisesa, kang kawasa wicaksana ora kekurangan ing pakerti
Byar
Sampurna padhang terawangan
Ora kerasa apa-apa
Oa ana katon apa-apa
Mung ingsun kang nglimputi ing alam kabeh
Kalawan kodratingsun.
Artinya:
Aku bersaksi di hadapan Dzat-ku sendiri
Sesungguhnya tiada tuhan selain Aku
Aku bersaksi sesungguhnya Muhammad itu utusan-Ku
Sesungguhnya yang disebut Allah itu badan-Ku
Rasul itu rasa-Ku
Muhammad itu cahaya-Ku
Akulah yang hidup tidak terkena kematian
Akulah yang senantiasa ingat tanpa tersentuh lupa
Akulah yang kekal tanpa terkena perubahan di segala keadaan
Akulah yang selalu mengawasi dan tidak ada sesuatupun yang luput dari pengawasan-Ku
Akulah yang maha kuasa, yang bijaksana, tiada kekurangan dalam pengertian
Byar
Sempurna terang benderang
Tidak terasa apa-apa
Tidak kelihatan apa-apa
Hanya aku yang meliputi seluruh alam
Dengan kodrat-Ku
Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa kesaksian tersebut diperoleh berdasarkan lelaku. Maka setelah lahirnya kesaksian tersebut juga harus disertai dengan lelaku pula. Yaitu diikuti dengan semedi atau dzikir rasa sehingga kemudian dapat mengalami mati dalam hidup dan hidup dalam mati. Dzikir seperti ini dilakukan dengan meng-heneng-kan diri dan mengheningkan cipta serta karsa sehingga kembali tercipta kesatuan hati, pikiran dan rasa hidup. Hal ini dilakukan dengan menyatukan pancaindera, memejamkan mata dan mengarahkannya ke pucuk hidung (pucuking ghrana), sambil menyatukan denyut jantung, harus diatur pula pernapasan yang masuk dan keluar jangan sampai tumpang tindih.
Satuhune ora ono pangeran among ingsun
Lan nekseni satuhune Muhammad iku utusaningsun
Iya sejatine kang aran Allah iku badaningsun
Rasul iku rahsaningsun
Muhammad iku cahyaningsun
Iya ingsun kang urip tan kena ing pati
Iya ingsun kang eling tak kena lali
Iya ingsun kang langgeng ora kena owah gingsir ing kahanan jati
Iya ingsun kang waskitha ora kasamaran ing sawiji-wiji
Iya ingsun kang amurba amisesa, kang kawasa wicaksana ora kekurangan ing pakerti
Byar
Sampurna padhang terawangan
Ora kerasa apa-apa
Oa ana katon apa-apa
Mung ingsun kang nglimputi ing alam kabeh
Kalawan kodratingsun.
Artinya:
Aku bersaksi di hadapan Dzat-ku sendiri
Sesungguhnya tiada tuhan selain Aku
Aku bersaksi sesungguhnya Muhammad itu utusan-Ku
Sesungguhnya yang disebut Allah itu badan-Ku
Rasul itu rasa-Ku
Muhammad itu cahaya-Ku
Akulah yang hidup tidak terkena kematian
Akulah yang senantiasa ingat tanpa tersentuh lupa
Akulah yang kekal tanpa terkena perubahan di segala keadaan
Akulah yang selalu mengawasi dan tidak ada sesuatupun yang luput dari pengawasan-Ku
Akulah yang maha kuasa, yang bijaksana, tiada kekurangan dalam pengertian
Byar
Sempurna terang benderang
Tidak terasa apa-apa
Tidak kelihatan apa-apa
Hanya aku yang meliputi seluruh alam
Dengan kodrat-Ku
Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa kesaksian tersebut diperoleh berdasarkan lelaku. Maka setelah lahirnya kesaksian tersebut juga harus disertai dengan lelaku pula. Yaitu diikuti dengan semedi atau dzikir rasa sehingga kemudian dapat mengalami mati dalam hidup dan hidup dalam mati. Dzikir seperti ini dilakukan dengan meng-heneng-kan diri dan mengheningkan cipta serta karsa sehingga kembali tercipta kesatuan hati, pikiran dan rasa hidup. Hal ini dilakukan dengan menyatukan pancaindera, memejamkan mata dan mengarahkannya ke pucuk hidung (pucuking ghrana), sambil menyatukan denyut jantung, harus diatur pula pernapasan yang masuk dan keluar jangan sampai tumpang tindih.
Biasanya praktik sasahidan ini akan berujung pada bercampurnya rasa hati
dan hilangnya segenap perasaan. Kalau sudah mencapai kondisi ini, maka harus
diturunkan ke dalam jiwa dan menyebar ke seluruh sel-sel dan syaraf tubuh.
Sehingga akan tercapailah ketiadaan rasa apapun dan akan memunculkan sikap
ke-waskitha-an (eling lan waspadha).
Dengan demikian wajar jika pada kesimpulannya tentang makna syahadat, Syekh
Siti Jenar memberikan makna syahadat sebagai etos gerak, etos kerja yang
positif, progresif, dan aktif. Syekh siti jenar mengemukakan bahwa syahadat
tauhid dan syahadat rasul mengandung makna jatuhnya rasa (menjadi etos),
kesejatian rasa (unsur motorik), bertemunya rasa (ide aktif dan kreatif), hasil
karya yang maujud serta dampak terhadap kesejatian kehidupan (Sholikhin: 2004,
187). Itulah makna syahadat yang sesungguhnya dari sang insan kamil.
Komentar