http://www.javalaw-bmg.blogspot.com |
Puasa dalam ketentuan syariat adalah menahan diri dari makan, minum dan
bersetubuh. Sejak masuk subuh hingga masuk waktu maghrib. Sedangkan puasa dari
segi rohani bermakna membersihkan semua pancaindera dan pikiran dari hal-hal
yang haram, selain menahan diri dari perkara-perkara yang membatalkannya yang
telah ditetapkan dalam puasa syariat. Dalam puasa harus diusahakan keduanya
berpadu secara harmonis.
Puasa dari segi rohani akan batal bila niat dan tujuannya tergelincir
kepada sesuatu yang haram, walau hanya sedikit. Puasa syariat berkait dengan
waktu, tetapi puasa rohani tidak pernah mengenal waktu. Terus menerus dan
berlangsung sepanjang hayat du dunia dan akhirat. Inilah puasa yang hakiki,
seperti yang dikenal oleh orang yang hati dan jiwanya bersih. Puasa adalah
pembersihan diatas pembersihan.
Puasa tidak bermakna kalau tidak membawa pelakunya kepada kedekatan
terhadap Allah. Orang awam akan cepat berbuka begitu waktu buka tiba. Tetapi
orang yang rohaninya ikut berpuasa, tidak akan pernah berhenti berpuasa secara
rohani walaupun secara fisik ia juga berbuka sebagaimana orang lain.
Jika orang awam merasakan kebahagiaan berpuasa saat berbuka dan pada saat
melihat datangnya bulan Syawal setelah satu bulan berpuasa penuh, maka lain
bagi orang yang arif. Orang yang telah bermarifat lebih mengutamakan dimensi
spiritual. Ia akan menganggap kenikmatan berbuka adalah pada waktu kelak ia
memasuki taman surga dan menikmati segala hal di dalamnya. Sedangkan maksud
kenikmatan ketika melihat adalah kenikmatan yang diperoleh bila mereka dapat
melihat Allah dengan matahati sebagai salah satu efek dari puasanya.
Namun masih ada jenis puasa yang lebih tinggi, yakni puasa hakiki atau
puasa yang sebenarnya. Puasa ini memiliki martabat yang lebih bagus dari kedua
puasa diatas. Puasa ini adalah puasa menahan hati dari menyembah, memuji,
memuja, dan mencari ghairullah (yang selain Allah). Puasa ini dilakukan dengan
cara menahan mata hati dari memandang ghairullah, baik yang lahir maupun yang
batin. Namun walaupun seseorang telah sampai kepada tahapan puasa hakiki, puasa
wajib tetap dibutuhkan sebagai aplikasi syariatnya, dan sebagai cara serta
sarana menggapai kesehatan fisik. Sebaliknya, jika puasa hanya memenuhi
ketentuan syariat, maka iku wis palson kabeh, hanya sebentuk kebohongan
beragama semata. Puasa merupakan tindakan rohani untuk mereduksi watak-watak
kedzaliman, ketidakadilan, egoisme, dan keinginan yang hanya untuk dirinya
sendiri. Inilah yang diajarkan Syekh Siti Jenar. Buahnya adalah kejujuran
terhadap diri sendiri, orang lain dan kejujuran di hadapan Tuhan tentang
kenyataan dan eksistensi dirinya.
Dalam puasa hakiki, hati dibutakan dari pandangan terhadap ghairullah dan
tertuju hanya kepada Allah serta cinta kepada-Nya. Dengan puasa hakiki inilah
esensi penciptaan akan terkuak. Manusia adalah rahasia Allah dan Allah rahasia
bagi manusia. Rahasia itu berupa nur Allah. Nur itu adalah titik tengah
(centre) hati yang diciptakan dari sesuatu yang unik dan gaib. Hanya ruh yang
tahu semua rahasia itu. Ruh juga menjadi penghubung rahasia antara Khaliq dan
makhluk. Rahasia itu tidak tertarik dan tidak pernah menaruh cinta kepada
selain Allah. Dengan puasa hakiki, ruh itu diaktifkan. Oleh karenanya jika ada
setitik dzarrah pun cinta terhadap ghairullah, batallah puasa hakiki. Jika
puasa hakiki batal maka kita mengulanginya, menyalakan kembali niat, dan
harapan kepada Allah di dunia dan akhirat. Puasa hakiki hanyalah menempatkan
Allah di dalam hati, menjalani proses kemanunggalan meng-Gusti-kan perwatakan
kawula.
Dengan puasa hakiki, maka kita akan menyadari bahwa sebenarnya puasamerupakan hadiah Allah untuk umat manusia. Sehingga bagi hamba Allah yang telahmencapai marifat, akhirnya puasa wajib dan sunnah bukanlah berbeda. Secaralahiriah keduanya memang berbeda dari segi waktu dan cara pelaksanaannya, akantetapi secara batiniah, esensi kedua jenis puasa itu tidak berbeda. Denganberpuasa secara hakiki, tidak ada sekat wajib atau sunnah lagi, yang ada adalahmenikmati hadiah dari Allah bagi rohani kita.
Sehingga dengan pemahaman dan pelaksanaan puasa yang seperti itu, maka
akhirnya puasa tersebut akan mampu menjadi katalisator bagi hawa nafsu kita,
dan hati akan semakin berkilau oleh bilasan nurullah. Ia akan menjadi motor
penggerak bagi ruh al-idhafi, sebagai efek kebeningan hatinya yang dengan
itulah keseluruhan kehidupan akan ditunjukkan menuju kearah al-Haqq, Illahi
Rabbi.
Bagi Syekh Siti Jenar, puasa hakiki akan melahirkan watak manusia yang
pengasih. Mengantarkan kesadaran untuk selalu ikut berperan serta mengangkat
harkat dan derajat kemanusiaan, berperan aktif memerangi kemiskinan, dan selalu
menyertai sesama manusia yang berada dalam penderitaan. Puasa hakiki adalah
kesadaran batin untuk menjadikan hawa nafsu sebagai hal yang harus dikalahkan,
dan ke-dzalim-an sebagai hal yang harus ditundukkan.
Oleh Syekh Siti Jenar, puasa secara lahir disubstitusikan dengan kemampuan
untuk melaparkan diri. Bukan sekedar mengatur ulang pola makan di bulan
Ramadhan, tetapi mampu ngelakoni weteng kudu luwe, membiasakan diri lapar,
bukan membiarkan kelaparan. Sehingga terciptalah sistem masyarakat yang
terkendali hawa nafsunya. Dan tentu saja, Syekh Siti Jenar tidak memaknai kudu luwe
sebagai alasan lembeknya manusia secara fisik. Hal tersebut harus
dikontekstualisasikan dengan kecukupan gizi yang harus terpenuhi bagi aktivitas
fisik. Yang terpenting adalah kemauan dan kesadaran untuk berbagi, untuk tidak
hanya memuaskan apa yang menjadi tuntutan hawa nafsunya.
Komentar