WAJAH Demokrasi di Indonesia
setelah reformasi sedikit demi sedikit bersolek. Hasilnya, kini semakin
memesona dibanding sebelum era reformasi. Sistem yang mengedepankan
aspek keterbukaan menggiring demokrasi Indonesia ke arah yang lebih
cerah. Tapi secara kualitatif, demokrasi Indonesia butuh banyak
perbaikan. Apa saja perbaikan itu? Berikut ringkasan bincang-bincang
wartawan FAJAR Yusuf Said dengan
Direktur Tifa Foundation, Tri Nugroho, saat bertandang ke Redaksi, belum lama ini.
Di mata Anda, bagaimana potret demokrasi Indonesia?
Demokrasi di Indonesia, sudah ada. Arahnya juga sudah lebih baik. Maksud saya, kita semua sudah tahu secara kelembagaan, demokrasi bisa berjalan. Tapi secara substansial, masih perlu diperbaiki. Butuh sejumlah gebrakan subsistem untuk menjaga agar derap demokrasi yang sedang melangkah ini benar-benar tidak salah arah.
Kunci peningkatan kualitas demokrasi atau yang Anda sebut dengan "perbaikan" itu, sebenarnya di mana?
Sebenarnya sederhana saja. Kunci utamanya itu adalah pelibatan masyarakat. Semakin besar pelibatan masyarakat dalam pembangunan ini, maka semakin terasa nilai demokrasi di dalamnya. Tapi ingat, pelibatan di sini bukan formalitas belaka seperti yang kita lihat dalam beberapa program pemerintah selama ini, tapi secara substansial.
Anda punya contoh pelibatan masyarakat dalam pembangunan yang secara kualitatif tidak maksimal?
Banyak sekali. Tapi contoh paling umum itu salah satunya dalam musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang). Pola penyerapan aspirasi ini memang bisa berjalan. Masukan masyarakat diterima di musrenbang kecamatan.
Tapi naifnya, seringkali ketika sampai di pembahasan pos-pos anggaran, aspirasi masyarakat dari musrenbang akan menjadi pilihan terakhir untuk direalisasikan. Wajar, karena tidak tercipta sistem yang mewakili masyarakat di situ. Lebih parah lagi, kalau ada aspirasi musrenbang yang terakomodasi dalam anggaran, masyarakat lagi-lagi tak memiliki ruang keterlibatan memantau realisasi program itu.
Lemahnya pelibatan masyarakat secara substansial ini salah siapa?
Ini bukan salah siapa-siapa. Tapi ini harus menjawab tanggung jawab kita semua untuk membenahinya. Termasuk Tifa Foundation juga merasa bertanggung jawab. Kebetulan, Tifa sejak sepuluh tahun lalu dibentuk memang berkomitmen untuk terus menerus mendukung penguatan masyarakat sipil Indonesia.
Kita mendukung masyarakat sipil dalam konteks mendukung masyarakat terbuka. Dalam periode dua-tiga tahun terakhir kita coba mengembangkan perbaikan kualitas demokrasi di Indonesia.
Apa langkah riil Tifa membangun kualitas demokrasi Indonesia?
Kami bergandengan dengan masyarakat sipil. Bisa dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau dengan perguruan tinggi. Yang paling baru, kami sedang menggalakkan program sosial audit. Program ini, seperti program-program lain yang TIFA jalankan, muaranya adalah peningkatan kualitas demokrasi. Sosial audit ini akan menjadi tools untuk lebih mempertajam pelibatan masyarakat dalam program pemerintah, dari hulu ke hilir. Intinya, program sosial audit ini ingin lebih menguatkan mekanisme akuntabilitas.
Sudah ada pemerintah daerah yang mencoba pola sosial audit ini?
Sulsel bisa berbangga, karena pemerintah Kota Makassar yang akan menjadi pilot project. Pemkot Makassar menjadi daerah pertama di Indonesia yang membuka diri menjalankan program sosial audit. Tujuannya sederhana. Menjaga agar program-program pemerintah setempat berjalan dengan tingkat pelibatan masyarakat tinggi, baik dalam perencanaan, atau kalau bisa pelaksanaan.
Setahu kami, ada empat program pengentasan kemiskinan di instansi berbeda kota Makassar yang sudah bergandengan dengan kami melaksanakan sosial audit. Ada pendidikan gratis dan bersubsidi di dinas pendidikan, keluarga berencana di Badan KB Makassar, gizi ibu dan balita di dinas kesehatan, dan program life skill di Badan Pemberdayaan Masyarakat Makassar.
Direktur Tifa Foundation, Tri Nugroho, saat bertandang ke Redaksi, belum lama ini.
Di mata Anda, bagaimana potret demokrasi Indonesia?
Demokrasi di Indonesia, sudah ada. Arahnya juga sudah lebih baik. Maksud saya, kita semua sudah tahu secara kelembagaan, demokrasi bisa berjalan. Tapi secara substansial, masih perlu diperbaiki. Butuh sejumlah gebrakan subsistem untuk menjaga agar derap demokrasi yang sedang melangkah ini benar-benar tidak salah arah.
Kunci peningkatan kualitas demokrasi atau yang Anda sebut dengan "perbaikan" itu, sebenarnya di mana?
Sebenarnya sederhana saja. Kunci utamanya itu adalah pelibatan masyarakat. Semakin besar pelibatan masyarakat dalam pembangunan ini, maka semakin terasa nilai demokrasi di dalamnya. Tapi ingat, pelibatan di sini bukan formalitas belaka seperti yang kita lihat dalam beberapa program pemerintah selama ini, tapi secara substansial.
Anda punya contoh pelibatan masyarakat dalam pembangunan yang secara kualitatif tidak maksimal?
Banyak sekali. Tapi contoh paling umum itu salah satunya dalam musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang). Pola penyerapan aspirasi ini memang bisa berjalan. Masukan masyarakat diterima di musrenbang kecamatan.
Tapi naifnya, seringkali ketika sampai di pembahasan pos-pos anggaran, aspirasi masyarakat dari musrenbang akan menjadi pilihan terakhir untuk direalisasikan. Wajar, karena tidak tercipta sistem yang mewakili masyarakat di situ. Lebih parah lagi, kalau ada aspirasi musrenbang yang terakomodasi dalam anggaran, masyarakat lagi-lagi tak memiliki ruang keterlibatan memantau realisasi program itu.
Lemahnya pelibatan masyarakat secara substansial ini salah siapa?
Ini bukan salah siapa-siapa. Tapi ini harus menjawab tanggung jawab kita semua untuk membenahinya. Termasuk Tifa Foundation juga merasa bertanggung jawab. Kebetulan, Tifa sejak sepuluh tahun lalu dibentuk memang berkomitmen untuk terus menerus mendukung penguatan masyarakat sipil Indonesia.
Kita mendukung masyarakat sipil dalam konteks mendukung masyarakat terbuka. Dalam periode dua-tiga tahun terakhir kita coba mengembangkan perbaikan kualitas demokrasi di Indonesia.
Apa langkah riil Tifa membangun kualitas demokrasi Indonesia?
Kami bergandengan dengan masyarakat sipil. Bisa dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau dengan perguruan tinggi. Yang paling baru, kami sedang menggalakkan program sosial audit. Program ini, seperti program-program lain yang TIFA jalankan, muaranya adalah peningkatan kualitas demokrasi. Sosial audit ini akan menjadi tools untuk lebih mempertajam pelibatan masyarakat dalam program pemerintah, dari hulu ke hilir. Intinya, program sosial audit ini ingin lebih menguatkan mekanisme akuntabilitas.
Sudah ada pemerintah daerah yang mencoba pola sosial audit ini?
Sulsel bisa berbangga, karena pemerintah Kota Makassar yang akan menjadi pilot project. Pemkot Makassar menjadi daerah pertama di Indonesia yang membuka diri menjalankan program sosial audit. Tujuannya sederhana. Menjaga agar program-program pemerintah setempat berjalan dengan tingkat pelibatan masyarakat tinggi, baik dalam perencanaan, atau kalau bisa pelaksanaan.
Setahu kami, ada empat program pengentasan kemiskinan di instansi berbeda kota Makassar yang sudah bergandengan dengan kami melaksanakan sosial audit. Ada pendidikan gratis dan bersubsidi di dinas pendidikan, keluarga berencana di Badan KB Makassar, gizi ibu dan balita di dinas kesehatan, dan program life skill di Badan Pemberdayaan Masyarakat Makassar.
Komentar